enambelas

4.3K 367 114
                                    

Mungkin, kalian bakal butuh tissue(':

.

.

.

.

.

Aleysia mengayunkan kedua kaki-nya sembari menunggu Mean, sang ayah yang tengah membelikan sesuatu untuk-nya. Mereka sedang dalam perjalan menuju ke Mansion keluarga Mean. Benar, Mean mengajak Aleysia untuk kembali menyambangi kediaman kakek dan nenek-nya, tujuan-nya sudah sangat jelas; Mean ingin membahas mengenai pernikahan-nya dengan Plan dan juga perihal acara konverensi pers dengan media. Hal itu memang diperlukan, mengingat status social dari keluarga besar Phiravich. Sejak kejadian yang sempat membuat Mean naik darah kemarin, Mean sudah bertekad untuk tidak lagi menunda-nunda hal-hal yang berkaitan dengan Plan dan juga Aleysia, Mean tidak ingin media semakin menggila dengan terus mengusik putri-nya di sekolah atau di tempat umum lainnya. Atau parah-nya mereka menemuka keberadaan Plan dan membuat segalanya menjadi semakin runyam.

Mean hanya datang bersama Aleysia, Plan menolak ikut dengan alasan tidak enak badan. Entahlah, Mean merasa bahwa Plan menjadi sedikit aneh dua hari belakangan. Meski, pria kecil itu tetap membalas dengan senyum juga gelengan pelan, atau berkata bahwa ia baik-baik saja, Mean tetap merasa sedikit aneh.

Aleysia meminta berhenti di pom bensin terdekat karna putri-nya itu ingin ke kamar kecil, dan Mean juga tengah membutuhkan pasokan bahan bakar untuk mesin mobil miliknya. Mereka berhenti sejenak, tak langsung kembali melanjutkan perjalanan ketika Aleysia meminta dibelikan minuman dingin.

Mean menggeleng, "Kenapa marah-marah terus sih, nak?"

Ah, benar. Aleysia memang tengah merasa jengkel lantaran Plan, mami-nya itu tidak turut serta dalam kunjungan kali ini. Kalian tidak lupa, kan? Aleysia begitu lengket pada Plan, melakukan perjalanan jauh—hanya satu jam kurang lebih, sebenarnya—melakukan perjalanan jauh tanpa Plan membuat suasana hati-nya buruk. Aleysia ingin tidur sepanjang jalan dengan usapan tangan Plan di kepala.

Ugh, Aleysia sangat kesal dengan ibu-nya sekarang.

Mean melenguh lagi. Tidak heran, gadis kecil yang tengah merajuk dengan bibir mengerucut sebal itu adalah darah daging-nya, keras kepala, dan mudah marah. Mean sedikit menyayangkan mengapa Aleysia tak mewarisi watak sabar milik Plan.

"Ayo pulang. Hm?" Ajak Mean, "Kamu di rumah sama mami, biar daddy pergi sendiri."

Aley masih merajuk, melirik Mean, ayah-nya sekilas. Dia ingin ikut! Dia juga tidak ingin Mean meninggalkan-nya di rumah. Aleysia tetaplah Aleysia, bukan? Gadis itu benar-benar merasa jengkel padahal hanya karna sebuah masalah kecil, Aley sendiri juga tak paham, hati-nya sangat jengkel ketika mendengar bahwa Plan tidak akan ikut pergi ke rumah nenek bersama.

"Berhenti marah dan jadilah anak manis, atau daddy antar pulang dan merajuk sepuasmu di rumah, choose one?" Ucap Mean lagi.

"Kamu tau temperament-mu itu buruk sekali?" Lanjut Mean, "What should daddy and mami do with your anger, huh?"

Mereka sedang berada di sebuah minimarket di dalam pom bensin, tidak dalam keadaan banyak orang—untung saja. Mean sedikit terganggu dengan temperament yang putri-nya itu milikki. Tak jarang Aleysia akan benar-benar mengamuk hanya karna sesuatu tak sesuai dengan keinginan-nya, ia akan merajuk pada Plan seharian, atau mengunci diri di kamar setelah sebelumnya ia akan begitu meledak-ledak, menyalahkan apapun, termasuk merajuk merengek pada Plan. Itu bukan sebuah watak yang baik menurut Mean, Aleysia harus belajar untuk menurunkan temperament miliknya itu.

HOME | end'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang