Suara pengering rambut terdengar memenuhi ruangan berukuran sedang saat aku membuka pintu Anaya's Salon. Aku langsung meletakkan tasku di atas meja yang memiliki kaca besar di depannya begitu tiba di tempat itu. Aku dan April, teman satu divisiku di kantor memutuskan untuk mengcreambath rambut selepas pulang kerja tadi.
Aku merasa perlu merileksasikan pikiranku setelah bertindak impulsif di depan Panji kemarin. Aku nyaris tidak bisa meletakkan wajahku saat bertemu dengan pria itu di kantor. Aku bahkan sampai tidak berani bertatap muka dengannya. Bukan karena ucapanku terakhir kali untuk berpura-pura tidak saling mengenal, tetapi karena aku jelas-jelas tahu jika pria itu akan menolakku.
"Benar-benar memalukan sekali," pikirku.
Aku mengambil handuk basah yang disediakan pemilik salon itu dan menutupkannya di wajahku sembari menunggu pegawai salon tiba dengan troler berisi peralatan creambath. April yang sedang bersandar malas di kursi sebelahku lantas memiringgkan tubuhnya sedikit dan menoleh padaku.
"Kau habis bertengkar dengan Panji ya?" celetuknya dengan nada menohok.
"Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Yahh, karena kulihat ada aura hitam yang mengelilingimu setiap kali kau tidak bertegur sapa dengan Panji," ujarnya sok filosofis sembari menggerakkan telunjuknya membentuk pola lingkaran, "Lagi pula setiap kali kau bertengkar dengan Panji, kau pasti menyeretku ke sini."
"Jangan sok tahu!" omelku sembari membuka handuk yang menutupi wajahku dan mengangkat sedikit kepalaku agar pegawai salon berusia awal dua puluhan itu bisa mencuci rambutku, "Sudahlah. Aku tidak ingin mendengar omong kosongmu!"
April tersenyum sinis menanggapi ucapanku dan kembali meluruskan tubuhnya sembari menikmati pijatan-pijatan halus di kepalanya yang sudah dilumuri dengan krim rambut.
"Lagi pula kenapa juga kau masih saja mengejar pria yang sudah menikah?!" keluhnya berpura-pura tidak mendengar omelanku tadi.
Aku menendang kaki wanita di sebelahku dengan kaki kananku agar dia berhenti dengan kata-kata tidak tahu dirinya.
"Aku tidak mengejarnya. Aku hanya berpikir jika dia mungkin pernah mencintaiku," protesku membela diri, "lagi pula aku dan Panji berteman lebih dulu dari pada dia bertemu dengan wanita itu,"
"Persetan dengan pertemuan. Nyatanya dia lebih mencintai Nandini," ujarnya lagi sengaja memancing kekesalanku.
"Heh, tahu dari mana kau kalau Panji lebih mencintai Nandini?" tanyaku sambil menegakkan tubuhku menghadap wanita mengesalkan di sebelahku, "Mereka baru saja menikah. Dan aku tahu Panji hanya mengabulkan permintaan Ibunya."
"Ini yang selalu kau lupa. Buktinya dia menikahi wanita itu."
Aku terdiam mendengar ucapan wanita itu. Aku hendak membuka mulutku namun aku seolah kehilangan kata-kata sehingga aku memilih meluruskan posisiku dengan perlahan-lahan sambil memikirkan perkataannya.
Jika Panji tidak mencintai Nandini pasti lelaki itu bisa menolaknya dengan berbagai alasan bahkan dengan alasan yang tidak masuk akal sekali pun. Namun kenyataannya dia menikahi wanita itu dengan suka rela. Aku terpukul saat menyadarinya. Kenyataan seolah memberikan luka baru di dadaku dan mengikis hatiku yang telah berdarah.
Aku buru-buru meraih handuk hangat yang tadi kugunakan dan kembali meletakkannya di wajahku. Aku tidak ingin ada seorang pun yang melihatku menangisi pria itu. Termasuk April. Hatiku berdarah karena luka yang kuderita kembali terbuka dan menganga. Selama ini aku selalu meyakinkan diriku jika Panji mencintaiku meskipun lelaki itu menikahi istrinya. Aku tidak pernah berpikir akan kemungkinan pria itu mencintai Nandini, karena aku takut egoku terluka. Dan begitu aku mencoba menerimanya aku terkapar karena kenyataan yang kuterima.
"Kau perlu belajar merelakan Panji. Dia sudah menikah dengan Nandini. Kau harus menerimanya," ucap April sambil menepuk lenganku pelan dengan tangan kirinya.
"Kalau ini mudah sudah kulakukan dari dulu," tuturku dengan nada yang sedikit berubah karena tangis yang berusaha kupendam dalam hati, "Kau belum pernah mengalaminya, Pril. Jadi kau tidak tahu..."
"Aku tahu perasaanmu. Pasti berat untukmu."
"Ini berat. Kau mungkin tidak tahu apa yang sudah kuperjuangkan untuk bisa tetap di sisinya tapi... jika akhirnya dia menikah dengan wanita lain aku bisa apa??" ujarku sembari menggigit bibirku untuk menahan rasa sakit yang menjalari dadaku, "Aku bisa saja bilang kalau aku merelakan kebahagian mereka, namun hatiku... Ahh... kenapa aku jadi emosional begini?" tanyaku sembari berpura-pura tertawa dan mengusap ujung mataku dengan jari.
"Kalau kau sudah berhasil menata hatimu, kau pasti akan melihat ada begitu banyak orang yang mencintaimu."
Aku mengangguk dan menegakkan kepalaku yang baru saja dipasangi headband oleh petugas salon. Aku menggerakkan tanganku menyuruh petugas itu menunggu sebentar sebelum dia memasangkan steamer di kepalaku karena aku mendengar suara ponsel yang datang dari arah tasku. Aku mengambil tasku dan memeriksa telepon yang masuk ke handphoneku.
"Nomor tidak dikenal?"
"Mungkin istrinya Panji," canda April berusaha menjahiliku namun tidak kutanggapi.
"Hallo?"
"Zee? Masih kenal dengan suaraku?" tanya pria bersuara asing di telepon.
"Tidak," kataku cepat, "Siapa?"
"Farid."
"Farid?" kataku sedikit ragu-ragu mencari ingatan tentang pria bernama depan Farid, "Oh, Farid," ujarku sembari memelankan suaraku saat mengenali nama yang dimaksud karena aku tidak ingin wanita di sebelahku memulai gosip di kantor keesokan harinya.
"Aku pikir kau sudah melupakanku."
"Yaa, hampir saja."
Lelaki di seberang itu tertawa renyah menanggapi kekonyolanku. Aku tidak tahu kenapa pria itu meneleponku sore-sore begini karena aku terus terang tidak suka melayani telepon-telepon iseng dari pria-pria asing kurang kerjaan.
"Kau di mana?" tanyanya masih berbasa-basi, "Kedengarannya berisik sekali."
Aku tersenyum namun justru semakin mendekatkan teleponku ke mesin hairdryer yang sedang menyala hingga membuat lelaki di seberang telepon terpaksa harus menjauhkan telepon dari gendang telinganya untuk menghindari suara riuh yang terdengar.
"Aku sedang di salon," ujarku dengan menjauhkan sedikit handphoneku agar terdengar samar-samar karena bersaing dengan sura mesin pengering sehingga lelaki itu tidak akan menggangguku lagi.
Farid tertawa, "Untuk apa kau ke salon sedang kecantikanmu abadi?"
Aku hanya tertawa menanggapi ucapan pria itu yang terdengar aneh. Mungkin dia pikir salon hanyalah tempat untuk perawatan wajah dan tempat memulas make up.
"Kau ada kegiatan akhir pekan ini?" tanya lelaki itu akhirnya dengan sedikit keras agar terdengar olehku.
Aku berpikir sejenak. Pekan besok sepertinya aku tidak memiliki kegiatan untuk dilakukan, "Tidak ada sepertinya."
"Bagaimana kalau kita menonton?"
"Boleh," kataku singkat ingin segera mengakhiri pembicaraan. Lagipula Panji yang membawanya padaku kenapa tidak kucoba saja.
"Siapa??" tanya April saat aku menutup telepon dan kembali menyandarkan diriku ke kursi.
"Aku baru saja membuka mataku dan aku langsung melihat 'seseorang' seperti yang kau katakan..."
***
To be continued.
Terima kasih telah membaca :)
Jangan lupa tinggalkan jejak ya, guys.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eternity Love
Teen FictionAku mencintainya dalam diam. Gencar memintanya pada Tuhan. Menyebut namanya di hadapan Tuhan. Merasa yakin, ragu, senang dan sedih sudah kulalui dalam perjalanan doaku hampir lima tahun ini. Hingga pada satu titik, aku merasa lelah dan hanya menghar...