5. Pesan Buya

71 9 0
                                    

“Gimana kabar pondok tahfidz di sana?” tanya Kyai Ahmad kepada Gus Abdullah.

“Alhamdulillah, baik, Abah. Mas Hafidz nitip salam untuk Abah dan Ummi serta permohonan maaf karena belum bisa sowan ke sini,” jawab Gus Abdullah.

Nyai Khawla, Ummi Adila, dan Amirah berjalan masuk ruang keluarga dan langsung duduk melantai bersama.

“Amirah gimana hafalannya, Nak?” tanya Kyai Ahmad.

“Alhamdulillah, lancar, Buya,” jawab Amirah sembari tersenyum manis.

“Sekarang sudah juz berapa?”

“Insyaallah, masuk juz 29, Buya.”

“Aamiin Allahumma Aamiin … terus, kabar tahfidz putri gimana, Ning?” Kini, Kyai Ahmad bertanya kepada Ummi Adila.

Ummi Adila tersenyum. “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal, Abah.”

Kyai Ahmad menggangguk, merasa bersyukur karena dikaruniai anak, menantu, serta cucu-cucu yang begitu saleh dan salihah. Jumat pagi ini memberi kehangatan bagi keluarga berdarah santri dan ulama bermargakan Rabbani. Mereka bercengkerama sembari menyeruput teh panas dengan pendamping yakni bolu jubada, rengginang, dan beberapa kue kering lainnya.

Ruang keluarga adalah nyawa dari rumah yang menjadi kehidupan untuk Kyai Ahmad dan keluarganya. Ruang keluarga yang bercatkan perpaduan hijau dan putih selalu menjadi tempat Kyai Ahmad berbincang bersama istri, anak, dan menantu serta cucu-cucunya. Ruang keluarga berlantaikan karpet ini menjadi saksi atas obrolan Kyai Ahmad dan keluarga besarnya. Di umurnya dan sang istri yang sudah masuk lansia, mereka menginginkan komunikasi yang aktif dengan anak-anak, menantu, dan para cucu.

“Jadi, gimana keputusannya, Ning?” Kyai Ahmad menatap lekat Amirah.

Amirah menunduk, lalu mengangkat wajah, dan menatap ke abah dan umminya. Gus Abdullah dan Ummi Adila tersenyum manis, memberinya keberanian untuk membicarakan hasil istikharah.

“Insyaallah, SMA Tunas Bangsa, Buya,” jawab Amirah dengan sopan dan penuh keberanian.

Mendengar jawaban dari cucu tertuanya, Kyai Ahmad terdiam sejenak. Begitu pun dengan sang istri.

Amirah kembali menatap abah dan umminya. Ia takut mengecewakan buya dan ummahnya, dua orang yang teramat sangat dicintai dan disayangi setelah kedua orang tua dan adiknya itu.

“Jawaban istikharah, ‘kan?”

“Nggih, Buya.”

Kyai Ahmad menarik napas panjang, lalu mengembuskannya. Sambil tersenyum, ia menatap Amirah. “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal. Itulah pilihan Allah, Nak.”

Amirah mengangguk sembari meneteskan air mata. Kyai Ahmad mengerti dengan perasaan Amirah, cucu yang tinggal bersamanya sejak lahir hingga lulus dari bangku tsanawiyah di PM Daarul Muttaqien Putri, miliknya.

“Nak, ingat satu hal, bahwa apa pun yang menjadi ketetapan Allah itu adalah yang terbaik untuk hamba-Nya. Melalui SMA Tunas Bangsa, Allah memberikan amanah dan tentu hikmah di dalamnya. Di sana nanti, Amirah ndak perlu minder karena niat Amirah adalah untuk belajar dan menuntut ilmu.”

“Meski nanti suasananya akan sangat berbeda dengan lingkungan pondok, tapi Amirah harus yakin bahwa Allah percaya Amirah bisa melaluinya.
Sebab, ilmu itu adanya bukan hanya di dunia pesantren saja, tapi setiap madrasah adalah sumbernya ilmu. Belajar itu bukan hanya di pesantren saja, tapi di luar pesantren pun akan sangat banyak pembelajaran yang bisa kita dapatkan. Dan ingat, di mana pun Amirah bersekolah, jangan pernah lupakan nilai-nilai seorang santriwati dalam dirimu, ya, Nak. Insyaallah, dengan nilai-nilai yang diajarkan di pondok itu, kamu akan mampu menebar manfaat di sekelilingmu.”

Amirah menatap wajah buyanya sembari meneteskan air mata. Mendengar pesan dan nasihat dari sang kakek tercinta, membuatnya semakin yakin untuk melangkah masuk ke SMA Tunas Bangsa. Ia ingin mengejar apa yang menjadi mimpi dan cita-citanya.

“Syukron, nggih, Buya. Amirah sekarang sangat yakin untuk masuk ke SMA Tunas Bangsa. Insyaallah, semua yang menjadi nasihat Buya akan Amirah ingat sampai kapan pun itu. Amirah hanya mau minta doa dan ridho dari Buya dan Ummah.”

