Senyawa ; bagian 3

3 0 0
                                    

Dunia sudah memasuki bulan desember, sebentar lagi semua digantikan oleh tahun baik lainnya. Sudah sekitar dua bulan hampir tak bertemu lagi denganya, tak ada tempat bertanya, perihal dia, lagi lagi aku menghela napas panjang dan bergumam.

"Dia menghilang, wat"

"siapa Lin yang ngilang? Musa?"

Aku menghela napas

"Wes to udah 2 bulan lin"

"eh wat, mas Kabul udah nembak kamu?"

"Hah?! random banget kamu lin"

"Aku serius tanya"

"Belum, kalau udah ya sekarang aku ga bareng kamu"

"Ahh payah si Kabul, mau sampai kapan anak orang dibuat nunggu"

"Susah lin jadi perempuan, kalau suka bisanya cuma mendem saja, gabisa langsung bilang"

"Sebenernya kamu bisa dapetin yang..."

"Stop lin, aku udah terlanjur sayang sama mas Kabul"

"Hihh, cah ayu gini demen sama model bapak bapak anak satu hahaha"

"hahahha diam"

Aku terkekeh melihat raut wajah wati saat itu, kurasa benar adanya dia sangat mencintai Mas Kabul, aku berharap Mas Kabul tidak mengecewakannya. Semoga dan selalu tanpa tapi.

"Tapi lin... perihal mas Kabul ada suatu hal yang perlu kamu tau"

"Apa itu, wat?"

"Tika.. mba Sartika mahasiswi yang tempo hari kita liat di kantin itu, kamu inget ga?"

" ?? "

"Sontoloyo lin lin, masa lupa .. perempuan yang rambutnya gelombang, yang biasa jadi Mc acara Jurusan"

"Anak S2 Arkeolog?

"Dia arkeolog lin?!"

"Lah nanya balik, aku kan tanya.."

"Aku gatau dia jurusan apa, yang pasti namanya tika, dia mantan mas Kabul"

"Sumpah?"

"Diam.. akupun baru tau perihal dia, katanyasi mantan jaman kuliah S1 waktu di jogja"

"Wahh kamu, tau banyak wat, mas kabul sangat terbuka ya"

"aku tahu sendiri, jangankan Mba Tika, mantan mas Kabul waktu smp saja aku tau lin"

"Hahahahhaha"

"Ketawain apaan sih"

Seorang laki-laki dengan kemeja biru tua menghampiri kami yang sedang berada disebuah tempat makan dekat kampus. Makanan yang kami pesan kebetulan belum sampai, tapi dalih makanan yang akan sampai melainkan Cahyo, teman satu kelas.

"Ikut makan boleh?"

"Hah?"

"Ikut makan?"

Aku mengangguk, dan melihat wajah wati yang sedari tadi tak bergeming. Tiba-tiba diam ntah apa.

"AL kenapa dia? Kok diam saja"

"Gara-gara kamu datang yoo "

"Masa? yaudah aku pergi"

Cahyo pun masih setengah duduk dan terang-terangan langsung begegas pergi, teori basa basi kini tak mumpan. Mungkin Cahyo tahu bahwa wati masih menyukai mas kabul, dan dia pun sadar diri akan hal itu. Sudah sejak setahun yang lalu Cahyo menyukai wati, akan tetapi wati lebih memilih manusia yang jelas-jelas hobinya menggantungkan perasaan seorang wanita, ya.. mas Kabul.

"Kenapa lagi kamu wat?"

"Sengaja, agar dia bilang ke mas kabul aku diem aja pas ditegor"

"Astaga, semoga mas kabul mengerti ya wat"

"dan semoga Cahyo anak buah kabul itu bicara perihalku lin"

"dan akupun ga yakin kalau cahyo akan bilang, bukannya dia malah senang kalau kamu dan kabul menjauh?"

"aku gasuka cahyo, lin"

"tapi dia suka kamu wat, dan aku suka cahyo, dibandingkan Kabul, dia lebih baik."

Wati menghela napas panjang...Wajahnya lagi-lagi kembali murung, mungkin aku salah bicara, tapi ini benar adanya.

"maafkan aku, wat... bukan maksudku jelekin Kabul"

"kamu merasa bersalah lin?"

"Iyaa.."

"Baguslah, teraktir aku hari ini kalau begitu"

"Wahhhh dasarr rampok"

"Hahahhaha"

Setelah sekitar hampir sejam berada di tempat makan, kami berencana untuk pergi membeli payung, karena memang sebentar lagi indonesia memasuki musim penghujan, tapi rencana kami gagal, hujan sudah datang mendahului, sore itu menjadi semakin sedu, ditambah bayang-bayang akan dirinya masih membekas. Aku melihat hujan dari luar jendela, percikan aroma tanah masuk ke sela-sela indra pencium. Hujan lagi, hujan lagi.

"Kesukaanmu, wat" aku menujuk puing puing hujan diluar jendela

"Bukan lin, ini utuh milik Pingkan"

"Tapi ini Desember, bukan Juni"

"Tetap mutlak, Hujan ini akan abadi dalam cerita fiksi itu, lin"

Aku memalingkan wajahku ke jendela lagi, aku merasa tak bahagia saat hujan tiba. Pakaian basah, kendaraan kotor, hewan-hewan bersembunyi, dan tak sedikit hujan menjadikan rencana yang sudah tersusun itu gagal. Jujur, semua yang berhubungan dengan hujan ini merepotkan.

"Sayangnya aku bukan Pingkan, wat."

"kamu dan Pingkan itu sama, seperti cermin lin, tak ada bedanya"

"tapi aku terlalu idealis, sedangkan serialnya seperti mimpi wat , perempuan seperti Pingkan hidup bersama Raden Hadi Sarwono, seperti mustahil"

"Pingkan memilih Sarwono karena dia mau bukan paksaan, mereka bahagia.. walau tembok batasan antara kepercayaan itu kompleks"

Aku tak lagi mengelak. yang dikatakan oleh Wati 99,9% benar adanya, hanya 1% perihal hujan yang memang sangat bertentangan. dibalik Kemustahilan itu akan selalu ada jalan, aku menelan masak-masak perkataan Wati. Lagi-lagi yang terlintas dalam pikiran adalah perihal dia, ntah apa... mustahil memang, tapi belakang ini namanya selalu dalam urutan teratas di dalam pikiran, sayang.. aku dan dia tak lagi saling bertemu.

"Sudah Reda, wat.. ayo pulang"

SenyawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang