Ohm memandang piano besar di hadapannya sendu. Beberapa menit lalu Ayahnya membanting kastanyet ke lantai hingga bentuknya ripuk.
“Seharusnya kau bisa bermain lebih baik dari ini, Ohm!” seru Ayah Ohm sambil memijit pelipisnya. “Permainanmu seperti anak tk yang baru belajar kemarin sore, berantakan,” sentak sang Ayah sebelum beranjak dan meninggalkan Ohm— yang berusaha sekuat tenaga menghalau air matanya melesak keluar.
Ohm sudah lupa kapan terakhir kali ia menikmati permainan pianonya sendiri, yang terpatri dalam ingatannya hanya sebuah kewajiban agar dia bermain lebih baik dan harus lebih baik lagi. Ohm rindu memainkan piano dengan hati gembira atau menjadikannya pelipur lara; bukan karena ambisi yang menjadikan dirinya alat kesombongan Ayahnya. Ya, Ayah Ohm ingin sekali anak satu-satunya ini menjadi pemain piano terkenal yang bisa menjuarai berbagai kompetisi serta menjadi penerusnya nanti.
Ohm sadar, sekarang hanya dirinya yang bisa diandalkan Ayahnya. Setelah kepergian kakak satu-satunya; juga Ibunya, Ayahnya jadi gila kerja— dan menjadi diri yang hampir tidak lagi dikenali Ohm. Semua tawaran pekerjaan disabetnya, dalam negeri, luar negeri— usulan untuk mengajar dan melatih juga tidak ada yang dilewati.
Ohm masih terduduk diiringi suara detak jam dinding yang seolah ikut mengejek permainannya tadi. Kini, dipandanginya layar gawai dalam genggam tangan yang menunjukkan gambar empat orang sedang tersenyum, digerakkan telunjuk dan ibu jarinya bersamaan; memperjelas wajah dua sosok yang teramat dicintainya, “Bu, kak, Ohm rindu.”
***
Setelah senyap menyergap hidupnya di rumah, Ohm pernah berharap sekolah adalah tempat yang tepat baginya untuk membunuh sepi. Tapi harapannya menguap, ia tetap saja sendiri. Mungkin karena Ohm tidak pernah terlihat ramah. Sorot mata Ohm yang tajam dipertegas dengan segaris alis tebal yang menaunginya membuat wajah Ohm tampak tampan dan angker bersamaan. Meski memiliki banyak prestasi yang membanggakan dan berasal dari keluarga berpunya, Ohm masih saja tak memiliki kawan untuk berbagi.
Ada satu hal yang diingat Ohm—sebuah alasan— mengapa teman sejawatnya enggan mendekat.
Tahun lalu, di saat semua siswa sedang sibuk bersiap diri ujian sekolah, dirinya dan Harit— teman Ohm yang sama-sama suka bermusik—tidak hanya sibuk dengan ujian akhir semester, tapi juga persiapan mengikuti kompetisi.
Waktu ujian dan kompetisi yang berdekatan membuat keduanya sibuk sekali. Pagi belajar untuk persiapan ujian sekolah, malamnya mereka masih harus lanjut latihan. Begitu terus selama hampir dua bulan. Hingga di suatu pagi di sekolah, tak sengaja Ohm menemukan ada beberapa lembar soal— serta jawaban, terselip di antara partitur yang dibawanya. Tanpa ada rasa curiga, Ohm serahkan lembaran itu pada wali kelasnya. Mengingat pagi tadi Ohm membantu Pak Viktor membereskan soal-soal untuk kakak kelasnya.
“Ohm, dari mana kamu dapat soal-soal ini?” tanya Pak Viktor saat Ohm menghadap.
“Hmm… terselip di antara partitur yang saya bawa pak, mungkin tercampur tadi pagi waktu saya membantu bapak.” Ohm menjelaskan.
Pak Viktor hanya berdehem pelan. Ditepuknya bahu Ohm sekali. “Kembalilah ke kelas, Ohm.”
Tanpa bertanya lebih, Ohm segera mengangguk dan undur diri.
Dua hari kemudian, saat Ohm baru saja melangkahkan kakinya ke kelas, tiba-tiba Harit melayangkan pukulan ke wajah Ohm. Telak; segaris bercak merah menghiasi sudut bibir Ohm. Dicengkramnya pula kerah seragam Ohm.
“Aku gak nyangka kamu yang lapor ke Pak Viktor,” seru Harit dengan mata berapi-api penuh amarah.
Belum sempurna Ohm mencerna semua kejadian; Harit meninggalkannya begitu saja bersama tatapan aneh dan tidak suka dari semua pemilik netra penghuni kelas. Terakhir, baru Ohm tahu bahwa kertas yang ditemukannya kemarin adalah milik Harit— yang membuatnya mendapat hukuman dan kehilangan nilai di salah satu mata pelajaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Musikuhibiniu (Ohm Nanon)
FanfictionBxb ya dear... Mohon bijak dalam memilih bacaan