/Empat/

540 105 18
                                    

Sabtu berikutnya, keluarga Wagiman dikejutkan dengan tingkah aneh Raka. Tiba-tiba saja, anak bontot itu memakai kaos biru pemberian Pandawa. Kaos biru bersablon ‘MALIOBORO’ dengan huruf kapital di bagian dada tampak cocok dengan perawakan dan warna kulit Raka. Tak dapat dipungkiri, jika diperhatikan dengan baik, Raka tampak lebih ‘terawat’ daripada biasanya.

Dari situ, keluarga Raka dapat menyimpulkan siapa yang sebenarnya lebih antusias dengan pertemuan rutin kali ini.

Uniknya, Raka yang biasanya menganggap Pandawa tak lebih dari udara, dengan sukarela menunggu Pandawa di depan pintu. “Masuk aja,” juga menyambutnya dengan wajah datar saat Pandawa datang. Sungguh, Raka seolah memiliki dua kepribadian. Jika sebelumnya dia hidup dengan kepribadian monyet, sekarang dia justru menjelma menjadi pelayan saji kelas atas. Ramah namun masih menjaga jarak aman.

Pandawa yang membawa dua kotak terang bulan sesuai janjinya minggu lalu, langsung terperangah dengan perubahan semalam si Raka. “I..iya..” balasnya, makin salah tingkah ketika melirik kaos yang dipakai Raka. Ada tulisan ‘Malioboro’ yang dicetak tebal di bagian dada. Dia tidak mungkin melupakan benda itu. Oleh-oleh spesial yang sengaja dia beli untuk Raka seorang. Kaos biru pemberiannya.

Astaga. Dia memang maklum dengan sikap cuek Raka, tapi tidak pernah benar-benar terbiasa dengan perhatiannya.

“Ciyee…Raka…” celutuk Sel jail, disambut tepuk tangan meriah saudara-saudara Raka yang lain. Bahkan Azam yang biasanya tidak terlalu memerhatikan interaksi antara Raka dan Pandawa, entah mengapa, tertarik untuk ikut bertepuk tangan dengan senyum mengembang.

“Diem lu, Sel,” balas Raka sewot. “Lu udah makan?” lanjutnya, beralih cepat ke arah Pandawa. Dia mencoba untuk tak peduli dengan celutukan saudara-saudaranya yang membuat telinganya panas.

Pandawa mengangguk. “U..udah,” balasnya terbata. Dia melirik saudara-saudara Raka yang sekarang mengawasi seluruh tindak-tanduknya sembari cengar-cengir jail. Mendadak dia merasa canggung luar biasa karena menjadi poros perhatian semua orang, termasuk orangtua Raka yang melongok sekilas dari ruang keluarga.

“Duduk sini, Ndawa,” ajak Ra sembari menepuk kursi kosong di dekatnya.

Pandawa mengangguk seolah duduk di samping Ra telah menjadi kebiasannya. Dia baru saja berjalan ke arah Ra ketika kuku Raka mendadak menghujam lengannya, menariknya kembali ke tempat semula, di samping Raka.

“Ikut gue,” kata Raka, kemudian melonggarkan cengkeraman kukunya di lengan Pandawa.

Melihat kejadian luar biasa itu, saudara-saudara Raka jelas makin berisik. “CIYEEEE…” koor ejekan itu bergema bersama beberapa siulan kurang ajar dari mulut si cecunguk Sen dan Sel.

###

Raka mengajak Pandawa ke kamarnya.

“Sori kamar gue berantakan,” katanya, agak canggung. Ini pertama kalinya dirinya bersikap ‘agak’ manusiawi terhadap Pandawa. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling kamarnya, kanan-kiri-atas-bawa, ck, ternyata memang berantakan.

Pandawa mengangguk, kemudian duduk di ujung tempat tidurnya yang kebetulan dekat dengan pintu. Dia memperhatikan keseluruhan ruangan. Single bed dengan sprei putih, satu meja belajar, satu rak buku, dan satu gitar yang teronggok mengenaskan di sudut ruangan. Kesimpulannya, kamar Raka seperti kapal pesiar yang digoncang badai paling ganas versi abad ini.

“Gak apa-apa,” ucap Pandawa saat dilihatnya Raka sibuk memungut beberapa kertas yang berserakan di lantai kamarnya. Dia melakukannya dengan cekatan, tanpa sedikitpun melirik Pandawa yang diam-diam merekam gerak-geriknya.

Raka meletakkan lembaran kertas itu ke kardus sampah. Setelah itu, dia duduk di samping Pandawa.

Perlahan, Pandawa melirik Raka.

Kaos Biru RakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang