Kasus Perjamuan Terakhir

7 0 0
                                    

KASUS PERJAMUAN TERAKHIR

Pk. 08.30.

Bah!

Sekali lagi kukatakan, bah!

Sudah kubilang pada Lauren seharusnya handphoneku dimatikan saja selama kita berliburan di Pantai Senggiluk ini, tapi ia tidak setuju. Malam kemarin handphone berdering, pak bos yang menelepon. Dan ia bicara tentang kasus. Ah, sialan sekali.

Seharusnya aku sekarang sedang bersantai di balkon bungalow, menikmati air biru yang bergerak tenang ke arah pantai. Seharusnya ada sebotol cocktail di tangan kananku, juga sunscreen di sekujur tubuh, di bawah naungan payung warna – warni di atas pasir. Tapi, dasar nasib sial. Kemana pun aku melangkah, kasus kriminal selalu mengikuti. Padahal aku berlibur untuk menenangkan pikiran setelah menangani berbagai kasus rumit.

Sebenarnya aku pun berdebat dengan pak bos malam kemarin. Kebetulan kasusnya terjadi dekat Pantai Senggiluk. Pantai ini memang dekat dengan pusat kota, yang menjadi atraksi turis dari berbagai negara. Banyak orang kaya memiliki mansion di tempat ini. Seorang konglomerat bernama Bobby Hermawan mengadakan perjamuan keluarga di mansionnya dua hari yang lalu, dan kemudian meninggal dunia akibat sakit jantung siang hari kemarin.

Sakit jantung adalah sebuah sakit yang natural. Itulah yang menjadi sumber perdebatanku dengan pak bos, juga tentang statusku yang seharusnya libur. Namun pak bos menerangkan padaku, bahwa kadar kolesterol Bobby ditemukan amat tinggi. Untuk seorang konglomerat gila sehat yang sangat menjaga kadar kolesterolnya, peningkatan ini mengundang pertanyaan. Ia bisa saja diracun, atau memakan makanan tertentu, atau berada dalam tekanan tinggi, sehingga menimbulkan sakit jantung. Butuh seorang detektif untuk menyelidiki kasus ini.

Pak bos menenangkanku bahwa yang pertama, ia akan menambah jatah liburku, yang kedua, bukan akulah detektif utama yang bertugas di kasus ini. Mereka adalah detektif setempat, yaitu James dan Jamet. Mendengar nama kedua orang itu disebut, aku semakin miris. Orang – orang ini tidak memiliki insting detektif, apalagi kepolisian. Mereka lebih layak disebut anjing penguntit. Namun karena iba pada pak bos, akhirnya aku mengiyakan kasus ini. Lagipula ia hanya memintaku untuk mengunjungi mansion Bobby Hermawan, lalu membuat laporan.

Dan kini aku sudah berada di depan mansion itu. Sebuah mobil vw kodok berwarna hijau sudah berada di depan gerbang besi tinggi. Dua orang detektif berkumis menyapaku.

"Pagi, Kilesa. Lama sekali dirimu. Kami sudah berada di tempat ini sekitar setengah jam yang lalu."

Lalu mengapa tidak masuk saja? "Pagi, James. Inikah kediaman Bobby Hermawan? Rumah yang bagus."

Detektif yang lain melempar pandang ke arah rumah. "Benar, Kilesa. Lihatlah. Jika rumah – rumah lain memiliki beton tinggi atau tembok tinggi, rumah ini berusaha untuk tampil natural dengan menggunakan tembok kayu semaksimal mungkin. Walaupun aku tahu sebenarnya itu hanya akal – akalan saja, sebenarnya itu beton juga, hanya diwarnai cokelat saja."

Aku menahan napas mendengar lelucon pertama Jamet. Tidak ingin membuang – buang waktu, kami memasuki pekarangan rumah. Tidak adanya garis kuning polisi membuatku bertanya – tanya.

"Kematian Bobby tidak dianggap aksi kriminal, atau belum, lebih tepatnya, karena semuanya masih kemungkinan." ujar James, "Kunjungan kita pagi inilah yang akan menentukan itu. Semoga saja kematiannya memang karena proses alami, bukan pembunuhan. Nah, selamat pagi, tuan Alfred."

Seorang paruh baya berpakaian rapi menyambut kami. Ia berpenampilan sopan dan bertata krama, jelaslah bahwa ia adalah seorang pelayan. Atau mungkin seorang kepala pelayan.

"Selamat pagi tuan – tuanku dari kepolisian. Ijinkan aku untuk memandu tuan – tuan untuk memasuki kediaman mendiang tuan Bobby Hermawan, atau lebih tepatnya Trisna Hermawan."

Detektif KilesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang