01 - Awal

4 1 0
                                    



Viola kali ini turut panik. Dia juga membawa barang-barangnya yang berharga meski aku masih mempertanyakan kegunaannya. Viola membawa beberapa hasil rajutannya. Aku hendak memprotesnya namun ibu menggeleng ke arahku. Jadi aku hanya acuh dan menghela napas.


Ibu membawa kotak obat yang cukup lengkap mengingat ibu adalah lulusan perawat. Selain itu, ibu membawa beberapa makanan kaleng yang cukup dimakan untuk 2 hari.


Sedangkan ayah membawa semua senjata tajam miliknya. Aku tidak tahu apakah kami pergi mengungsi atau berperang. Ayah sampai harus membawa tiga jenis senjata api. Pistol Glock, AK-47, dan AS50. Aku sempat ingin bertanya dari mana dia mendapatkan itu semua, namun kurasa waktunya tidak tepat. Dia sangat sibuk mempersiapkan itu sampai dia tidak menyadari ledakan ketiga mulai terdengar.



"Lagi?" Viola menatap nanar ke arah jendela. Dia sangat kentara sekali sangat cemas namun dia berusaha menutupinya. Aktingnya sangat buruk.


"Lalu kemana tujuan kita?" Tanyaku sambil membantu ayah merapikan barang bawaannya.


"Menjauhi ledakan." Ayah akhirnya angkat bicara.


"Sejauh mungkin?" Viola menghela napas berat untuk kesekian kalinya.


"Pertanyaanmu bodoh sekali, Violly" sahutku. Dia berpaling dariku. Menyembunyikan wajahnya yang memerah.



15 menit kemudian, kami bersiap pergi melalui pintu belakang. Tidak ada waktu untuk mengganti pakaian, kami hanya menambahkan jaket paling tebal yang kami miliki dan mengenakan sepatu bot dengan sol tebal yang hampir berdebu. Ibu adalah yang terakhir meninggalkan rumah. Mata kecoklatannya menatap ke dalam rumah seolah itu adalah salam perpisahan darinya. Bukan perpisahan sementara, namun selamanya.



"Kita takkan kembali?" Ibu mulai bersuara lagi.


"Tidak sekarang, Mia." Ayah menghampiri ibu, mengecup pelan keningnya. "Kita pergi."



Ternyata keluarga kami bukan satu-satunya yang meninggalkan rumah setelah ledakan terjadi. Banyak sekali rombongan yang berjalan searah dengan kami. Mereka juga memasang wajah yang sama. Wajah putus asa, kesedihan, takut. Wajah-wajah yang tidak mereka inginkan sama sekali.


Seorang bocah laki-laki menangis ketika ibunya memaksanya untuk bangun dari tempat tidurnya untuk pergi tak jauh dari tempatku berdiri. Mungkin dia takut atau panik. Tapi kurasa keduanya.


Aku mendatanginya, menepuk pelan kepalanya dan menenangkannya. Bagiku, ini adalah pekerjaanku setiap harinya mengingat aku sudah lama menghabiskan waktu di penitipan anak milik Nyonya Grace.


"Kau menangis karena takut?" Aku berjalan menyetarainya. Sedikit membungkuk dan bicara padanya dengan berbisik. Bocah laki-laki itu menggangguk sambil mengeratkan genggaman ibunya.


"Kau tahu, laki-laki yang kuat juga pernah menangis. Jadi, menangislah sekarang setelah itu jadilah laki-laki yang tangguh." Aku tersenyum ke arahnya. Namun aku tidak menduga dia akan menangis lebih kencang dari sebelumnya. Ibunya tersenyum ke arahku dan mengerti apa maksud kalimatku lantas berterima kasih padaku. Setelah aku merasa selesai, aku kembali pada rombonganku.



"Sudah selesai, pahlawan?" Viola langsung menyemburku dengan sarkasme dan memasang wajah datarnya.


"Aku tidak melakukan apapun."


"April," Ayah memanggilku. Aku kemudian mendatanginya yang berada beberapa meter di depanku. "Aku tahu kau bisa menggunakannya dengan baik." Ayah menyerahkan pistol Glock miliknya padaku setelah dia selesai mengisi amunisinya.


"Whoa. Ini untukku?"


"Ayah hanya meminjamkannya padamu. Untuk berjaga-jaga."


Aku masih memperhatikan pemberian ayah dengan teliti sambil mengamati detail fisiknya. "Terima kasih."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

OUR LAST CHANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang