Pagi di hari ke lima lebih terasa menyenangkan, terutama bagi Hoshi dan Rendy yang begitu bangun tidur keluar kamar menicum aroma sedap dari ruang tengah.
"Siapa yang masak?" tanya Hoshi melihat berpiring – piring makanan tersedia di lantai. Karena tak ada meja makan atau ruang makan khusus dan dapur yang masih beralaskan beton kasar biasa, mereka setiap harinya makan kalau gak di ruang tengah depan TV jadul, yaa di teras.
"Tadi kan pas ada Ibu – Ibu di tukang sayur tuh, gue ngajakin buat senam poco – poco itu tiap weekend sekalian belanja. Ehh, kata Ibu di sana, mereka tuh nungguin kita buat keluar soalnya mau ngasih makanan, tapi segan karena kita keliatannya sibuk banget gak pernah main keluar."
Wendy menceritakan pengalamannya tadi saat berbelanja beberapa bahan makanan di pedagang sayur asongan.
"Terus abis dari tukang sayur, pada datang ngirim ini," tunjuknya pada semur telur, lalapan, sambal, ikan asin goreng, sayur asem, dan pindang yang digoreng garing bersama bawang merah.
"MANTAP!" suara Kalla yang baru beres mandi memecah keheningan karena pada ngiler pengen cepet – cepet makan sekarang.
"GUE DULUAN MANDI!" teriak Rendy lantas melesat ke dalam kamar mandi, meninggalkan Hoshi yang masih terkejut. "EH NYOLONG START LO!"
Tinggal mereka berdua doang yang belum mandi soalnya, ini sudah jam 10 WIB, cuman mereka yang baru bangun.
"Kayaknya kita harus sering – sering interaksi sama warga deh, mereka sampai segan gitu."
Ucapan Joy disetujui Reno. "Karena mereka suku Sunda, biasanya emang pemalu gitu kan. Dan lagi, itu artinya mereka menghormati kita sebagai tamu sampai takut ngeganggu. Gue rasa emang kita yang harus ngebuka diri."
"Tapi gimana caranya?"
Dania yang sudah mencomot ikan asin dari piring menatap beberapa orang di sekitarnya, ada Dirga, Wendy, Joy, Juan, dan Reno.
"Nanti kita pikirin lagi," putus Dirga. Juan mengangguk saja menyetujui, jam segini gak cocok dipakai mikir.
"HEI! Ini ada yang ngasih pisang!"
Lino berucap nyaring dari teras rumah, Arin yang lagi nyapu teras menatap pisang berwarna hijau segar itu takjub,"Banyak banget pisangnya."
"Tadi kan gue lewat abis buang sampah, terus dikasih ini suruh dibawa. Berat banget gila."
"Jelas berat lah, ini disebutnya satu sikat."
"Satu tangkai ini sikat disebutnya?" tanya Lino, Arin mengangguk membenarkan.
Joy, Juan, Dirga dan Reno keluar untuk melihat. Sementara Wendy dan Dania tetap di dalam menyiapkan sarapan.
"Ini masih ijo gitu, gimana makannya?" tanya Joy.
"Kita tunggu sampai matang aja," tandas Reno.
Arin yang mendengarnya lantas menggeleng. "Enggak perlu."
"Gak perlu gimana? Masih hijau gini Rin," balas Lino.
"Ini udah mateng tahu, udah bisa dimakan. Makanya kita dikasih. Ada kok pisang yang udah mateng meski masih hijau."
"Lo jangan ngada – ngada deh. Anak pertanian lo emangnya?" tanya Dirga ketus, Arin mendengus sebal. "Emang anak sastra gak boleh tahu soal pisang apa?"
Dirga buang muka.
Arin meletakan sapunya, lalu menghampiri si pisang, menekannya sedikit, lalu memberi penjelasan.
"Inituh udah bisa dimakan. Pisang emang ada yang tetep hijau meski udah mateng. Mama suka bikin pisang kaya gini tuh jadi pisang goreng, kolak pisang, kripik pisang, bolu pisang, banyak deh." Yang lain mengangguk mengerti. Meski masih sedikit sangsi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERTIGABELAS | 47 Days With Them✔ [OPEN PO check IG allyoori]
General Fiction[B E R T I G A B E L A S] ▪︎selesai▪︎ • College but not about collegelife in campus • Semi-baku • Lokal AU 13 orang terpilih dari dua perguruan tinggi berbeda, untuk hidup bersama selama 47 hari kedepan dalam sebuah rumah yang terletak di dusun terp...