Prolog

37 7 0
                                    

Senyuman di bibirku semakin lama semakin lebar bersamaan dengan tatapan seorang lelaki yang kini mengunci mataku untuk tak mengalihkan pandang.

"Bunda kamu masih belum setuju sama hubungan kita?"

Penuturan lelaki di hadapanku itu telah memusnahkan senyum manisku. Aku memutuskan pandang, menunduk menatap jari jemariku yang saling tertaut.

"Belum. Tapi akan aku usahain, kok, Gal," sahutku pelan.

Hembusan napas terdengar kasar.
"Mau sampai kapan kayak gini terus, Zascala?!" serunya marah.

"Bakalan aku usahain, kamu sabar sebentar lagi. Makanya kamu sering-sering ke rumaku, ketemu Ayah. Nanti kalo kamu bisa dekat sama Ayah otomatis Bunda bakalan setuju," balasku tegas.

"Kamu selalu nyalahin aku. Salahin Ayah kamu yang nggak pernah mau aku ajak bicara. Bunda kamu juga nggak pernah mau liat muka aku malahan. Gimana aku bisa dekat sama mereka kalo mereka aja nggak mau?"

"Galza ... "

"Udah sekarang mending kamu pulang. Rayu orang tua kamu supaya mau nerima aku. Usahain sampai besok, kalo tetep nggak bisa jangan harap hubungan kita masih baik-baik aja."

"Galza, kamu mau hancurin hubungan kita secepat ini?!" teriakku marah.

Aku berusaha mengejar Galza. Bagaimana mungkin Galza secara tidak langsung akan memutuskan hubungan yang baru terjalin selama sebulan ini?

Baru saja kakiku hendak keluar dari kafe, seseorang dari arah belakang mendorongku.

"Awww .... " rintihku menahan sakit. Wajahku terbentur pintu kafe yang belum sempat kubuka.

"Maaf, Mba, saya nggak sengaja. Maaf sebelumnya. Mba bisa bangun sendiri, 'kan?" seru seorang lelaki yang baru saja menabrakku.

Aku menatap lelaki itu kesal. "Bantuin saya berdiri dong!" marahku ketika lelaki itu malah hanya menatapku dengan tatapan bersalahnya.

"Mas cepetan, jangan buat saya malu. Anggap aja Mas kenal sama saya, cepet bantuin!" paksaku.

Lelaki itu menggaruk kepalanya yang aku rasa tidaklah gatal. Matanya menatap sekeliling kafe yang cukup ramai namun semua hanya berisi lelaki tidak ada perempuan selain aku.

"Maaf Mba saya nggak bisa bantu berdiri. Bukan mukhrim."

Mataku melotot tajam. "Hei, kamu jadi lelaki nggak bertanggungjawab banget ya! Nggak usah bawa-bawa alasan itu dulu deh!"

"Maaf, Mba. Memang benar dalam Islam nggak boleh lelaki sama perempuan saling bersentuhan apalagi di tempat ramai seperti ini pasti akan menimbulkan fitnah," papar si lelaki.

"Mas, tunda dulu itu-nya. Sekarang cepat bantuin saya. Nggak ada yang lihat ini."

Lelaki itu menggeleng tegas dengan wajah menunduk. "Maaf, Mba, saya sudah meminta maaf. Silakan Mba bangun sendiri, ya. Maaf tidak bisa membantu."

"MAS!!!"

Tanpa rasa peduli lelaki itu malah meninggalkanku yang masih duduk di depan pintu kafe. Sungguh kenapa masih ada spesies lelaki semacam dia, aku menggeram marah tapi berusaha bangkit karena semakin lama di depan pintu tentu akan mengundang banyak orang menertawaiku, seperti sekarang ini.

Awas saja kamu!!! Akan aku habisi jika bertemu lagi!! marahku membatin.

***
"Galvar, kenapa wajahmu merah begitu?"

Lelaki bernama Galvar itu memegang wajahnya. Mendekatkan diri ke cermin di hadapannya.

Benar saja wajahnya terlihat memerah.

Let Me Move UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang