I

4 0 0
                                    

I

Pagi ini ia membaca buku dengan sangat kesal. Di balik maskernya, ia tak henti menggigit bibirnya. Menahan sumpah serapah yang selalu saja tak bisa ia rem ketika bertemu Dean. Reuni dua hari lalu masih menyisakan rasa kesal luar biasa. Tidak. Itu bukan Reuni. Si sialan itu membuat pertemuan mereka jadi sangat menyebalkan. Setidaknya, ada Mas Juno saat itu. Tentu orang yang ia anggap seperti kakak sendiri itu tidak akan melakukan kebodohan seperti yang Dean lakukan.

“Akh. Astaga.”

Sialnya, lebam di sudut bibirnya masih saja perih. Padahal sudah dua hari. Kemarin ia sampai harus izin sekolah karena tak kuat berdiri. Hei, Atlet juga manusia. Punya batasan untuk menahan sakit di tubuhnya. Siapa juga yang tidak ambruk setelah dikeroyok  enam orang menggunakan senjata tumpul? Badannya masih cukup sakit di sana sini. Oh ya, siapa ya namanya? Otak pengeroyokan itu rivalnya sejak SMP. Tapi ia masih tidak ingat namanya. Lagipula, itu hanya pertandingan di kejuaraan festival. Kenapa sampai segitu dendamnya, sih?

“Ow, ow. Makasih udah dateng duluan,” sahut seorang siswi yang baru saja datang. Ia duduk di kursi belakangnya. “Eh, kenapa Lo kemaren nggak masuk? Kebanyakan belajar sampe energinya habis?”

Netra hanya meliriknya sekilas tanpa ada niatan membalas. Selain karena sangat kesal, ia tak mau menambah rasa nyeri dengan banyak bicara. Lebih baik ia kembali membaca novel yang kemarin dibelikan Om nya. Sayangnya, ia lupa bahwa gadis itu lebih menyusahkan ketika tak ditanggapi. Tanpa rasa bersalah jemari mungilnya menusuk-nusuk punggungnya tepat dibagian yang cukup sakit.

“Ish, dingin amat kaya' kulkas es krim.”

'Anj, sakit.’

Tangannya menghentikan tusukan yang menyiksanya itu. Matanya menatap tajam pada gadis yang menatapnya dengan wajah cemberut. “Jangan. Sentuh. Paham?”

Netra menekan tiap kata yang ia ucapkan, memastikan agar gadis itu tak melakukannya lagi.

“Lo napa siii?”

Pemuda itu mengambil smartphone dan segera mengirim pesan pada gadis itu.


Yola

Badan gue sakit semua dan gue ga bisa banyak omong karena otot muka gue sakit.
Berhenti bawel dan jangan nusuk-nusuk badan gue.


Gadis itu malah tertawa lepas membaca pesan yang baru saja masuk. Baginya, ini lucu sekali. Netra dikenal sebagai cowok pintar, dingin, dan berprestasi. Seolah tak ada yang bisa meruntuhkan dirinya yang berdiri tegak. Tapi sekarang? Pemuda itu sedang menahan nyeri dibalik maskernya. Meski Netra menatapnya dengan tajam, ia bisa menahan tawanya yang sudah terlanjur lepas. Jarang sekali melihat pemandangan ini. Eh, tiba-tiba ia ingat sesuatu yang ia dengar kemarin.

“Ada anak baru tau. Kemaren dia dateng ke sekolah buat kasih berkas-berkas dan mulai sekolah hari ini.”

“Wew, informatif sekali,” sahutnya dengan ketus.

Dih, ini anak dinginnya melebihi kulkas beneran. Yola yang sudah unmood memilih bermain game. Netra mode dingin seperti itu hanya akan menambah penyakit hati. Padahal maksudnya kan baik. Siapa tau si anak baru nantinya bisa jadi teman yang ia percayai. Jadi dia tidak akan menanggung bebannya sendirian.

Rencananya memang si anak baru akan mulai belajar hari ini. Namun entah kenapa hingga jam tangan Yola menunjukkan pukul 11.37 belum juga ada sosoknya di kelas ini. Guru juga belum memberi informasi apa-apa. Atau jangan-jangan itu hoaks? Ah, pasti teman-teman perempuannya kecewa karena desas-desusnya si anak baru ini—

“Eh, udah masuk? Kirain masih geleparan di kasur.”

Suara itu sontak membuat seisi kelas yang tengah hening serempak menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu seorang pemuda tengah melongok ke dalam. Dari semula yang hanya kepalanya yang masuk, kini ia melangkah mendekati guru yang tengah mengajar. Untungnya saat ini sedang pelajaran wali kelas mereka. Mata mereka tak lepas memandangi sosok yang dengan santai berbicara dengan wali kelas mereka. Si anak baru, kah?

“Kalian pasti udah tau, 'kan? Ini anak barunya.”

“Em ... hai, Ardean Fatir. Panggil Dean bisa. Atau mau kasih nama panggilan juga boleh,” ucapnya dengan santai lengkap dengan senyumnya yang manis.

Tak ada yang bersuara. Benar-benar hening. Semua terpaku padanya. Yah, tidak semua. Hanya satu yang tidak menanggapi dan sibuk sendiri menulis catatan. Sama sekali tak peduli.

“Wow, tumben sepi,” celetuk pak Ghian. Ah, punya kelas yang mayoritas laki-laki memang kurang greget. Kalau perempuan pasti lain cerita. “Nah, duduk di bangku yang kosong. Ada dua, di pojok atau di sebelah  profesor. Pilih aja.”

Tawa Dean pecah mendengar lelucon receh wali kelasnya. “Sebelah profesor, dong, Pak. Biar ketularan pinter.


∆∆∆


Netra kesal bukan main saat ini. Dean memaksanya untuk tetap tinggal sekali pun ia sedang sakit begini. Ia hanya ingin istirahat di rumah sekarang, bukannya menunggu di pinggir lapangan seperti saat ini. Ia bahkan tak tahu kalau pelatihnya bisa semudah itu akrab dengan sahabat kecilnya yang menyebalkan itu dipertemuan pertama. Yang ia tak habis pikir, kenapa tingkat sabuk Dean berada dua tingkat dibawahnya? Apa Dean cukup lama tidak latihan? Tapi jika melihat performanya saat ini, ia sanksi. Staminanya sangat bagus.

Sebenarnya bukan soal Dean yang mengganggunya saat ini. Melainkan para siswi satu sekolah yang tiba-tiba menonton latihan ekskulnya saat ini. Ia lebih suka ketika suasana sangat sepi, jadi lebih bisa konsentrasi. Sedangkan saat ini sangat berisik dengan teriakan dan bisik-bisik para betina. Ini sangat mengganggunya. Sialnya, ketika istirahat, Dean malah duduk dekat dengannya sambil berceloteh--entah apa yang ia bahas.

“Lau dengerin Gue nggak, sih, Nyet?” sembur Dean. Ia baru sadar Netra tidak mendengarkan sama sekali.

“Nggak. Berisik banget, Njing,” umpatnya.

“Emang iya? Bukannya biasanya gini juga?”

“Nggak. Gegara ada Lo.”

“Gue lagi.” Mata Dean beralih pada anak-anak lain yang duduk di seberang mereka. “Lo ikut popkot SMP?”

“Hm ... ya.”

“Perak?”

“Emas.”


Seketika Dean menoleh dengan alis berkerut dalam. “Kok Lo di sini?”

Netra balas melirik tajam. “Kok Lo ga ada kabar, Njing?”

Dean bungkam seketika. Ia tak lagi menatap Netra yang masih dengan tatapan tajamnya. Dedaunan di luar gedung olahraga terlihat lebih menarik saat ini. Ia tak berkata apapun lagi. Sama sekali. Netra tahu ada yang Dean sembunyikan. Wajah Dean tak secerah beberapa menit lalu. “Kalo nggak mau cerita, ya nggak apa-apa.”

“Nanti. Kalo waktunya cocok,” ucapnya dengan  lirih.

Sebenarnya Netra penasaran. Kenapa selama ini Dean tak ada kabarnya sama sekali. Di setiap kejuaraan yang ia ikuti, is selalu mencari Dean meskipun itu butuh waktu sangat lama. Namun sampai sekarang ia sama sekali tak pernah mendengar cerita lengkapnya dari Dean. Bahkan Mas Juno pun tak bercerita apa-apa tentang keadaan mereka selama ini. Yang ia tahu, mereka kembali ke Jakarta karena Mas Juno dapat kerjaan baru di daerah ini. Ia yakin banyak hal sudah terjadi selama enam tahun kebelakang. Sahabat menyebalkan yang ia kenal berubah banyak meski tak terlalu terlihat. Netra mengetuk kepala Dean menggunakan botol milik pemuda itu.

“Ok kalaupun nggak sekarang.”

“Ooh, Netra akrab sama Dean?”

Pelatih mereka yang hanya memakai bawahan seragam dengan kaos oblong itu datang sambil bermain skipping. Staminanya bisa dikatakan sebanding dengan seorang atlet yang masih aktif. Tidak seperti pelatih lainnya yang sudah pensiun jadi atlet yang jarang melatih tubuhnya, pria sepertiga abad itu masih sangat rajin latihan. Bahkan ia selalu ikut TC bersama murid-muridnya. Wajah Dean kembali cerah, seolah menutupi sesuatu. Lagi.

“Dari SD, Beum.”

“Ha? Kamu nggak bosen temenan sama ea batu kaya' dia?”

Shit! Sifat pelatihnya yang satu itu sangat menyebalkan.

“Aduh, gimana, ya?”

“Yang sabar sama dia cuma saya, Beum,” sahut Netra.

“Oooh ... iya juga, sih.”

Sebenarnya dia memihak ke siapa, sih?!

∆∆∆

Tak banyak yang Netra tunjukkan atau harus dijelaskan tentang sekolah ini. Hanya sebuah sekolah yang banyak terdapat anak-anak berprestasi dibidang non akademiknya. Yang berprestasi bagian akademik juga ada, namun tak terlalu banyak. Ya, sekolah ini memang menjadi tujuan banyak anak-anak yang ingin menjadi atlet namun memiliki keterbatasan biaya. Termasuk dirinya yang biasa-biasa saja. Sekolah mereka cukup memiliki nama dibidang non akademik. Mungkin itu alasannya juga sekolah dibuka hingga jam sembilan malam. Untuk tempat latihan para murid yang akan ikut kejuaraan nantinya.

Dean juga tak banyak bertanya, juga tak banyak bicara. Tak banyak yang mereka lakukan selain sibuk dipikiran masing-masing. Sampai Pak Seno, satpam sekolah mereka menyuruh pulang tak ada yang memulai pembicaraan. Hingga akhirnya mereka tiba di parkiran. Netra yang sadar bahwa dia tak membawa kendaraan berniat berbalik. Tapi motor Beat Dean segera mencegatnya disertai semringah menyebalkan dari si empunya motor.

“Nyet, Gue anter. Sekalian mau temu kangen sama Mamah.”

Oh, iya. Dean sudah seperti saudaranya. Bahkan Mamanya oun menganggap Dean seperti anak sendiri. Dulu jika Mamanya libur dan Dean main ke rumah, masakan apa sjaa yang Dean mau pasti akan dibuatkan. Kadang ia merasa dilupakan. Tapi dirinya senang karena suasana sepi di rumahnya menghilang, berganti keramaian yang menyenangkan.

Benar saja. Mamanya sangat senang bertemu Dean setelah sekian lama. Begitu juga dengan ayahnya. Mereka seperti kembali ke masa lalu saat  Dean sering main ke rumah. Tak jarang juga Netra yang main ke rumah Dean. Bahkan sesekali Dean menginap di rumahnya. Pokoknya rumahnya sudah seperti rumah kedua buat Dean. Tak jarang juga Mas Juno sampai memaksanya pulang karena Dean sangat sulit dibujuk pulang.

Tepat pukul sembilan malam Dean di telfon Mas Juno. Samar Netra dengar Mas Juno meminta segera pulang. Benar-benar segera. Dean seketika pamit tanpa banyak basa-basi. Motor hitam itu melaju secepat yang ia bisa pacu. Dibalik helm miliknya, Wajah Dean sedikit memucat. Jantungnya berdebar tak menyenangkan san pikirannya mulai ke mana-mana. Takut terjadi sesuatu di rumah yang membahayakan Masnya.

Ia legaelihat keadaan rumah cukup baik-baik saja mengingat beberapa barang memang belum sempat ia bereskan sejak pindah ke sini. Ia melihat Masnya duduk lesehan di lantai sambil memegangi smartphone kebiruan miliknya. Wajahnya terlihat agak gusar.

“Mas,” panggilnya.

Juno yang baru sadar.sengan kedatangan Dean langsung menoleh. Ia menepuk lantai di sebelahnya agar Dean duduk di sana. Dean tahu jika Juno sampai berwajah seperti itu, pasti ini tentang mereka. Ah, ia malas menyebutnya seperti 'itu'

“Bulan ini Ayah mau nikah.”

Ia masih belum mengerti apa yang membuat Juno sampai segusar itu. Apa masalahnya?

“Terus?”

“Dan mulai tinggal di sini. Sama kita dan istri barunya.”


∆∆∆

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Stupid FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang