PROLOG

14 3 0
                                    


Aku melangkah sendirian di bawah siraman senja menuju tujuanku selanjutnya. Ini sudah biasa terjadi. Sudah menjadi sebuah rutinitas yang tak berujung. Aku hampir tidak punya tanggal warna merah dalam hidupku. Aku sibuk. Sangat sibuk. Aku harus bekerja serabutan karena aku belum memiliki pekerjaan tetap. Sudah hampir satu tahun ini berlangsung. Meski awalnya membosankan, pada akhirnya aku terbiasa meski aku masih mencoba untuk menikmatinya.
Aku sudah terbiasa untuk lelah dan penat. Terbiasa untuk mendapat jatah tidur hanya paling banyak 5 jam per hari. Itu pun jika aku mendapat libur. Jika tidak, aku hanya tidur selama 3 jam.

Pekerjaanku hanyalah menjadi pelayan di cafe pada malam hari. Mencuci piring di sebuah restoran sepi pada sore hari. Dan menjaga balita di sebuah penitipan anak di pagi hari. Karenanya, aku hampir tidak punya jam tidur cukup. Semua ini kulakukan agar aku bisa melanjutkan sekolah ke universitas. Aku tidak cukup pintar meski juga tidak bodoh juga. Jadi aku harus punya uang cukup untuk masuk universitas.

Keluargaku biasa-biasa saja. Semuanya normal. Aku mempunyai kedua orang tua yang menyayangiku dan adikku. Yah, meski keseharianku monoton, aku nyaman-nyaman saja.

Sampai ada suatu tragedi yang merusak segala mimpiku. Segala rutinitasku. Membuatku terpaksa keluar dari kebiasaanku.

Saat aku, ibu, dan adik perempuanku sedang menyiapkan makan malam di dapur, suara dentuman berhasil mengejutkan seisi komplek rumahku. Aku hanya mengintip lewat jendela dan menyaksikan ledakan dari jarak yang ternyata tidak jauh. Aku bisa melihatnya jelas. Banyak orang yang keluar rumah untuk melihat langsung apa yang mengejutkan mereka. Di rumah kami, ayah yang mewakili kami untuk melihat keluar rumah lebih dulu.

“Tuan Wood? Kau juga melihatnya?” Aku mendengar tetanggaku sedikit berteriak agar suaranya tergapai ayahku. Aku sudah berjalan menyusul ayah.
“Aku hanya mendengarnya. Lalu aku keluar untuk melihat apa yang terjadi.” Ayah menjawabnya tanpa menoleh pada tetanggaku. Matanya masih terpaku pada ledakan yang tersisa. Asap hitam mengepul tinggi. Bahkan aku bisa mencium aromanya samar-samar dari sini.
Ibu menyusul langkah ayah. Dia berdiri di sisi ayah dan menyentuh lembut lengannya. “Aku merasakan firasat buruk.” Berkat kalimat ibu yang tiba-tiba, ayah mengalihkan pandangannya pada ibu yang tampak cemas.
Jemari ayah meremas jemari milik ibu dengan maksud menghilangkan kecemasan yang meliputi ibu. “Semoga saja firasatmu tidak benar.” Ayah masih berusaha menenangkan. Aku lantas kembali ke dalam rumah. Tiba-tiba saja ingin mencari benda berhargaku di dalam kotak penyimpanan di kamarku.

Karena aku terdengar berisik, adik perempuanku, Viola muncul di balik punggungku karena penasaran dengan apa yang kulakukan. “Kau sedang apa?” tanyanya.
Beberapa menit berselang, aku mengabaikannya. Aku masih sibuk mencari. Viola mengulangi pertanyaannya hingga dua kali. Kemudian aku menjawabnya ketika aku telah mendapatkan barangku. “Ini.” Kuangkat sebuah alat setrum hingga Viola melihatnya. Dia meringis, seperti biasa. “Untuk apa?”
“Aku dan ibu memiliki kemiripan, Violly,” Aku mulai membereskan apa yang telah kukacaukan. “Aku juga punya firasat buruk.”
“Lalu?” Viola terlihat santai dan itu cukup menjengkelkan. “dengan alat itu, firasatmu mereda? Segalanya kembali?”
“Aku tidak tahu. Aku mencari ini karena hanya ini yang kumiliki.”
“Semoga kau bahagia dengan apa yang miliki.” Viola masih 2 tahun lebih muda dariku dan dia memiliki lidah lebih tajam dariku. Aku tidak tahu itu kelebihan atau kelemahannya. Tapi itulah bakatnya. Aku sudah terbiasa.

Viola berdiri ketika ledakan kedua terdengar. Kali ini dia lebih panik dariku. Ayah dan ibu masuk ke dalam kamarku dengan langkah cepat. Raut wajahnya menandakan bahwa keadaannya tidak sedang baik-baik saja. Kutatap wajah mereka bergantian untuk mendapatkan jawaban. Namun yang ayah lontarkan adalah satu kalimat yang merubah kehidupan montotonku.

“April, kau merasakan apa yang ibumu rasakan?” Ayah menatapku lekat. Tatapan itu bukan menandakan bahwa dia sedang bercanda. Kujawab hanya dengan diam. Tidak mengangguk dan menggeleng.

Namun kurasa, dia sudah bisa menebak jawabanku. “Firasatnya benar.” Kalimat itu dia lontarkan sebelum dia melangkah cepat meninggalkan ruanganku.

OUR LAST CHANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang