"We can easily forgive a child who is afraid of the dark; the real tragedy of life is when men are afraid of the light."
- Plato -
..
.
Yokohama, Januari 1942
Butiran-butiran putih berguguran dari pekat gulita malam. Selembut kapas, halus dan dingin kala bersentuhan dengan kulit.
Butiran-butiran kecil yang selintas menyerupai dandelion bersua udara. Melayang, kemudian jatuh pada sandaran, entah tanah pun bahu seseorang.
Dazai mengeratkan mantel cokelatnya. Ia mempercepat langkah seiring iris topaznya menangkap bangunan yang ia rindukan. Tepat ketika ia berdiri di depan pintu kayu, tangannya terulur untuk mengetuk. Beberapa kali ketukan bergema, namun pintu tak kunjung dibuka. Ia lantas menggeser pintu tersebut yang ternyata tidak terkunci.
"Aku pulang.."
Tidak ada sahutan dari sosok hangat penghuni rumah. Dazai menajamkan indera pendengaran ketika mendengar suara berisik dari kamar mandi. Buru-buru ia melepas sepatunya dengan asal. Lantas berlari menghampiri sumber suara.
"Hoeeekkk.."
Disana Dazai menjumpai istri tersayangnya tengah berjongkok, memuntahkan seluruh isi perut yang hanya didominasi air.
"Chuuya.. kau tidak apa-apa?"
Ketika sosok itu menoleh, Dazai dibuat terkejut horor. Bagaimana bisa wajah ayunya yang putih kian pias. Rona yang biasa menyepuh pipi lenyap. Bibir sewarna persik pun menghilang, terganti dengan pasi.
"Akhirnya kau pulang juga," ujarnya kemudian disusul senyuman tipis.
Merasa gejolak dalam perutnya kembali membuncah, lelaki dengan helaian sinoper itu kembali memuntahkan isi perutnya. Apa yang bisa Dazai lakukan hanyalah memijit tengkuk sang istri. Membantu mengeluarkan segala beban dalam perutnya.
"Kau sakit? Kau terlihat pucat."
Dazai tak melepas pandang. Memperhatikan kondisi istrinya yang terlihat memprihatinkan. Peluh bercucuran, membasahi rambut indahnya kian lepek menempel di dahi dan pipi.
"Aku baik-baik saja." Chuuya membasuh mulut dan tangannya yang kotor dengan air keran.
Dazai memincingkan mata. Tampak tidak percaya dengan kondisi wajah Chuuya yang pucat dan lemah seperti itu dikatakan baik-baik saja.
Dazai menempelkan punggung tangannya ke dahi sang istri.
"Kau demam," ucapnya panik.
"Aku akan membawamu ke Yosano-sensei. Tunggu sebentar."
Dazai kalang kabut. Mengabaikan tatapan memelas Chuuya. Pria itu sudah menggendong tubuh mungil istrinya.
"Osamu, tunggu dulu, aku mau bicara." desah Chuuya.
Chuuya memukul pelan bahu suaminya. Memintanya agar mereka duduk di sebuah kursi kayu. Dazai mendudukkan Chuuya di atas pangkuannya. Si pemilik surai senja memaksa sang suami untuk menatapnya. Yang ditatap mengernyitkan dahi bingung.
"Ada apa?"
Chuuya mengambil sejumput rambut jingganya yang tergerai. Kemudian diangkatnya menjadi ikatan tinggi. Kegiatan ini sempat terhenti sebab perutnya kembali bergejolak. Namun sebisa mungkin ia bertahan untuk menyelesaikan permasalahan ini sekarang.
Mata safirnya membagi tatapan lembut yang disambut oleh binar topaz yang bercahaya. Kedua sudut bibirnya tertarik, Chuuya tersenyum.
"Aku tidak sakit, aku hanya...," ujarnya dengan nada yang dibuat-buat, ia sengaja menggantung kalimatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegiac Soukoku | BSD Angst Week
FanfictionBungou Stray Dogs Angst Week 2020 Bungou Stray Dogs © Asagiri Kafka & Harukawa 35 Oneshoot dengan bumbu angst & hurt/comfort. Update acak! Daftar Isi : Day 1 | World War AU √ Day 2 | Reincarnation AU Day 3 | Orphans AU Day 4 | Soulmate AU √ Day 5 |...