1

194 17 27
                                    

Happy reading guys.

~~~

"Kue  Kue  Kue kering!" teriak nyaring seorang gadis.

Masyarakat sekitar panti asuhan Cahaya Hati, sudah sangat hafal dengan suara itu.

"Wulan, kemari!" panggil seorang  ibu paruh baya yang berdiri di depan pintu.

Dengan sedikit berlari, gadis itu menghampiri sang ibu. Wulan adalah namanya, seorang anak yang ditinggalkan di depan sebuah rumah semasa kecil. Tempat yang menjadi saksi bisu perjuangan hidupnya, yang melihat banyak air mata yang Wulan teteskan. Bangunan yang kini menjadi sebuah panti asuhan. Menjadi tempat pulang bagi anak-anak yang tidak punya arah. Tempat tumbuhnya anak-anak manusia yang ditelantarkan.

"Iyah Bu?"

Sang ibu tersenyum lalu bertanya, "Apa kuenya masih?"

"Masih Bu," jawab Wulan sambil memperlihatkan dagangannya.

"Seperti biasa yah, Ibu mau beli 10 bungkus kuenya," kata ibu itu antusias.

Dia adalah seorang saudagar kaya raya yang dermawan, dia akan membagikan kue-kue itu pada anak jalanan yang kelaparan.

"Sebentar Bu, Wulan bungkus dulu," ucap Wulan senang.

"Bagaimana dagangannya hari ini?"

Wulan yang sedang membungkus kue menoleh, "Laris Bu, setelah Ibu beli 10 bungkus, sisa 1 bungkus."

"Kalau begitu biar Ibu ambil sekalian saja," ujarnya.

"Wah, terimakasih Bu," ucap Wulan sambil menyerahkan kue.

Setelah dagangannya habis terjual Wulan langsung kembali ke Panti. Wulan berjalan sendirian menyusuri sebuah gang yang sempit.

Keringat yang bercucuran di dahinya, tidak menghilangkan pesonanya. Wulan memang terkenal cantik, rambutnya yang panjang hitam pekat, bulu mata lentik dengan manik amber. Wajahnya yang tirus dengan kulit berwarna kuning langsat, dia juga cukup tinggi.

Hanya satu kekurangannya, dia tidak pernah tau siapa orang tua kandungnya sehingga dia tidak percaya diri karena hal itu. Wulan selalu dikucilkan teman sebayanya karena pendiam.

Kini usianya 18 tahun dan baru saja naik kelas 3 SMA.  Setiap hari Minggu atau saat libur, Wulan akan berjualan kue kering untuk membantu Bu Ratmi---ibu asuhnya. Hasil jualannya digunakan sebagai tambahan untuk membeli keperluan makan anak panti, dan sebagian akan Wulan sisihkan untuk membeli novel. Karena Wulan adalah seorang kutu buku, pecinta novel terutama genre fantasi. Meski dia hanya bisa membeli buku di toko loak, setidaknya itu bisa memenuhi hasratnya akan bacaan.

Seperti biasa setiap akhir bulan, Wulan akan menambah koleksi novelnya. Namun sepertinya kali ini sedikit berbeda, karena tempat langganannya sedang tutup. Kata pemilik kios sebelah, penjualnya sedang pulang kampung.

Wulan memutuskan untuk mencari toko loak lain, dan akhirnya dia menemukannya. Sebuah kios dengan bangunan tua. Terdapat pahatan kuno di pintu, dan atapnya seperti bangunan zaman dulu yang berbentuk trapesium. Terlihat sangat menyeramkan, apalagi di depan tempat itu ada sebuah pohon beringin yang sangat besar, dan lingkungannya juga sangat sepi seperti tak berpenghuni.

Namun kakinya seolah berkhianat dan berjalan mendekat ke arah toko. Wulan mengedarkan pandangannya, sayangnya tidak ada orang yang berlalu.

"Kenapa sepi banget yah," batin Wulan resah.

Wulan berniat untuk berbalik, hingga sebuah suara menghentikannya.

"Ayo masuk nak, di dalam sedang ada diskon novel," ucap seorang kakek yang sepertinya pemilik toko itu.

Dengan sedikit ragu, Wulan melangkahkan kakinya mengikuti sang kakek masuk ke bangunan tua. Pemandangan pertama yang disuguhkan adalah rak buku yang tinggi menjulang bahkan lebih seperti perpustakaan dibanding toko buku.

Aroma kayu memanjakan indra penciuman Wulan, ternyata suasana di dalam sangat nyaman, berbanding terbalik dengan tampilan luarnya yang mengerikan. Ukiran-ukiran unik di bagian dalam sangat banyak, bahkan dindingnya hampir penuh dengan berbagai kata. Kalau tidak salah lihat, Wulan seperti mengenal beberapa aksara itu.

Wulan hendak melangkah ke arah dinding sebelah kirinya, dia seperti membaca kata wulan’ yang di tulis dalam aksara jawa. Namun suara kakek itu menghentikan langkahnya.

"Ayo sini nak, dipilih, semuanya diskon 50%," ucap Kakek itu yang membangkitkan hasrat akan bacaan dalam diri Wulan.

Dia mendekat ke arah rak buku yang ditunjukkan oleh sang Kakek. Matanya menjelajah, memindai setiap buku yang terjejer rapi. Hingga pandangannya jatuh pada buku bersampul coklat tua yang berada di paling pojok. Buku itu terlihat kusam dan tua, tapi justru sangat menarik perhatiannya. Tangannya terulur mengambil buku itu. Dia mengusapnya dan merasakan tekstur kasar pada sampulnya, seperti buku-buku masa lampau.

"Terserah padamu?" gumam Wulan saat membaca judul buku itu. "Apa maksud judul buku ini?" Bahkan judulnya saja sudah membuat Wulan sangat penasaran, kerutan di dahi menandakan bahwa dia sedang berfikir.

"Saya ambil buku ini, Kek," ucap Wulan sambil memperlihatkan buku itu.

Kakek itu tersenyum, "Wah, pilihan yang bagus nak, ayo ke tempat pembayaran," ajaknya lalu berjalan lebih dulu.

"Apa Kakek menjaga toko ini sendirian?" tanya Wulan yang sudah berjalan di sampingnya.

"Tidak juga, kebetulan cucuku sedang ada urusan di kampus," jelasnya.

"Oh begitu," ujar Wulan seraya menganggukan kepala.

"Jaga buku itu baik-baik, kamu akan tau betapa indahnya buku itu," ujar Kakek saat Wulan selesai melakukan transaksi.

"Baik Kek," jawab Wulan tanpa curiga ada makna tersirat dalam kata-kata itu.

Wulan berjalan keluar dari toko itu, tepat setelah Wulan menutup pintunya, dia bertemu seorang ibu yang sudah berumur.

"Nak, apa kamu baru saja memasuki toko itu?" tanya ibu itu dengan raut terkejut yang berlebihan menurut Wulan.

"Iya Bu, memangnya kenapa?" tanya Wulan penasaran.

"Apa kamu tidak tau? Kakek penjual buku itu gila, apa kau baik-baik saja?" Ucapan ibu itu sontak membuat Wulan terkejut.

"Masa sih Bu? Buktinya saya baik-baik saja," jawab Wulan berusaha tenang, walau sedikit takut.

"Syukurlah, kalau begitu Ibu permisi, dan kamu cepatlah pulang nak," ucapnya sebelum pergi.

Sampai di Panti, Wulan segera memasuki kamarnya.

"Sebaiknya aku mandi, badanku lengket sekali," gumam Wulan.

Dia berjalan ke arah kamar mandi, setelah meletakan novel yang dia beli di atas meja belajar.

Setelah mandi, Wulan duduk di atas ranjang, dia berniat untuk membaca novel yang dia beli. Tangannya merobek bungkus plastik novel itu lalu membuangnya ke tempat sampah di samping tempat tidurnya.

Dibukanya halaman pertama, dan ternyata kosong. Wulan melihat halaman berikutnya ternyata juga kosong. Masih belum puas dia terus membuka lembar demi lembar novel itu. Sampai di akhir halaman juga hasil tetap sama, novel itu benar-benar kosong. Tidak ada tinta sedikitpun menggoresnya, tidak ada satu katapun di sana.

"Yah, kena tipu deh, 35.000 melayang,” umpat Wulan sambil melempar novelnya.

Novel itu mendarat dengan mulus di sebelah kaki Wulan, di atas ranjang, dengan posisi terbalik. Wulan membaringkan tubuhnya, dia mengingat kembali kejadian di toko itu.

Jadi bagaimana dengan cerpen yang aku buat, apakah menarik?
Atau justru biasa saja?

Salam hangat.

_me

Antara 2 (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang