Senyawa ; Bagian 1

6 0 0
                                    

Septemberpun tiba, semester baru akan diawali dengan sibuknya tugas akhir, masih tersisa jingkat gerimis yang tak reda sepanjang tahun ini. Sore itu disugukan dengan berita huru hara yang berasal dari negri China, ntah apa? Aku tidak begitu suka menonton tv, terkadang media hanya menampilkan 80% hal-hal negatif dan 20% mengenai kuliner yang dianggap sebagai hal yang positif. Aku beralih mendengarkan saluran radio favorite yang setiap sabtu sore memutar lagu-lagu dari musisi luar. Telponku berdering, ternyata asalnya dari whatsapp Wati, teman kuliah.

"Lin besok bimbingan?"

"ya, kamu bimbingan?"

"Belum, aku mau ngajuin judul"

"Yaudah, jam 8 kita ke sana"

Pagi itu kami bertemu, setelah 2 bulan dipisahkan oleh program kuliah kerja nyata. wajahnya tak berubah, hanya saja ia memangkas rambut hitam panjangnya dengan potongan lurus sebahu.

sudah lebih dari sejam aku dan Wati duduk di teras Pak Nuril. Setiap kali ingin pulang, aku teringat akan celoteh senior terdahulu bahwa Pak Nuril tidak bisa dijinakan dengan sekali duduk. Heran, manusia yang maha pintar itu memang cukup dibilang luar biasa. Sudahlah Lin kita pulang saja, kata wati dengan wajah datar . Sebelumnya Aku tidak pernah berpikir tentang hal itu, tetapi setelah sejam diam saja di teras usang itu, untuk pertama kalinya aku membayangkan seperti apa raut wajah pak Nuril ketika membimbing mahasiswanya.

"Baiklah wat, kantin saja ya, jangan pulang"

"Baiklah"

Sebelum beranjak dari kursi panjang ini, aku dan wati bertemu salah satu senior Megister ilmu susastra, yang notabennya senior di prodi s1 juga.

"Kak .. pak Nurilnya ada?"

"Dari makan" katanya singkat, seraya masuk ke dalam ruangan pak Nuril yang sedari tadi terbuka lebar.

"Wat, kamu ga salah denger kan?"

"Aku rasa dia sudah mulai gila lin, sedang kamu tidak bertanya dia dari mana kan?"

"Mungkin otaknya tertinggal wat"

"Wati, Alina mengapa berbisik? sedang apa kalian?"

"Menunggu"

"Menunggu siapa wat?"

"Sudahlah mas, tolong lihat kedalam apakah pak Nuril ada"

dengan suruhan Wati, Mas Kabul dengan sigap segera masuk ruangan pak Nuril. Mas Kabul sudah 2 tahun terakhir ini menjadi tetangga Wati, dan tentunya ia salah satu mahasiswa Magister Ilmu Susastra, pintar dan ramah itulah ciri khas Mas Kabul, karena memiliki sifat yang begitu ramahnya, Wati sampai bingung, apakah mas Kabul begitu kesemua orang?

"Tidak ada, pulanglah.."

"Sudah kubilang lin"

"Baiklah terima kasih mas Kabul" jawabku.

Hari itu kesia-siaan terulang kembali, perasaan cemas yang ditimbulkan dari pikiran kerap mengganggu waktu tidur, hari berikutnya datang, aku sedikit gugup.. untuk pertama kalinya aku ke ruang pak Nuril seorang diri, ruanganya sepi, tak ada mahasiswa yang sedang menunggu hari itu, akan tetapi pintunya terbuka lebar, aku mencoba mengetuk dan kulihat senior aneh yang kemarin bertemu sedang menyusun tesis dan disertasi yang baru selesai ditanda tangan oleh pak Nuril.

"Ada apa?"

"Ingin bertemu bapak"

"Masuklah, sebentar lagi ia datang"

Hampir setengah jam berlalu, tak ada obrolan yang diciptakan olehnya, aku mencoba mengeluarkan Handphone tapi isinya hanya pesan permintaan maaf dari Musa, kekasihku yang sudah lebih dari sebulan pesannya ku abaikan.

"Sukab, sudah disusun berdasarkan tahun?"

"Sudah pak"

"Kamu ada apa?" Pak Nuril menatapku

"Bimbingan yang kemarin pak"

"Sudah selesai? sini saya lihat"

Aku menarik kursi, dan mulai duduk di depannya.. hatiku berdegup kencang, jika kali ini skripsiku salah lagi aku akan ..

"Sukab, dia ini anak S1 tapi berani ambil kajian S2, judulnya sama kaya kamu ini"

"Oh ya?" Kataku melihat Sukab yang berada tepat di sampingku

"Ambil kajian apa?" Tanyanya

"Postruktualisme Naratologi"

"Objeknya?"

"Novel, kakak?"

"Sama."

Pak Nuril memeriksa keseluruhan isi proposal skripsiku, tak tebal hanya 32 halaman, aku melihat Sukab memegang tesis yang cukup tebal, yang kurasa itu miliknya dan sebuah novel berwarna biru tua

"ya, sudah boleh seminar usul kamu"

"Serius pak?" Kataku bersemangat

"Ciee.." Sukab melihatku tersenyum

"Makasi banyak pak Nuril" kataku membereskan draft yg sudah diperiksa

"Kamu apa lagi Sukab?"

"Ini pak perihal sub bagian"

"Kamu ambil apa?"

"Wacana te...."

"oh ya gabisa, kamu harus sesuaikan konteks untuk apa tesismu itu"

"lalu apa pak yg sesuai?"

"ya, kamu cari tau sendiri"

Sukab melihatku malu, aku hampir terkekeh melihatnya dimarahi oleh pak Nuril, dan tak lama aku bergegas pulang dan tak sabar untuk memberitahu kabar bahagia perihal skripsiku ini kepada Wati.

"Lin, kamu nulis status 'omg' itu kenawhy?"

"Gakpapa wat"

"Jujur aja deh, kamu acc ya!"

"Iyaa !!"

"Demi apa Lin? ya ampun.. aku seneng banget"

"iyaa wat, aku tadi bimbingan sendiri eh ga sendiri tadi sama kak Sukab"

"Kak Sukab yang mana Lin?"

"yang kakak tingkat kita waktu itu, tinggi rambutnya gondrong, kumisan sekarang anak S 2"

"ih yang kemaren itu? yang kaya preman itu Lin? yang aneh itu kan?"

"ya ga gitu juga sih wat, cuma ya agak urakan aja anaknya"

"Ahh persetan, yang pasti dia sekarang S2"

"Bener, faktanya dia juga pintar wat"

"Ahhh pokoknya selamat ya Lin, ga nyangka secepat itu"

"Hahaha Terima Kasih nyonya"

"Hahaha eh, besok temenin aku beli novelnya ya Lin"

"Lah wat kamu belum beli? tapi udah ngajuin.."

"Diam, hahaha"

"Tapi kalau besok kayaknya gabisa deh wat, aku ada janji sama ..."

"Sama siapa? Pangeran Musa?"

"Iya .. "

"plis lah Lin, kapan sih Musa berubah, udah 4 tahun kamu sama dia Lin"

"dan bodohnya, aku ikut di pusaran yang itu juga hahah"

"Ahh payah kao Lin, dah dah aku tutup telfonnya aku mau makan dulu"

"yasudah, dah wat.."

SenyawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang