BAGIAN 6

257 14 0
                                    

Pertarungan di pelataran depan candi tua terus berlangsung dengan sengit sekali. Lawan-lawan yang dihadapi Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut ternyata memiliki kepandaian yang tinggi, sehingga tidak mudah bagi mereka untuk mengakhiri pertarungan ini dengan cepat. Terlebih lagi mereka selalu menggunakan senjata rahasia bila dalam keadaan terdesak. Hal ini menjadikan satu kesulitan tersendiri bagi Rangga dan Pandan Wangi. Karena harus lebih berhati-hati menghadapi lawannya masing-masing.
Rangga yang sudah berpengalaman dalam berbagai macam pertarungan, sudah bisa mengetahui kelemahan lawannya. Dengan cepat dia merubah cara bertarungnya. Dan ini membuat lawannya jadi kelabakan juga menghadapi cara bertarung Pendekar Rajawali Sakti yang dahsyat.
"Tahan...!" tiba-tiba Rangga berseru nyaring.
Bet!
Seketika itu juga Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan tangannya kearah kepala orang berbaju putih itu. Serangan cepat dan mendadak yang dilakukan Rangga tak bisa terbendung lagi. Terlebih lagi orang berbaju serba putih itu baru saja menghindari satu tendangan keras yang dilepaskan Rangga ke arah perutnya. Dan dia tidak mungkin menarik tubuhnya kembali, dengan kepala doyong ke depan. Sehingga....
Prak!
"Aaaa...!" Orang berbaju serba putih itu menjerit keras, melengking tinggi.
Tubuhnya seketika limbung dengan tangan memegangi kepalanya. Darah merembes ke luar dari sela-sela jari tangan. Dan belum sempat dia menguasai keseimbangan tubuhnya, kembali Pendekar Rajawali Sakti memberikan satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
Deghk!
"Akh...!" lagi-lagi orang berbaju serba putih itu menjerit keras.
Seketika tubuhnya terlontar ke belakang sejauh dua tombak. Keras sekali dia tersuruk jatuh menghantam tanah berumput. Hanya sebentar saja di mampu menggelepar seraya mengerang menahan sakit. Kemudian diam tak bernyawa lagi. Darah terus mengucur deras dari kepalanya yang hancur terkena pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan dadanya melesak masuk ke dalam dengan tulang-tulangnya bersembulan ke luar. Rupanya tendangan Rangga tadi begitu keras dan bertenaga dalam tinggi sekali.
"Phuiiiih...!" Rangga menyemburkan napasnya dengan kuat sekali.
Di dalam hatinya dia mengakui ketangguhan orang itu, meskipun mereka bertarung tidak menggunakan ilmu kesaktian sedikitpun juga. Namun ilmu olah kanuragan yang dimiliki orang berbaju putih itu sangat tinggi sekali, sehingga Rangga terpaksa mengeluarkan seluruh kemampuan tenaga dalamnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
"Hmmm...," Rangga bergumam seraya memutar tubuhnya.
Pendekar Rajawali Sakti langsung menatap Pandan Wangi yang masih bertarung sengit dengan lawannya. Kali ini juga rupanya Pandan Wangi mendapatkan lawan yang cukup tangguh. Sehingga si Kipas Maut bukan hanya menggunakan senjata kipasnya yang sudah terkenal maut nya itu. Tapi dia juga mengeluarkan pedang Naga Geni. Pedang yang sangat luar biasa dahsyatnya. Dan Pandan Wangi tidak akan mengeluarkan pedang itu jika dia tidak merasa perlu.
Meskipun mereka bertarung dalam tempo yang sangat cepat sekali, namun Pendekar Rajawali Sakti masih bisa melihat dengan jelas serangan-serangan yang dilakukan kedua orang itu. Kalau orang biasa yang menyaksikan pasti hanya akan melihat dua bayangan putih dan biru berkelebatan saling sambar saja. Karena pertarungan itu memang berjalan sangat cepat sekali..Mereka memang sudah menggunakan jurus-jurus simpanannya.
"Perlu bantuan, Pandan...?" teriak Rangga.
"Tidak...!" sahut Pandan Wangi keras.
Rangga hanya tersenyum saja. Jawaban Pandan Wangi yang terdengar keras dan tegas itu, sudah diduganya sejak semula. Dan memang Pandan Wangi tidak memerlukan bantuan dari Pendekar Rajawali Sakti, karena pada saat itu dia sudah mampu mendesak lawannya dengan hebat. Dengan dua senjata maut berada di tangan, Pandan Wangi memang sukar untuk ditandingi.
"Lepas...! Yeaaah...!" seru Pandan Wangi tiba-tiba.
Bagaikan kilat, Pandan Wangi menebaskan pedangnya yang berada di tangan kanan ke arah leher orang berbaju serba putih itu. Namun dengan manis sekali orang itu mengelakkannya dengan menarik kepalanya sedikit ke belakang. Sehingga tebasan pedang Pandan Wangi hanya lewat sedikit saja di depan lehernya.
"Hiyaaat...!"
Namun sebelum dia sempat mengembalikan posisi kepalanya, mendadak saja Pandan Wangi sudah mengibaskan senjata kipas baja putihnya kearah dada. Dan kibasan yang cepat itu, tak bisa dihindarkan lagi.
Bet!
Cras!
"Aaaakh...!" Orang itu menjerit melengking tinggi. Ujung kipas Pandan Wangi yang runcing dan tajam, membelah dada orang berbaju serba putih.
Saat orang berbaju putih itu sedang terhuyung-huyung ke belakang, Pandan Wangi sudah melompat cepat sambil mengibaskan Pedang Naga Geni dengan kecepatan kilat.
"Hiyaaat..!"
Crakh!
"Aaa...!" orang itu menjerit panjang itu. Darah seketika muncrat ke luar tak terbendung lagi, orang berbaju putih itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya. Pada saat itu, Pandan Wangi sudah melompat cepat sambil mengibaskan pedang Naga Geni dengan kecepatan bagai kilat.
"Hiyaaat...!"
Crakh!
"Aaaa...!" kembali orang itu menjerit panjang melengking tinggi. Dan sebelum orang itu bisa merasakan bagian tubuh mana yang terkena sabetan pedang Pandan Wangi, dengan cepat sekali si Kipas Maut sudah memberikan satu tendangan menggeledek bertenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Degkh!
Orang berbaju serba putih itu tak mampu bersuara lagi. Tubuhnya langsung terjajar ke belakang dan ambruk ke tanah dengan keras sekali. Seketika kepalanya terpisah dari leher. Darah kembali menyemburat ke luar dengan deras dari leher yang buntung tak berkepala lagi. Rupanya serangan Pandan Wangi yang terakhir itu membuat nyawa lawannya langsung terpisah dari raganya.
Pandan Wangi menghembuskan napas panjang dan berat. Dia memasukkan kembali pedangnya ke dalam warangkanya di punggung. Kemudian dia melangkah menghampiri Rangga sambil memain-mainkan kipasnya di depan dada. Kemudian dia melipat kipas itu dan menyelipkan disabuk depan perutnya setelah sampai di hadapan Pendekar Rajawali Sakti.
"Bagaimana menurutmu?" Rangga malah memberikan pertanyaan.
"Lho...?! Kau kan yang punya urusan, kenapa tanya aku...?" Pandan Wangi mendelik manja.
Rangga tersenyum, kemudian dia mengayunkan kakinya mendekati pintu candi yang tetap terbuka tanpa penutup. Sementra Pandan Wangi mengikuti di samping kanan agak ke belakang satu langkah.
Pendekar Rajawali Sakti kembali menghentikan ayunan kakinya sekitar lima langkah lagi di depan pintu candi itu. Tak ada yang dapat dilihat di dalam sana dari luar. Keadaannya sangat gelap sekali, sukar untuk menembus dengan penglihatan mata biasa. Untuk beberapa saat lamanya mereka hanya berdiam diri saja dengan pandangan lurus tak berkedip ke arah pintu candi itu.
"Rasanya tidak ada orang di dalam sana. Kakang," bisik Pandan Wangi pelan.
"Hmmm...," Rangga hanya bergumam saja perlahan.
"Silahkan masuk, Pendekar Rajawali Sakti...!" tiba-tiba terdengar sebuah suara berat dari arah dalam candi tua itu.
Bukan hanya Pandan Wangi yang terkejut, tapi juga Rangga sempat terhenyak mendengar suara itu. Yang membuat Rangga terkejut, pemilik suara itu sudah mengetahui tentang dirinya. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa lagi menganggap ringan. Dia tidak tahu, siapa pemilik suara yang terdengar berat.
"Tidak perlu kau ragu, Pendekar Rajawali Sakti. Masuklah, aku sudah menunggu sejak tadi," kata suara itu lagi.
Rangga berpaling sedikit, menatap Pandan Wangi yang kini sudah berada dekat di sampingnya. Sedangkan pada saat yang sama, si Kipas Maut juga memandang pada Pendekar Rajawali Sakti. Seakan-akan mereka sama-sama meminta persetujuan atas undangan pemilik suara yang berat dari dalam candi.
"Sebaiknya kau tunggu di luar saja. Pandan," kata Rangga perlahan.
"Tidak! Aku ikut," sentak Pandan Wangi cepat.
"Kita harus waspada, Pandan. Kau berjaga-jaga di luar, kalau-kalau ada sesuatu," kata Rangga lagi.
"Kita hadapi bersama, Kakang. Tidak ada yang perlu dijaga di luar sini," Pandan Wangi tetap pada pendiriannya.
"Ha ha ha ha...! Kenapa kalian berdebat? Masuklah kalian berdua ke sini. Aku tidak keberatan jika yang bersamamu itu si Kipas Maut," kembali terdengar suara berat dari dalam candi.
Rangga kembali memandang Pandan Wangi. Dia mengangkat bahunya sedikit. Kemudian kakinya terayun melangkah masuk ke dalam candi tua. Pandan Wangi mengikuti dari belakang.
Mereka terus melangkah perlahan semakin masuk ke dalam candi yang gelap tanpa sedikitpun ada cahaya yang meneranginya. Hingga akhirnya mereka sampai di sebuah ruangan yang cukup besar dengan dinding lantai dan langit langit semuanya terbuat dari batu hitam berkilat. Seberkas cahaya api yang menyala tepat di tengah-tengah ruangan ini sedikit memberikan penerangan, sehingga Rangga dan Pandan Wangi bisa melihat meskipun api itu tidak seluruhnya bisa menerangi setiap sudut ruangan.
"Hmmm...," kembali Rangga memperdengarkan suara bergumam yang kecil.
"Ke kanan, Pendekar Rajawali Sakti," terdengar lagi suara berat yang agak menggema.
Rangga menolehkan kepalanya ke kanan. Terlihat dinding di sebelah kanannya, tiba-tiba saja bergerak menggeser ke samping. Suara menggemuruh terdengar seakan-akan hendak meruntuhkan seluruh dinding ruangan. Perlahan namun pasti, dinding batu itu terus bergerak menggeser. Hingga akhirnya terpampang sebuah ruangan yang tidak kalah besarnya dari ruangan sebelumnya. Dan keadaannya juga sangat terang benderang.
Rangga mengayunkan kakinya memasuki ruangan itu. Pandan Wangi mengikuti dengan mensejajarkan ayunan kakinya di samping Pendekar Rajawali Sakti. Saat mereka sudah bergerak di dalam ruangan itu, dinding batu tadi kembali bergerak menutup.
"Silahkan beristirahat dulu, Pendekar Rajawali Sakti. Aku berharap kau bisa menikmatinya." kembali terdengar suara tanpa ujud.
"Hmm....,"
Sambil bergumam pelan, Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Seluruh ruangan ini berdinding batu yang berwarna hitam berkilat. Lantainya pun terbuat dari batu. Juga langit-langitnya. Tak ada satu lubang jendela ataupun pintu. Ruangan ini benar-benar rapat, dikelilingi dinding batu. Pandangan Pendekar Rajawali Sakti itu tertumbuk pada sebuah meja kayu jati yang panjang terletak di tengah-tengah ruangan. Ada sekitar dua belas kursi mengelilingi meja panjang dan besar itu. Di atas meja tersedia makanan yang cukup mengundang selera dengan beberapa guci arak yang terbuat dari perak. Bahkan semua yang ada di atas meja itu, terbuat dari perak bakar yang halus buatannya.
"Kita duduk dulu di sana, Pandan," kata Rangga mengajak.
Tanpa menunggu persetujuan Pandan Wangi, Pendekar Rajawali Sakti mendekati meja panjang itu dan menarik sebuah kursi. Kemudian dia duduk di sana. Pandan Wangi masih berdiri dengan mata beredar berkeliling. Kemudian dia menghampiri Pendekar Rajawali Sakti dan duduk di sampingnya.
"Selamat datang di Candi Sepuh, Pendekar Rajawali Sakti," tiba-tiba terdengar suara berat yang begitu dekat.
Rangga dan Pandan Wangi segera memalingkan mukanya ke arah datangnya suara itu. Dan mereka terkejut, karena tiba-tiba saja di ujung meja itu sudah duduk seorang laki-laki tua yang usianya mungkin sudah lebih dari sembilan puluh tahun.
Rangga memandangi laki-laki tua yang rambutnya sudah memutih semua tergelung ke atas terikat pita berwarna putih. Sedangkan pada bagian samping dan belakangnya dibiarkan terurai menjuntai ke bawah. Laki-laki tua itu mengenakan baju jubah panjang berwarna putih bersih. Sebatang tongkat berkeluk tak beraturan tergenggam di tangan kanannya. Di leher terlilit sebuah kalung yang panjang, terbuat dari batu-batu mutiara bercahaya kebiruan.
Raut wajahnya terlihat begitu tenang, memancarkan cahaya, dengan sorot mata yang lembut, mencerminkan kearifan dan kebijaksanaan. Bukan hanya Rangga yang terpana melihat sosok laki-laki tua itu. Tapi juga Pandan Wangi sampai tak berkedip memandanginya.
"Aku mohon maaf jika cara mengundangku ini tidak berkenan di hatimu, Pendekar Rajawali Sakti," ujar laki-laki tua itu dengan suara yang berat, namun terdengar adanya nada kelembutan dan kebijaksanaan.
"Hm, boleh aku tahu siapa Kisanak ini?" tanya Rangga dengan sikap yang sopan.
"Sebenarnya aku bernama Sundrata. Tapi orang-orang selalu menyebutku Kakek Putih. Aku sendiri tidak tahu, kenapa mereka selalu memanggilku dengan sebutan itu," sahut laki-laki tua itu memperkenalkan diri.
"Boleh aku memanggilmu dengan Eyang Sundrata?" pinta Rangga dengan sikap sopan.
"Dengan senang hati, Pendekar Rajawali Sakti," sambut Eyang Sundrata diiringi dengan senyuman manis.
Beberapa saat kemudian mereka hanya berdiam diri saja membisu. Beberapa kali Rangga melirik Pandan Wangi yang tidak lepas memandangi laki-laki tua itu. Sorot matanya begitu sukar untuk diterka dengan tepat. Rangga mengalihkan perhatiannya pada laki-laki tua yang mengaku bernama Eyang Sundrata.
Dan belum lagi ada yang membuka suara, tiba tiba saja dinding yang berada di belakang Eyang Sundrata bergerak menggeser ke samping. Kemudian seorang laki-laki berusia muda, sekitar dua puluh tahunan, masuk ke dalam ruangan. Dia mengenakan baju warna putih yang agak ketat. Sebilah pedang tergantung di pinggangnya. Pemuda itu melirik sedikit pada Rangga dan Pandan Wangi Kemudian dia mendekatkan mulutnya ke telinga Eyang Sundrata. Entah apa yang dibisikkan pemuda itu. Dia bergegas ke luar lagi dari ruangan, begitu Eyang Sundrata mengibaskan tangannya sedikit. Dinding batu itu kembali bergerak menutup setelah pemuda itu melewatinya.
"Apakah kalian tadi mendapat sambutan yang tidak enak, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Eyang Sundrata.