Amirah mencium tangan kakek dan neneknya dengan deraian air mata serta senyum penuh kebahagiaan atas support positif dari keduanya. Kyai Ahmad dan Nyai Khawla menciumi kening Amirah dengan penuh ketulusan dan kasih sayang seorang kakek dan nenek.

“Ummah dan buya hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Amirah. Ingat, selalu libatkan Allah dalam setiap langkah dan keputusan yang ingin diambil, ya, Ning. Sekecil apa pun masalahnya, jangan pernah lupa untuk melibatkan Allah,” ucap Nyai Khawla sembari mengelus lembut kepala Amirah.

“Nggih, Ummah, insyaallah.” Amirah memeluk hangat nenek yang selalu mengajarinya banyak hal itu.

“Jadi, kapan mulai pendaftarannya, Ning?” tanya Kyai Ahmad.

“Insyaallah, pekan depan, Buya,” jawab Amirah seraya melepas pelukan hangatnya.

“Berarti, hari Ahad kalian sudah mau balik lagi?”

“Ehm, iya, Bu—”

“Iya, Abah, tapi hanya Adila, Amirah, dan Alif saja,” sela Gus Abdullah.

Kyai Ahmad menggangguk sembari melihat jam dinding. “Ning, panggil adikmu dulu di luar, ini sudah mau masuk waktu Sholat Jum’at, pengurus dan santri-santrinya sudah harus siap-siap ke masjid.”

“Na’am, Buya,” ucap Amirah sembari beranjak keluar.

Sesampainya di depan pintu rumah, Amirah melihat ke sekeliling halaman pondok. Tampak Alif tengah asyik bermain dengan beberapa pengurus dan santri-santri di depan Rayon Mesir.

Akhi Fahmi, salah satu pengurus bagian keamanan, yang tadi diamanahkan untuk menjaga Alif oleh Kyai Ahmad melihat ke arah Amirah.

“Afwan, Gus Alif, sepertinya Gus dipanggil sama Ning Amirah.”
Amirah berjalan ke arah adiknya. “Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.”

Semua pengurus dan santri yang bermain bersama dengan adiknya menunduk sembari menjawab, “Wa’alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh, Ning.”

“Alif hayuk pulang. Buya udah manggil, mas-mas santrinya juga udah mau siap-siap ke masjid untuk Sholat Jum’at, begitu pun dengan Alif.”

“Oh, nggih, Ning.” Alif menggangguk dan berlari meninggalkan kakaknya bersama dengan beberapa pengurus dan santri-santri yang menjaganya tadi.

Amirah menggeleng sembari tersenyum melihat adiknya. “Oh, iya, syukron katsiron, ya, udah jaga Alif. Pesan buya, seluruh pengurus dan santri bisa siap-siap ke masjid.”

“Waiyyaki, Ning,” ucap Akhi Fahmi sopan.

“Kalau seperti itu, ana permisi dulu, ya.”

“Iya, Ning.”

***

Waktu menunjukkan jam sebelas siang. Masjid Jami’ PM Daarul Muttaqien Putra itu merdu dengan pengajian para santri sebelum khotbah dan Sholat Jumat dimulai. Seluruh pengurus yang merupakan kelas lima, mengoordinir adik-adik kelas. Bagian takmir masjid sibuk mengatur pelaksana Jumat pekan ini. Bagian keamanan memeriksa seluruh santri di setiap maskan dan tempat-tempat tersembunyi yang sering menjadi tempat persembunyian para santri dari tugas dan tanggung jawab di pondok. Seluruh santri menggunakan pakaian rapi, menenteng sajadah, dan membawa Al-Qur’an. Santri yang sudah tiba di masjid, bergegas mengambil tempat, dan duduk. Mereka tadarus Surah Al-Kahfi sesuai dengan sunnah yang dianjurkan setiap malam dan pada hari Jumat.
Kyai Ahmad, Gus Abdullah, dan Alif berjalan menuju masjid dengan menggunakan sarung bercorak dan pakaian berwarna putih, lengkap dengan kopiah hitam. Mereka dikawal oleh beberapa ustadz pengabdian yang memang ditunjuk langsung oleh pihak pondok untuk mengawal Kyai Ahmad dan keluarganya.

Jumat pekan ini merupakan Jumat istimewa untuk seluruh santri karena Kyai Ahmad sendirilah yang akan mengimami mereka. Sementara itu, yang akan menjadi khatib adalah Gus Abdullah. Maka tak heran, sebelum pukul 11.45 WIB, seluruh pengurus dan santri sudah memenuhi masjid jami’ menyambut pimpinan dan pengasuh pondok.

***

Bersambung~

Readers siapa nih yang pernah mondok?
Pasti enak ya kalo di pondok, banyak teman dan pengalaman tentunya🥰

Sebatas Rasa (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang