Enam bersaudara, paling bontot, paling keras kepala, dan paling freak dengan warna biru. Siapa lagi kalau bukan Raka. Manusia termuda di keluarga Wagiman dengan predikat pelajar SMA X---sebuah sekolah swasta di kecamatan sebelah.
“Sen, lu yang nyuci baju gue?!”
Siang itu, sebuah teriakan membahana bersumber dari rumah satu lantai yang dibangun di atas tanah hibah Eyang Putri, dua puluh lima tahun silam. Dia baru selesai mandi saat mendapati kaos biru ‘Bangkok City’-nya sedikit memudar di bagian lengan.
“Panggil Abang!” balas Sen tanpa beranjak sedikitpun dari kursi kayu depan meja makan. Jarak antara kamar mandi dan ruang keluarga tidak begitu jauh, masih memungkinkan untuk menggunakan volume normal dalam percakapan. Namun, karena sama-sama ingin mendominasi, maka digunakanlah volume terganas yang bisa dihasilkan pita suara manusia.
Tak dapat dipungkiri kalau Sen sebenarnya sedang jengkel. Adik bajigur satu itu memang terbiasa dimanja hingga sopan santunnya digadaikan entah ke mana. Semua kakaknya dia panggil nama tanpa imbuhan ‘Bang’, ‘Kak’, apalagi ‘Yang’. Kurang ajar, batin Sen. Sebagai Kakak tertua dia berhak dongkol dong, eksistensinya sebagai anak tertua terpaksa melebur di mata dunia karena panggilan Raka.
“Jawab, oi!” teriak Raka sembari membuka lebar-lebar pintu kamar mandi. Pasti kerjaan Sen sok perhatian itu, batinnya. Anak tertua keluarga Wagiman memang terbiasa cari muka di depan orangtua dengan pura-pura ikhlas mengerjakan segala macam pekerjaan rumah seperti mencuci baju, piring, sampai menanak nasi. Padahal, kenyataan berkata Sen selalu malas di depan adik-adiknya saat orangtua mereka luput.
“Ribut terooos…” Ra, anak ketiga keluarga Wagiman, melewati ruang keluarga dan melanggeng masuk ke dapur. Bikin kopi. “Lagian, udah dicuciin masih aja gak tahu terima kasih,” cibirnya, melirik makhluk astral yang kebetulan jadi adik bontotnya.
“Sehari gak ribut jantung Ibu bisa lebih sehat kali ya,” Bu Ani nimbrung percakapan rasa perang anak-anaknya. Dia baru pulang dari warung dan sengaja masuk lewat pintu belakang karena dirasa lebih dekat. Tas kresek berisi perlengkapan mandi diletakkan begitu saja ke atas meja makan, menunggu anggota keluarga yang lain untuk menatanya di rak kamar mandi.
“Bajuku luntur, Bu!” pekik Raka dramatis. “Pasti Sen nyucinya ngawur,” tuduh Raka ke anak pertama.
Mendengar tuduhan adiknya yang tepat sasaran, Sen pura-pura menulikan telinga. Kemarin sore, dia sengaja mencuci baju Raka menggunakan kekuatan super karena jengkel dengan tindakan semena-mena adiknya. Bensinnya habis tak bersisa setelah Raka meminjam motornya. Padahal, dia telah mengorbankan uang 25 ribunya dengan cuma-cuma. Siapa yang berusaha, siapa yang menikmati. Benar, kali ini Tuhan tidak adil soal rezeki.
“Raka, bangunin kakak-kakakmu.”
Pak Wagiman, selaku kepala keluarga yang rajin bayar pajak, mencoba mengalihkan ledakan kemarahan Raka, anak bontotnya. Ini bukan pertama kalinya. Pak Wagiman sering memergoki Raka marah karena hal-hal sepele seperti kaos biru yang warnanya pudar, tas biru yang tak sengaja terkena percikan saos, sampai celana dalam biru yang robek tepat di bagian kantong titit.
Mendengar suara Ayahnya, Raka pun langsung berubah menjadi anak paling berbakti sedunia-akhirat. Dia lari terbirit-birit ke ruang keluarga dan meninggalkan kaos birunya tergantung sendirian di cantolan kamar mandi. Dia berdiri di tengah ruangan, kemudian…
“KEBAKARAN! KEBAKARAN!” teriaknya kesetanan. Benar-benar akhaqless.
“Woi, Ka!” Sen buru-buru lari ke arah Raka. Dia kaget mendengar gaya abnormal si Raka saat membangunkan saudara-saudaranya yang masih molor.
Tapi entah bagaimana, nyatanya cara itu cukup berhasil membuat pintu kamar yang semula tertutup rapat menjadi terbuka lebar bak goa open house. Wajah-wajah para pemimpi yang kesiangan mengisi sudut mata Raka. Membuatnya tertawa lebar, menikmati tingkah liarnya mengganggu beruang tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaos Biru Raka
RomanceSuatu hari, ada kaos biru bersablon 'Malioboro' teronggok lesu di depan pintu rumah Raka. Kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya Raka mendapat sedekah barang sakral itu dari orang lain. [End] Cover by @Canva