"Maaf, Eyang. Aku tidak mengerti maksudmu...?" ujar Rangga dengan benak sudah menduga.
"Apakah yang Eyang maksudkan dua orang yang menyerang kami?" selak Pandan Wangi.
Rangga sempat melirik pada gadis itu sedikit. Tapi tidak mungkin dia meralat kembali ucapan gadis itu. Pandan Wangi memang selalu ceplas-ceplos. Dan masih sukar baginya untuk bisa menahan diri dalam berbicara. Salah satu wataknya yang sukar untuk dirubah lagi.
"Mereka adalah dua orang muridku yang kutugaskan menjaga bagian luar candi ini," sahut Eyang Sundrata tetap lembut suaranya.
"Maaf, Eyang. Kami terpaksa membunuhnya," ujar Pandan Wangi lagi, menyelak.
Rangga agak terkejut juga mendengar kata-kata Pandan Wangi yang seperti tidak dipikirkan lebih dahulu. Namun Eyang Sundrata hanya tersenyum saja mendengar keterusterangan Pandan Wangi. Tidak ada sedikitpun tanda kalau dia gusar mendengar muridnya tewas di tangan dua orang pendekar ini.
Sikap Eyang Sundrata membuat Rangga mengerutkan keningnya. Biasanya seorang guru akan marah bila muridnya diketahui tewas dalam pertarungan atau apapun. Tapi Eyang Sundrata malah tersenyum mendengar muridnya tewas ditangan dua orang pendekar muda ini. Tak sedikit pun dia terlihat marah ataupun gusar. Senyumnya malah semakin mengembang kala mendengar pengakuan Pandan Wangi yang polos dan berterus terang.
"Maafkan kelancangan kami, Eyang," ucap Rangga seraya melirik sedikit pada Pandan Wangi.
"Tidak mengapa, Pendekar Rajawali Sakti. Kalian toh terpaksa melakukannya karena membela diri," sahut Eyang Sundrata kalem.
"Jika Eyang tidak berkenan, kami akan mempertanggung jawabkannya," kata Rangga lagi.
"Tidak perlu kau risaukan masalah itu, Pendekar Rajawali Sakti. Kau tentu tidak menginginkan hal itu terjadi. Penyesalan yang kau ucapkan saja sudah cukup menyenangkan bagi hatiku," ujar Eyang Sundrata lagi. Suaranya masih terdengar kalem, tanpa adanya nada kemarahan.
"Kenapa Eyang bersikap begitu?" tanya Rangga ingin tahu.
"Aku yang menyuruh mereka untuk mencegah siapa saja yang mencoba masuk ke dalam candi ini. Dan sebenarnya aku juga tahu tentang pertarungan itu. Maaf, aku hanya sekedar menguji kalian, agar aku yakin kalau kalian benar-benar pendekar yang aku harapkan. Terutama kau, Pendekar Rajawali Sakti," Eyang Sundrata menjelaskan.
"Seharusnya Eyang mencegah sebelum mereka tewas," Rangga menyesali.
"Mereka yang menghendaki begitu, Pendekar Rajawali Sakti. Dan aku tidak mungkin bisa mencegahnya. Tekad mereka adalah mati untuk mempertahankan kesucian candi ini dari tangan-tangan kotor," kata Eyang Sundrata lagi.
Rangga tercenung seraya memandangi wajah laki-laki tua itu. Dia mulai bisa menangkap maksud dari undangan laki-laki tua ini dengan cara yang sebenarnya tidaklah layak dilakukan. Tapi di dalam dunia persilatan, hal seperti itu tidak aneh lagi. Sering terjadi dimana-mana. Laki-laki tua ini yang berada didalam mimpi-mimpinya selama beberapa malam terakhir ini. Dan candi sepuh serta ruangan ini juga berada di dalam mimpinya. Namun Rangga masih memerlukan penjelasan yang lebih mendalam, meskipun di hatinya dia sudah bisa menduga apa yang diinginkan Eyang Sundrata pada dirinya. Yang mengundang Pendekar Rajawali Sakti itu melalui mimpi-mimpi.

***

125. Pendekar Rajawali Sakti : Rahasia Candi TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang