Prolog

9 1 2
                                    


Netra terdiam kaku di kelas barunya. Matanya melirik beberapa orang tua yang menunggu anaknya di luar kelas. Bahkan ada yang masih digendong karena takut ditinggal. Normal, sih. Jarang ada anak yang akan santai saja duduk manis di tempat baru dengan seorang pria dewasa asing di dalamnya. Apalagi ini kelas satu SD. Itu jadi pemandangan yang tidak aneh. Beberapa juga ada yang menangis. Harus dibujuk dengan susah payah agar mau ditinggal sebentar saja. Netra tak mengkhawatirkan orang tuanya yang sudah pulang sejak tadi. Ia khawatir tak punya teman. Hanya itu.

“Eh, Lu sendirian? Apa nungguin temen?”

Suara barusan begitu mengejutkannya. Sosok anak laki-laki yang baru saja datang itu menatapnya tepat di mata. Bajunya berantakan. Ia menjawab dengan alis berkerut sedikit. “Sendiri.”

“Oh, ok. Gua duduk di sini, ya?”

Anak yang tingginya sama dengannya itu duduk tanpa menunggu jawaban dari Netra. Matanya memperhatikan penampilan teman sebangkunya yang baru itu. Anak itu berusaha merapikan seragamnya namun masih saja terlihat berantakan. Rambutnya acak-acakan pula. Mukanya berdebu. Apaan, sih ini anak? Pikirnya. Tanpa diminta, Netra membantunya merapikan diri. Maaf saja, ia tak pernah bisa membiarkan sesuatu yang berantakan dimatanya.

“Oh, makasih. Hehehe.”

“Lain kali pake baju yang rapi, dong.”

“Susah tau.”

“Lagian juga kamu siapa? Dari tadi nggak sebut nama, main duduk aja sebelum aku 'iya' in.”

“Panggil aja Dean. Lu?”

“Netra.”

“Nama Lu aneh.”

Ini menjadi awal persahabatan mereka yang dipenuhi tawa dan hujatan satu sama lain. Netra yang tenang dengan Dean yang berantakan. Dua bulan setelahnya mereka memilih ikut ekskul yang sama, beberapa beladiri dan beberapa cabang olahraga. Alasannya? Karena Dean memaksa Netra untuk ikut ekskul yang ia ikuti. Di sinilah perbedaan mereka jelas sangat terlihat. Dean yang memiliki fisik sangat baik seketika bersinar di beberapa ekskul. Netra juga bersinar namun dibawah peringkat Dean. Dean juga selalu membantunya ketika ekskul. Jika tidak, Netra memilih keluar saja.

Jika dalam kegiatan fisik Dean rajanya, dalam hal pelajaran Netra yang berkuasa. Ia pintar. Sangat pintar malah untuk anak seusianya. Setiap pulang ekskul mereka akan belajar bersama di rumah Dean kemudian Netra akan pulang jam delapan malam saat dijemput ibunya. Selama menunggu dijemput itulah kesempatan Netra membalas penyiksaan fisik Dean ketika ekskul. Siksaan pelajaran lebih ampuh untuk Dean yang tidak suka belajar. Netra mengancam akan keluar ekskul jika Dean tak mau belajar. Karena dasarnya Dean anak yang tak mau kesepian dan baru mempunyai teman, ia selalu patuh pada Netra. Sesekali juga kakak Dean membantu mereka.

Persahabatan mereka yang unik itu berlanjut hingga kelas tiga. Mereka selalu duduk satu meja. Keduanya juga cukup terkenal diantara para pengajar di sekolah swasta itu. Memasuki semester kedua, tak ada yang aneh. Hanya saja Dean lebih sering memilih pulang duluan. Karena Netra berusaha berpikir yang baik-baik, mungkin saja temannya itu memang ada keperluan. Ia tak ambil pusing soal itu. Namun, yang jadi masalah sebenarnya itu dia jadi harus ikut kegiatan ekskul sendirian. Dia sadar bahwa tubuhnya cukup lemah dibanding temannya yang lain. Dia jarang beraktivitas di luar rumah. Yang membuatnya bertahan selama ini karena bantuan Dean. Dan sekarang anak itu malah jarang ikut ekskul.

“Netra, Dean mana?” tanya guru olahraga mereka yang mengajar ekskul renang.

“Dia bilang mau pulang duluan. Gitu doang, Pak.”

Pak guru mengangguk-angguk kemudian mulai mengabsen anak-anak yang hadir, seperti biasa. Namun mulai dari  sana Netra merasa ada yang aneh dari sahabatnya itu. Dean jadi agak pendiam. Saat ekskul, Dean tak ribut seperti biasanya. Namun, karena tak mau dianggap mengganggu, Netra diam saja soal kejanggalan itu. Ia memilih bersikap seperti biasanya.

Stupid FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang