Na Jaemin selalu berandai – andai bagaimana sekolahnya dapat menyelipkan surat di antara tumpukan koran pagi di depan rumah. Setiap bulan pada tanggal tertentu, ibunya akan datang ke kamar sembari berkacak pinggang dan menggeleng heran. Awalnya Jaemin tidak mengerti, namun kala ia mendapati sepucuk surat cokelat di tangan beliau, ia nyaris tidak pernah merasa terkejut sekarang, malah terkesan jengkel karena rencana bulanannya akan berantakan karena harus pergi ke sekolah. Berbeda dengan sang ibu yang tidak siap jika harus ditinggal Jaemin sendirian di rumah.
“Astaga, Jaemin, mengapa kau harus pergi ke sekolah pada malam natal? Sepertinya tuan Ron sudah mulai gila, ya.”
Saat itu awal November, cuaca mulai berubah dan suasana sejuk telah menyeruak ke seantero ruangan sejak Jaemin membuka jendela. Ia yang terbawa suasana lantas kehilangan minat untuk bangkit dan memilih berkencan lebih lama dengan ranjangnya. Namun siapa sangka sang ibu akan menerebos masuk kamar lalu melempar surat di atas nakas.
“Benarkah?” Tangan Jaemin bergerak lebih cepat dari apa yang ia kira.
Kami sungguh menanti kehadiranmu pada pembelajaran bulan ini Mr. Na.
Salam, Ron Soladova.
Adicty.
Pria itu langsung mengerang dan menyimpan surat tersebut di bawah bantal. “Aku bahkan belum menyelesaikan esai yang diberikan tuan Ronald.”
Sang ibu, Alla, tampak senang mendengarnya. “Kau bisa membolos’kan?”
Ini masih pagi, kepala Jaemin masih berputar – putar, ia bahkan tidak bisa mencerna apa yang dikatakan oleh sang ibu. Pikirannya langsung bercabang pada tugas – tugas yang belum sempat ia kerjakan.
“Jaemin.”
“Ya?” Jaemin menoleh kikuk.
Alla membuka mulut untuk berkata sesuatu, namun garis wajahnya berubah dan seketika tampak enggan menyampaikan aspirasi. Akan tetapi Jaemin berada di sana, menyaksikan semuanya. “Ada apa, ibu?”
Meski terasa berat, akhirnya Alla berucap. “Kau tahu betapa ibu tidak menyukai kau bersekolah di Adicty, bukan?”
Sebelas kata dan Jaemin langsung terdiam. Gelombang dingin bak menerpa wajahnya dan tanpa alasan yang jelas jantungnya mulai berdetak tak karuan. Jaemin tidak mengerti. Setiap kali sang ibu melarangnya untuk pergi ke sekolah, pikiran pria itu akan melayang jauh seperti berkelana singkat pada setiap momen berharga dalam hidupnya. Salah satunya adalah momen bersama sang ayah.
Na Jaemin, bukanlah seorang anak normal pada umumnya. Ia lahir dari sebuah pasangan unik dari ratusan pasangan unik lainnya. Ibunya adalah seorang manusia biasa sedangkan sang ayah adalah seorang penyihir. Darah milik ayah mengalir dalam dirinya dan menjadikannya pula seorang penyihir. Awalnya tidak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan, mereka hanya perlu bertingkah layaknya keluarga normal pada umumnya. Namun sesuatu terjadi hingga menyebabkan sang ayah melanggar peraturan, yaitu menunjukkan kemampuannya di lingkungan manusia. Sejak saat itulah, ayahnya menghilang dan tidak pernah ditemukan. Hal tersebut juga berdampak pada sang ibu yang membuatnya selalu merasa enggan untuk melepas Jaemin pergi ke sekolah.
Lebih tepatnya, sekolah sihir.
“Bisakah kau melupakannya? Bahwa kau seorang penyihir?” Jaemin bertemu dengan netra Alla yang balas menatapnya lurus dengan sorot yang sendu. Oh, betapa remaja itu membenci situasi yang terjadi.
“Ibu, aku pikir kita telah membahas hal ini.”
Jaemin menggeleng kecil sebelum berdeham gugup. “Aku lapar, aku ingin makan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Trigger The Fever [NA JAEMIN]
Teen Fiction"Dan itu dirimu, penyihir dengan tameng kekuatan bola cahaya biru." Atas semua yang bertolak belakang terhadap dirinya, Jaemin justru merasa heran kala mendapati dirinya sendiri sebagai pusat dari semua hal ganjil yang terjadi di sekolah. ✨school li...