Sadar Sukar

40 16 2
                                    

Terik matahari membakar kulit. Diusapnya peluh yang bercucuran dari dahi. Bibirnya tak mengucap bahwa dirinya lelah. Sulit dimengerti kenapa Ia mau disini, padahal seharusnya berkumpul bersama sebayanya bermain gembira.

Tekanan yang dilalui tidak menjadikan dirinya lemah dan payah. Terkadang fikirannya jauh lebih dewasa dari padaku. Acap kali menyemangati padahal aku jarang melakukan yang sebaliknya.

"Ndi, sini duduk dulu. Kakak titip ini, dijagain ya. Mau ke warung sebentar," ucapku pada Indi sambil menyerahkan dagangan. Indi menganggukan kepalanya, "Iya, Kak. Jangan terlalu lama nanti rezeki kita terhempas angin jalanan." sahut Indi dengan nada khas anak kecil.

Aku terkekeh pelan mengelus surainya lembut. "Ndi-ndi ... kamu tuh merubah peribahasa tau."

"Bukan gitu, Kak Jani. Manusia itu kan mudah bosan, mendengar hal-hal yang biasa diucapkan malah bukan menjadi acuannya. Jadi, aku hanya mengganti sedikit kata-katanya, kok."

"Iya-iya adik kecilku yang manis .... Jangan lupa senyum hari ini ya." Aku melangkah pergi menjauhi Indi.

Memang hasil atas kerja keras kami tidak seimbang. Tapi setidaknya kami bisa menyisihkan uang untuk kebutuhan sekolah, jika Bapak sedang tidak mampu membiayai.

Tak jarang pula kami mengunjungi tempat pembuangan barang bekas ataupun tempat pembuangan akhir. Disana kami bisa memilah barang yang masih layak pakai untuk bersekolah. Tidak usah berfikir aneh, tetap mencari celah untuk keluar dari lubang hitam yang memenjarakan. Itulah bentuk ikhtiar kami pada Tuhan.

Sepertinya Indi menemukan perekatnya. Lihatlah, walaupun aku menyuruhnya untuk istirahat sejenak saja, tetapi malah asyik berdagang bersama teman setianya. Tak ingin melewati waktu kebersamaan mereka.

Kata Indi namanya Pangeran. Memang begitu adanya, jauh lebih kuat daripada kami. Tak jarang aku menjajalkan padanya untuk tinggal bersama kami. Ia bukan menolak. Tapi Indi benar, Pangeran tidak hanya berdiam diri di Singgasananya. Menaungi samudera, menjelajahi setiap inci kawasannya.

Ya, memberi secuil kehidupan pada siapapun disekitarnya itu jauh lebih berharga dibandingkan hidupnya.

Artinya kemungkinan untuk tetap bersama Indi hanya sedikit, menurutku.

"Bu, air mineralnya satu gelas." ucapku pada Si Penjual. "Jani-jani ... relakanlah selogam lagi. Kasihan adikmu mesti berbagi air sekecil ini denganmu," ujar Si Penjual menarik perhatianku penuh.

Benar juga, selama ini kami berbagi segalanya. Indi tak pernah protes, membuat aku tidak menyadari penderitaannya selama ini. Maafkan kakakmu ini Ndi .... Bersabarlah sedikit lagi.

 Bersabarlah sedikit lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Destinasi KlasikalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang