Menyendiri dengan segala spekulasi dalam otak kecilku, adalah hal yang paling kusukai. Sampai-sampai riuh dari dalam perutku tidak terdengar. Betapa seringnya aku bersyukur, keseharianku yang sang padat dan keterbatasan ekonomi tidak membuatku terserang penyakit orang pada umumunya saat telat makan.
Perutku, kamu sangat perhatian. Terima kasih, ya!
"Sampai kapan sih, kamu tetap pada pendirianmu itu?" Lagi-lagi lelaki ini, Ia bahkan tidak pernah absen dalam keseharianku.
"Apasih, Dam. Ini masih pagi loh. Kalau untuk sekedar ajak aku berdebat dengan semua pendapatmu tentang aku, lebih baik kamu pergi saja sana."
Dia terkekeh halus, "Apasih, Jani .... Aku hanya menghawatirkan perutmu yang sedari tadi meraung itu," sahut Adam.
Aku membalas bungkam, terlintas dipikiran bahwa sekalipun Adam tidak pernah lepas dari kehawatiran diriku.
Aku hanya takut, perempuan dengan segala kelembutannya akan menyakiti siapapun pria yang dikenal.
"Jani .... Mau kamu tusuk aku dengan pisau juga gak akan buat aku menjauhimu, tau!"
"Berhentilah membaca pikiranku, Dam. Kamu tau aku tidak menyukainya."
"Kalau begitu ayo cepat ke kantin. Aku tidak mengizinkan kamu belajar tanpa sarapan dahulu, Jani."
Adam menyeret paksaku. Seperti biasa, pada akhirnya aku menuruti kemauannya. Aku hanya selalu mengingat kalimat yang terlontar dari mulutnya, dikala aku berteriak meminta Ia menjauhiku ... "Aku sakit, Jani. Aku sakit kalau harus membiarkanmu sendirian di dunia ini. Aku justru sangat sakit mendengar setiap ucapanmu padaku. Berhentilah mengusirku, Jani. Dengan begitu kamu tidak menyakitiku."
Menahun bersamanya, membuat aku mengerti bahwa Ia bersungguh-sungguh menjaga dan melindungi aku dan juga Indi.
Pelan kunikmati roti keju pemberian Adam. "Kemarin dagangan mas diborong sama nyonya besar, kelihatannya sih baru datang dari kota," Ucap Adam membuka pembicaraan, "Beliau banyak tanya sama mas. Sampai akhirnya beliau mengajukan hak asuh terhadap mas-"
"Kamu mengajakku makan seperti ini hanya untuk pamit, Dam? Tidak usah berbicara banyak! Pergi saja! Tidak usah kembali sekalian!" Jani segera beranjak dari kantin. Semua pasang mata memandang mereka.
Adam mengejar Jani, cerita yang belum tuntas tadi mampu menghancurkan dunia Jani. Dunia yang menahun telah dibangun bersama Adam dan juga Indi. Dunia mereka.
Adam akhirnya berhasil menangkap tangan Jani. Ditariknya tangan Anjani sampai menubruk dada bidangnya. "Jani dengerin mas dulu! Mas bisa jelasin semuanya, kamu salah pah-"
"Ndak usah, Dam! Dengan mas pamit itu lebih menyakiti Jani, mas. Langsung saja pergi Dam!"
Selanjutnya hanya terdengar raungan tangis Anjani dipelukan Adam. Dielusnya Anjani, "Mas menyayangi kamu dan Indi. Mas nggak akan bisa tanpa kamu dan Indi. Mas nggak akan menyerahkan dunia kita kepada siapapun." Raungan Jani semakin kencang setelah mendengar itu.
Dari jauh ada sepasang mata sendu menyimak kedekatan mereka sedari tadi. Berakhir pada Anjani yang berada dipelukan pria yang Ia tahu dari siswa disini seorang guru olahraga.
"Cih, beberapa hari juga dia akan lebih nyaman dipelukanku daripada pria sawo matang itu!" Ucapnya seraya berbalik dan pergi.
Anjani mengendurkan pelukannya pada Adam. Tidak usah khawatir, semua tahu bahwa Adam dan Jani adalah sepasang kakak-beradik. Walaupun pada aslinya tidak seperti itu.
Adam menghapus sisa-sisa basah pada pipi Jani. "Cengeng!" Ungkap Adam meledek.
Jani balas memukul dada bidang Adam dengan keras, hingga Adam meringis kesakitan. "Kalau marah jangan diam seperti itu, Jani. Nanti kesurupan tau rasa!"
"Puas kamu kerjain aku? Pergi sana, aku mau kekelas." Adam hanya terus terkekeh hingga Anjani tidak terlihat lagi setelah persimpangan ruang kelasnya. Setelahnya, baru Adam melangkahkan kaki menuju ruangannya. Berleha sebentar setelah drama kecil tadi sepertinya cocok, sebelum mengajar nanti.
Dilain tempat Anjani sangat kebingungan saat melihat kelasnya kosong melompong, hanya terlihat semua tas teman-temannya.
Aku kira, aku sudah telat dan akan dimarahi guru yang sedang mengajar dikelas.
Jani menggaruk tengkuknya. "Jani? Kamu baru datang? Ayo cepat ke ruang auditorium. Seminar akan segera dimulai, tau!" Ucap ketua kelas yang baru saja datang mengambil bolpoin, entah punya siapa.
Anjani gelagapan dibuatnya, seminar? Kenapa dirinya baru sadar hari ini ada seminar dari komunitas Psikologi?
Ini semua gara-gara Adam, bisa-bisanya Ia tidak mengingatkan tentang ini. Sudahlah, lebih baik aku segera kesana. Rugi sekali kalau sampai aku tertinggal seminar yang kutunggu ini.
Anjani berlarian di koridor menuju ruang auditorium. Sampai menabrak seseorang.
Untung saja orang itu cepat tanggap, kalau tidak aku sudah pasti terjerembap ke lantai.
Lalu akupun tersadar telah berada dipelukan seseorang.
Astaga! Sungguh! Nyaman sekali!
Anjani masih tetap pada posisinya, begitu juga sebaliknya."Kalau 5 menit kedepan masih seperti ini. Saya yakin kamu akan segera menangkap getaran dari Saya."
Aku segera mendorong tubuhnya, "Ka-kamu?! Ke-kenapa bisa ada disini?!"
"Merindukanmu adalah hal yang akan Saya tekuni setelah ini"
Maafkan daku yang datang kembali dengan menghadirkan Mamas Adam hiks.
Mohon diterima keberadaannya. Karena, setelah aku pertimbangkan. Akan bosan sekali kalau setiap partnya dipenuhi dengan Jani dan Mas Aan.
Bagaimana? Setujukah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Destinasi Klasikal
General FictionBukan sebuah antologi perasaan entah itu sakit, perih ataupun luka mendalam yang ditorehkan melalui seseorang. Ini hanya tentang aku, waktu dan keadaan. Sebagian peran mungkin menyentuh setitik hati kecilmu saat membacanya. Tapi jika tidak pun tak a...