Kasus Sepatu Rusak

24 2 0
                                    

KASUS SEPATU RUSAK

"Kau tahu, Kilesa, bahwa waktu – waktu seperti ini adalah waktu paling bahagia dalam hidupmu. Ya, waktu liburan. Jika sedang menangani kasus, kau tampak sangat tertekan."

Aku tersenyum, menyingkirkan kaca mata hitam keroppi, kemudian meraih jus jambu di meja samping. "Jangan berlebihan, pak tua. Aku tidak pernah tertekan dengan pekerjaan detektif. Malahan, aku menikmatinya."

"Tapi sedari tadi handphonemu tidak pernah berhenti berbunyi. Aku sempat mengintip. Charles, bukan, partnermu itu. Berulang kali terlihat di layar. Nampaknya ia sedang kebingungan."

Aku masih tersenyum, "Ya, memang. Detektif penggantiku masih terbilang baru. Mungkin kau ada benarnya, pak tua. Aku memang butuh liburan ini."

Kolegaku di samping tertawa kecil, "Ya, bersyukurlah kau menikah dengan seseorang yang berasal dari keluarga terpandang, punya kolam kecil di belakang rumahnya. Setidaknya Lauren masih mencintaimu."

Aku mengangguk, "Ya, mungkin itulah berkat Tuhan, Abdul. Juga aku bersyukur punya mertua yang suka bercanda dan sarkas. Hahaha."

Abdul tertawa kecil kemudian berdiri dan beranjak pergi, sebagai gantinya dua buah ceburan terjadi di kolam renang di hadapanku. Beberapa saat kemudian dua kepala anak kecil muncul di permukaan. Salah seorang tertawa gembira.

"Paman Kilesa, ayo masuk sini ke kolam renang." ujarnya sambil melempar bola plastik.

"Ayo, paman!" yang satu lagi berseru.

Aku hanya menggeleng dan tersenyum. Kedua keponakanku itu memang tiada habisnya dalam bertingkah. Energinya tidak habis – habis. Pagi tadi saja, jam 6 mereka sudah membangunkanku untuk bermain game online. Karena kesal, hasilnya mereka kubantai. Untungnya mereka tidak baper.

"Idris, Jansen, jangan kasar – kasar. Paman Kilesa tidak suka. Dari pagi kalian sudah membuatnya kesal."

Istriku masuk sambil membawa potongan semangka yang disajikan di atas piring besar, cukup banyak jumlahnya. Kedua keponakanku bersorak. Mereka keluar dari kolam renang, menimbulkan percik yang lebih – lebih mengesalkan, dan langsung menyambar semangka. Tawa cekikikan terdengar dan sejujurnya aku cukup senang mendengarnya. Jika berada di TKP, tentu kau tidak pernah akan berhadapan dengan tawa, melainkan tangis dan teriakan.

"Makanlah, tuan besar. Sedari tadi kulihat kau hanya sibuk dengan handphonemu saja. Si Charles bodoh itu tidak mengganggumu lagi, bukan?"

"Oh, ia akan tetap mengganggu, bahkan ketika aku sudah mati. Namun, tenang saja, cantik, semua bisa kutangani." ujarku sambil mengecup pipi Lauren. "Ngomong – ngomong, di mana kakakmu? Sedari pagi aku belum melihat."

"Ia bersama suaminya sedang mengurus STNK mobil VW kepunyaan ayah. Sebagai gantinya aku yang harus menjaga Idris dan Jansen. Huh."

Seseorang kemudian muncul dari belakang. Ia adalah seorang pemuda yang memiliki senyum menawan. Adik Lauren yang belum menikah, dan masih tinggal di rumah Abdul. Johnny namanya. Ia juga menyambar sepotong semangka.

"Idris dan Jansen masih lumayan dibandingkan Tomi dan Sherly, Lauren. Untungnya pada liburan keluarga kali ini, orang – orang itu tidak datang."

Lauren menaikkan alis, "Sampai sekarang, sampai sekarang, aku masih belum paham mengapa Heru tertarik dengan Renjana. Perempuan itu laksana seorang iblis. Makanya anak – anaknya berwatak seperti ibunya. Kak Leni juga setuju dengan pendapatku."

"Hus, jangan berkata seperti itu, Lauren." Abdul sudah kembali ke tempat duduknya, sebuah kursi santai di depan kolam renang. "Setidaknya mereka tidak pernah meminta kalian berdua uang, bukan? Memang kelakuannya sedikit mengesalkan."

Detektif KilesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang