2 | What Rejection Feels Like?

1.8K 269 525
                                    

Kesamaan cerita, baik ide dan/atau plot, menulis ulang kembali dan memublikasikan atas nama pribadi pada media cetak/sosial, memperbanyak dan mendistribusikan serta sejenisnya, tanpa seizin Penulis akan dilaporkan pada pihak berwajib.

Cerita ini memiliki hak cipta dan dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta Republik Indonesia no. 28 tahun 2014.

💌💌💌

"LO kenapa?"

Any memutar tubuh. Meninggalkan pemandangan area taman yang bisa dilihat melalui jendela panjang kamar tidurnya. Sudah hampir dua jam berlalu sejak para tamu pulang dari family dinner. Any sudah mengenakan pakaian tidur saat Ino mengetuk pintu. Sekilas matanya sempat melirik jam digital di nakas sebelah ranjang. Tengah malam dan Ino masih dibalut setelan kemeja yang rapi.

"Apanya yang kenapa, Kak?"

Dia bergerak mundur selangkah ketika Ino menarik tirai gorden, menutupi cahaya bulan yang masuk ke dalam ruangan. Di bibir kakak laki-lakinya terulas senyum. "Ngapain melamun sambil mandangin jendela? Mau jadi burung hantu?"

"Burung hantu nangkring di pohon kali, Kak Ino!" balas Any gemas.

Ino tertawa. Melepas selop dan berbaring di tepi kasur. "Insomnia?"

"Lo kali yang insom. Gue mah kalau tidur juga ngebo." Any menyengir.

"Sebelum pulang tadi, pas Om Bastien sama Tante Clarine pamitan ke bokap, gue lihat ujung gaun Brielle kotor. Sikunya berdarah. Lo apain?" tanya Ino.

Any mengangkat alis setinggi mungkin. Dia memutar bola mata sembari mengitari ranjang, lalu duduk bersandar di kepala tempat tidur. Dalam penerangan kamar yang remang, Any mengambil boneka stitch untuk dipeluk.

"Lo yakin banget gue apa-apain si Brielle, Kak?"

"Mind to share?" Ino memandangnya.

Any mengulum senyum. "Cuma masalah anak gadis yang mau dewasa, Kak. Lo pasti dapat tugas berat habis bicara sama Papa, kan?"

"Cuma masalah orang dewasa yang kalau dikasih tahu ke anak gadis, nggak bakal ngerti," balas Ino.

Dilemparnya boneka yang dipegang ke arah Ino. Kakaknya menangkap dengan cepat. "Sepupu lo berulah seperti biasa. Terus, gue ketemu si artisans yang dibicarain Om Bastien tadi," sambung Any.

"Oh ya? Gue kira lo nggak nganggap serius masukan Om Bastien," jawab Ino.

"Gue penasaran siapa yang ngebuat pastry seenak itu."

"Lo emang nggak bisa dibiarin penasaran, ya?"

Any tertawa pelan. Suara tawanya itu langsung berubah menjadi hela napas. "Tapi, gue berubah pikiran. Setelah ketemu orangnya, gue masih pertimbangin dia layak kerja di Bobamosa apa nggak."

Ino menoleh. Sorot mata teduh itu tampak ingin tahu. "Kenapa gitu?"

"Guess what? Dia kenal Brielle. Lo tahu gue nggak pernah cocok sama Bri, kan? And she will do anything against Bobamosa."

Any menghindar saat Ino mengacak rambutnya.

"Gue megang Bobamosa udah dua tahun sebelum limpahin wewenang ke lo, An. Kafe itu punya keunikan sendiri, excellent taste, interior design yang comfy, dan pelanggan-pelanggan setia. Lo takut apa? Sekalipun sepupu kita pada akhirnya nggak jadi memilih bisnis di bidang yang sama, lo bakal ketemu Brielle-Brielle yang lain. Saingan itu nggak pernah habis. Yang perlu lo ingat itu gimana caranya pertahanin kualitas Bobamosa. Just do the best, and let God do the rest."

EQUANIMITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang