5[end]

12.9K 2.7K 912
                                    

[Kesendirian]
-5th Survivor, Park Jihoon-

.
.
.

Aku selalu bertanya, apakah pernah sekali saja tuhan mengasihaniku? Jika pernah, maka aku ingin meminta penjelasan mengapa aku tak bisa merasakan kebahagiaan dalam jangka panjang se-umur hidupku. Semua masalah berputar selayaknya lingkaran setan. Mau di ulang berapa kalipun aku akan tetap berakhir sendirian dan kesepian.

Aku menatap nanar pada kertas putih berisikan kesepakatan dari pihak rumah sakit. Di pojok bawah terdapat kolom tanda tangan yang harus aku isi jika aku telah menyetujui. Aku beralih pada adikku Junghwan yang masih terbaring dengan posisi yang sama setelah nyaris setahun lamanya. Dia koma—dimana artinya ia sedang dalam pilihan antara hidup dan mati. Ku genggam tangannya agar dia tak merasakan dingin.

Derai benda halus berwarna putih terlihat berjatuhan di luar kaca jendela.

"Salju pertama," gumamku.

Musim dingin sebenarnya amat cantik. Ketika udara sejuk menyeruak, benda putih yang rapuh dan halus itu menyapa dengan indahnya. Atap-atap rumah serta dataran menjadi tempatnya untuk jatuh. Ketika seseorang melangkah, tapak kakinya terukir pada pijakan berlapis salju.

Dulu, aku sangat suka musim dingin. Aku mendorong kursi roda Junghwan yang masih kecil untuk keluar rumah dengan baju tebal, untuk bermain perang bola salju. Sampai ibu menjemput dan membawakan susu vanilla yang masih hangat. Aku dan Junghwan kemudian sering menertawakan diri masing-masing setiap kali susu putih itu memberikan jejak di atas bibir selayaknya kumis.

Mengingat semua memori itu, membuatku bahagia sekaligus sakit. Waktu tak akan pernah bisa terulang kembali. Kebahagiaan itu hanya permanen di masa lalu. Namun rasa sakitnya yang tetap mengikuti hingga ke detik ini.

Aku mengambil pena dan mulai menandatangani kesepakatan di atas kertas. Disana tertulis, bahwa aku sebagai wali Junghwan, bersedia melepaskannya dan menyumbangkan beberapa organnya. Dokter bilang, Junghwan sudah mati otak. Tak ada harapan untuk diselamatkan. Keputusan ini adalah keputusan paling berat yang harus aku ambil dalam hidupku. Aku menuliskan persetujuan tersebut dengan manik berembun.

Setelah pena dan kertas itu kuletakkan di nakas, aku mengambil tangan Junghwan. Sebelah tanganku pun membelai surainya seperti yang dulu ku lakukan saat ia ketakutan akan pertengkaran ibu dan ayah.

Aku menyetujui pendonoran organ karena sebuah alasan. "Junghwan, apa aku jahat karena masih ingin salah satu dari bagianmu tetap hidup di dunia ini?"

Wajah itu tak menampilkan ekspresi apapun. Aku rindu senyum Junghwan yang lebar, kala matanya melengkung seperti bulan sabit. Sudah setahun, aku tak menyaksikannya kembali.

"Junghwan, aku—" Kalimatku terjeda untuk menarik napas berat. Air mata sudah memuncak dan bersiap untuk jatuh. "Aku kakak yang buruk, kan?"

Kutatap matanya yang terkatup. Bibir pucatnya yang dulu berwarna merah kini tak lagi membalasku.

"Kau ingin pergi?" Air mataku akhirnya meluruh. Menitik pada baju pasiennya dan meninggalkan bekas yang lembab. "Aku tak akan menahanmu lagi. Kau sudah banyak menderita selama ini. Kau akan sembuh, Junghwan."

Aku mencoba untuk tersenyum kembali sambil menatapnya. "Karena kau akan sembuh—pergilah sambil tersenyum. Okay?"

Dari awal, aku sebenarnya sudah mempersiapkan diri. Sekali lagi, aku harus berakhir kembali bersama sepi. Junghwan pasti ingin sekali pergi, dan aku sebagai kakak yang tak berguna ini—mempertahankannya di dunia dengan segala penderitaan yang harus ia lalui. Jarum infus serta elektrodiagram menjadi saksi oleh ke-egoisanku.

ii. the day before today ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang