Di Sudut Kafe

32 5 0
                                    

Sabtu ini, ditemani secangkir kopi, aku duduk di salah satu bangku kafe. Secangkir kopi yang membuat hati sedikit terobati dan sebatang nikotin yang terbakar sebagai pelengkap.

Mataku tertuju pada dua orang yang duduk sekitar dua meja dari kiriku. Seorang pria berkemeja membelai lembut rambut kekasihnya yang lurus berwarna kelam dengan kulit kuning langsat yang bersih.

"Honey, tell me that you love me!" pinta gadis itu pada pria yang sedang duduk di hadapannya.

"Haruskah? Kamu sudah tahu kalau aku mencintaimu, Hun." Pria itu memegang tangan gadisnya dengan lembut.

"Iya, harus. Sebagai bukti bahwa kamu masih mencintaiku."

"Baiklah. Of course." Pria itu menarik napas sebelum memulai, "Rika, I love you, I love you even words can't describe it," ungkap pria berkemeja biru dongker pada gadis—yang mungkin bernama Rika—yang duduk termangu di hadapannya.

Pemandangan menyakitkan untukku yang duduk termenung sendiri di sudut ruangan. Menyaksikan beberapa pasang insan yang sedang memadu kasih.

Mengapa orang-orang mudah sekali mengutarakan isi hati dan perasaannya? Mengapa mereka mudah sekali mengungkapkan kata manis untuk menyanjung hati kekasihnya? Dan mengapa aku malah sukar sekali untuk mengatakannya? Bahkan untuk memulai saja aku belum berani.

Kafe ini semakin sepi dari kesibukan, tapi entah mengapa aku merasa semakin tenang. Menikmati rokok yang kugenggam. Membunuh waktu secara perlahan, mengingatkanku pada kejadian yang sudah terlewat. Di sini, di kafe yang sama beberapa hari yang lalu.

Tiga puluh menit kita di sini

Tanpa suara

Dan aku resah harus menunggu lama

Kata darimu

"Kamu menikmati malam ini?" tanyaku padanya yang sedang mendengarkan lantunan musik band kafe kala itu.

Lalu, ia menganggukan kepala diikuti dengan senyum mengembang miliknya. Membuatku tak bisa berkata-kata.

Melihat tingkah lucunya yang sesekali ikut bernyanyi, menyebabkan lengkungan senyum merekah di bibir tanpa kusadari.

Dia adalah Helena. Gadis lugu nan polos yang sudah kukenal sejak di bangku SMA. Parasnya cantik, tapi bukanlah wanita tercantik yang pernah kutemui selama 25 tahun aku hidup. Sesosok gadis dengan pribadi yang menyenangkan dan apa adanya membuat kami menjalin hubungan persahabatan sejak lama. Iya, sahabat.

Mungkin butuh khusus merangkai kata

Untuk bicara

Dan aku benci harus jujur padamu

Tentang semua ini

"Katamu ada yang mau diomongin, jadi apa?" tanyanya. Kuambil gelas berisi lemon tea yang ada di meja untuk menyegarkan tenggorokanku yang kering, sekaligus menghilangkan rasa cemas karena diajukan pertanyaan yang sedikit mengejutkanku.

Band kafe yang sedari tadi menyanyikan lirik bahasa Inggris yang takku mengerti, sudah beralih melantunkan lirik bahasa Indonesia yang romantis, sangat cocok dengan suasana saat itu.

Helena begitu menikmati lagu yang dimainkan. Mungkin aku harus menghabiskan satu lagu lagi. Setelah itu baru mulai berbincang lagi dengannya. Aku tak tega harus menghentikan tawanya yang sedang bernyanyi saat itu.

Jam dinding pun tertawa

Karnaku hanya diam dan membisu

Ingin kumaki diriku sendiri

Yang tak berkutik di depanmu

"Len?" Akhirnya aku memulai pembicaraan.

"Hmm?" gumamnya lembut. Helana menoleh. Pandangannya lurus menatapku hari itu.

Mata bulat miliknya memancarkan warna-warni keindahan. Sepasang bola mata itu menahanku, membuatku terlena dan membelenggu.

Aku diam mematung, badanku terasa panas padahal matahari sudah tidak menampakkan wujudnya. Pendingin ruangan yang menyala saat itu, tak mampu membuat suasana hatiku menjadi sedikit lebih tenang.

Aku mendadak amnesia. Aku lupa harus mulai dari mana lebih dulu. Aku sudah mencoba untuk merangkai kata sebelum menemuinya dan tentu saja aku menghafalnya.

Tapi tatapan mata Lena yang sangat aku syukuri waktu itu, membuatku tak mampu berucap sepatah katapun. Tiap kata yang sudah kurangkai sebelumnya, hilang begitu saja dari ingatanku. Sungguh, ada yang aneh pada diriku.

Ada yang lain di senyummu yang membuat lidahku

Gugup tak bergerak

Ada pelangi di bola matamu

Yang memaksa diri tuk bilang aku sayang padamu

Lena masih menungguku mengeluarkan suara, bibirnya dikatup dengan senyum tipis. Rambutnya terurai dengan indah. Membuat jantungku berdegup kencang tak karuan. Kalau kau ingin tertawa membayangkan tingkah bodohku saat itu, silahkan! Karena aku tidak akan mengelak.

"Hi ...," sapa seseorang dari kejauhan. Pria itu mendekati kami. Roni rupanya. Kedatangan Roni semakin menambah tembok besar untukku.

"Kalian nongkrong berdua aja? Kenapa nggak ajak aku?" keluh Roni yang langsung mengisi bangku kosong di antara kami.

"Kamu terlalu sibuk, Ron," ujar Lena. Roni adalah sahabatku sejak SMA, yang juga adalah sahabat Lena. Ya, kami berteman baik sejak lama. Ada satu lagi yang tidak ada di sini. Maria, yang sekarang tinggal jauh dari kami karena pekerjaannya.

Kalau kau ingin membenarkan kalimat "mustahil persahabatan lawan jenis bisa bertahan lama tanpa perasaan" aku akan setuju. Karena aku juga merasakannya. "Tadi kamu mau ngomong apa?" tanya Lena padaku setelah meneguk jus jeruk pesanannya. Roni juga ikut menatapku sekarang dengan ekspresi sedikit lebih serius, membuatku semakin gugup.

"Nggak jadi, Len. Udah lupa," ujarku dengan bodoh. Membuang segala harapan yang terpendam dan membiarkannya begitu saja. "Mungkin belum waktunya‟ begitulah aku menghibur diri saat itu.

Mungkin Sabtu nanti kuungkap semua isi di hati

Dan aku benci

Harus jujur padamu

Tentang semua ini

Sejujurnya, aku juga bingung kapan waktunya. Menurutmu kapan?

Sudah hampir delapan tahun aku terus menunggu "waktunya" tapi tetap saja masih belum bisa. Selama delapan tahun itu, aku belum pernah mengencani wanita manapun. Aku sibuk dengan duniaku dan masa depanku yang sudah pasti kuimpikan bersama Helena.

Ya, aku tahu kesalahan ada padaku. Aku tahu betul itu. Ketika aku sudah ingin mengungkapkannya, selalu saja ada penghalang. Ah, sudahlah lupakan. Keadaannya memang tidak tepat.

Mungkin, ia terlalu indah bagiku, hingga Tuhan terus menunda waktu seperti ini.

Malam semakin larut. Kubakar lagi nikotin yang kugenggam. Ini adalah batang yang keenam. Udara dingin mulai memasuki pori-pori. Bersama secangkir kopi yang sudah mulai mendingin seperti suasana di sudut kafe ini.

Kulirik jam besar yang menempel pada dinding kafe, sudah pukul 23.00 WIB. Aku menghela napas panjang dan menyesali tingkah konyol yang kulakukan beberapa hari yang lalu.

Semakin aku menyesalinya, semakin aku menyadari betapa aku mencintainya.

***

Cerita di balik lagu Jamrud - Pelangi Di Matamu

DItulis oleh alittledee

Cerita Di Balik LaguWhere stories live. Discover now