Jisung menyesap teh nya, teh melati buaatan Felix selalu membuatnya bersemangat, melupakan fakta bahwa ia harus menembus dinginnya malam demi sampai di flatnya.
Setelah janji kemarin malam yang dibatalkan karena hujan tak kunjung reda, pagi harinya Jisung berkunjung ke flat Felix untuk sekedar berbincang.
Tak terasa langit mulai dihiasi semburat jingga ditemani suara burung yang berlomba mengepakkan sayapnya. Jisung memutuskan segera pulang, tetapi sayang hujan kembali datang mengguyur Kota Gangnam.
Berakhirlah dengan Jisung yang menunda niatnya untuk pulang dan Felix yang menyiapkan teh melati kesukaannya. Mereka berdua kembali berbincang sampai Jisung mendapat pengingat dari ponselnya bahwa tersisa lima jam untuk mengumpukan naskahnya. Itu semua berarti sekarang tepat pukul tujuh.
"Kasihan sekali kau, Sung. Menginap saja, bagaimana?"
Jisung meletakkan cangkirnya. "Tidak bisa, aku harus menyelesaikan naskahku karena tepat tengah malam adalah waktu tenggangnya."
Felix mendengus, temanya ini masih sama. Senang mengerjakan tugas dengan waktu yang minim. Katanya, kita seolah memiliki kekuatan super ketika mengerjakan tugas di menit-menit terakhir. Memang, sih. Tapi, tetap saja kebiasaan itu tidak lah baik.
"Kebiasaan."
Jisung tersenyum. "Sudah, ya. Aku pulang dulu." Dirinya langsung menyambar mantel dari gantungan dan berlari setelah menutup pintu flat Felix.
Begitu sampai di taman depan yang tanpa atap Jisung memelankan langkahnya. Kaki kecilnya bergerak gelisah, memikirkan kapan hujan akan berhenti karena demi apapun naskah yang harus dikumpulkannya adalah naskah penting.
Han Jisung 21 tahun, penulis tanpa identitas dari jyspc. Jisung memang seorang penulis yang cukup hebat mengingat banyak dari karyanya yang sudah dibukukan. Tapi, Jisung juga terkenal di kalangan editor sebagai "seorang penulis akhir waktu"
Hampir dua jam menunggu di tengah cuaca dingin, akhirnya Jisung memutuskan mengambil payung hitam berukuran sedang dari pintu utama, dirinya berniat akan segera mengembalikan payung itu jika berkunjung lagi ke flat Felix. Ingatkan dia agar tidak lupa.
"Hujan selalu mengganggu kegiatanku," katanya sembari mengambil langkah pertama.
Kakinya terus melangkah menuju halte seiring dengan rintik hujan yang turun menemani lunturnya senja di latar kelabu berhias jingga. Jisung menikmati perjalanannya walaupun dalam hati tetap saja mengumpat mengingat betapa sialnya dia dua hari belakangan—terjebak hujan.
Baru berniat mendudukan dirinya di bangku halte yang terkena sedikit percikan air hujan, bus yang ditunggunya sudah datang. Jisung mengurungkan niatnya untuk duduk dan segera melangkah menaiki bus.
Bus tampak sepi dan itu dapat dipastikan karena hujan yang mengguyur dengan derasnya. Kaki Jisung melangkah menuju bangku ke tiga dari paling belakang, dia duduk pada bangku kanan yang dekat dengan kaca.
Sengaja memilih posisi begitu karena selain dapat beristirahat sebentar, dia juga bisa leluasa memerhatikan jalanan kota yang jarang-jarang terlihat senggang.
Lima belas menit berlalu, mau tidak mau Jisung harus menyudahi kegiatannya—melamun menatap jalanan—dan segera turun dari bus. Dia turun sendirian, di halte ini pun dia juga sendirian. Matanya menatap ke arah sebrang, arah sevel berada.
Maniknya melirik jam yang ada pada ponsel, sudah pukul sembilan lewat dua puluh lima. Hanya tersisa kurang lebih dua jam tiga puluh lima menit untuk mengirimkan naskahnya. Bukannya segera pulang tapi dengan bodohnya kaki kecil itu malah menyebrang menuju sevel.
Entah apa yang dia harapkan. Dirinya duduk di bangku yang kemarin ia tempati setelah membayar satu cup ramen dengan susu strawbery kesukaannya. Tiga puluh menit yang berharga telah berlalu, hujan juga makin deras membuat suasana terasa lebih sepi.
Ramennya pun sudah habis sedari tadi, tapi tidak tahu karena lapar atau karena ingin mengulur waktu, Jisung membeli satu cup lagi. Tangan mungilnya memegang cup ramen yang tinggal setengah, berharap kehangatan dapat tersalur pada tangannya yang berasa hampir kebas.
Jisung mengangkat cup ramennya, dia hendak menyeruput kuah merah itu, tapi tiba-tiba gerakannya terhenti ketika melihat siluet yang terasa tak asing di matanya.
"Pria itu lagi."
Bagai dejavu, pria itu mengulagi hal yang kemarin ia lakukan—menggesek kedua tangan, menepuk pipi, melepas baret, menyugar rambut—dan Han Jisung, dia juga mengulanginya, menatap pria itu penuh puja.
Kali ini pria itu tidak memakai baret berwarna coklat, dia memakai baret berwarna hitam dengan mantel yang juga berwarna hitam. Dengan perpaduan warna gelap, kulitnya yang pucat terlihat dua kai lebih pucat. Tapi, bibir itu tetaplah berwarna ranum. Jisung— sudah jangan diteruskan.
Pria itu duduk dan mengeluarkan sesuatu dari saku kirinya, benda itu berbentuk persegi dengan warna coklat hampir ke emasan. Tepat sekali, itu sebuah rokok.
"Eunsoo, apa rokok itu dijual di Korea?"
"Rokok mana yang kau maksud?"
"It—"
Ucapannya terhenti ketika tidak lagi melihat rokok di tangan pria itu. Hanya sekaleng bir yang ia lihat di sana, pun kapan pria itu masuk dan membeli sekaleng bir?
Jisung ada di sana, melihat bagaimana pria itu menatap jalanan sambil tersnyum tipis. Dirinya juga melihat bagaimana pria itu seolah bicara seorang diri dengan asap yang keluar dari bibirnya.
"Di luar pasti sangat dingin, kenapa tidak masuk saja, ya?"
"Pasti karena ada dirimu," ucap seseorang.
Jisung menoleh. Ada pria berperawakan pendek tetapi tak menghilangkan kesan manly dari tubuhnya. Pria itu mengenakan pakaian hangat berlapis berwarna biru tua dengan name tag sebagai pelengkapnya.
"Sialan kau, Changbin."
Pria itu—Changbin—terkekeh sambil ikut mendudukkan dirinya di sebelah Jisung.
"Sudah berapa lama kau berada di sini? Kata Felix, kau harus segera pulang dan menyelesaikan naskahmu?"
Jisung mematung. "A-aku, sudah hampir empat jam di sini," jawabnya setelah melirik layar ponsel.
Pukul dua dini hari, Jisung berjalan pulang ke flatnya dengan langkah gontai ditemani rintik air hujan yang sudah tak seberapa deras.
"Jisung idiot."
KAMU SEDANG MEMBACA
Benson and hedges
FanfictionDi hari hujan pun Han Jisung selalu melihatnya, melihat dengan tatapan memuja tanpa berani menunjukan eksistensinya. •minsung •yaoi •baku