/Dua/

721 123 26
                                    

“Ka!”

“Raka!”

“RAKA!!”

Raka membuat gestur ‘STOP’ pada Sen dan Ra yang melongok tingkah konyolnya dari pintu pembatas ruang keluarga dengan ruang tamu. Dia juga meletakkan jari telunjuk di bibirnya yang terkatup, menyuruh Sen, Ra, atau anggota keluarga yang lain---yang kebetulan terkejut mendengar teriakan orang asing di depan pintu---untuk diam. Dari awal Raka bertekad untuk tak membukakan pintu bagi si Pandawa. Lebih-lebih di momen khusus ini, Sabtu malam Minggu. Dia khawatir kunjungan Pandawa akan membuat anggota keluarganya salah paham.

“Siapa sih?” Ra berbicara tanpa suara. Hanya mulutnya yang megap-megap mirip ikan sakaratul maut. Sebentar monyong ke depan, selanjutnya kembali ke bentuk sempurna. 

“Udah diam aja,” balas Raka, juga tanpa suara. Dia sengaja berdiri di balik pintu demi menghentikan anggota keluarga lain, yang mungkin iba, untuk membukakan pintu.

Sayangnya, Raka lupa kalau Ayahnya selalu lembur di hari Sabtu dan pulang di jam ini. Kebetulan juga, di menit yang sama. Menit ini.

Tuh, bunyi deru motor Honda-nya bahkan menembus telinga Raka yang terlalu sibuk menahan pintu.

Pak Wagiman masuk halaman rumahnya dan dibuat heran dengan kehadiran seorang tamu yang berdiri putus asa di depan pintu. Si Tamu mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana jeans panjang dengan rambut yang disisir lurus mengikuti garis kepalanya. Kelewat rapi. Bahkan, dia juga menenteng sekotak martabak di tangan kirinya. Disuguhi pemandangan seperti itu sontak membuat Pak Wagiman khawatir si Tamu akan melamar salah satu anak gadisnya.

“Cari siapa, Mas?” tanyanya begitu turun dari sepeda motor. Dia melepas helm dan berjalan mendekati si Tamu.

Tamu tak diundang itu menoleh ke arah Pak Wagiman. “Permisi, Pak. Saya mau cari Raka,” balasnya sopan. Dia menebak laki-laki paruh baya di hadapannya adalah Ayah Raka. Struktur wajah mereka agak mirip meski dia baru pertama bertemu dengan si Penyambut.

Pak Wagiman menyalaminya. “Teman Raka?” tanyanya, mengarahkan pandang ke arah si Tamu sembari tersenyum ramah.

“Iya, Pak. Saya Pandawa, teman satu kelasnya,” balas Pandawa, membalas uluran tangan Ayah Raka sembari mengangguk samar. Dia juga menyelipkan sepaket senyum sopan ke laki-laki yang lebih tua di hadapannya.

“Oh, Pandawa…” ujar Pak Wagiman, diam-diam tersenyum. Ini toh Pandawa itu, batinnya geli. “Masuk dulu, Mas,” lanjutnya sembari meletakkan tangannya di gagang pintu.

Raka yang berdiri menguping mendengar semua isi pembicaraan Ayahnya dan Pandawa. Namun, dia enggan mengaku kalah. Begitu Ayahnya memutar gagang pintu, Raka tahu dia harus menahan pintu itu sekuat tenaga demi menggagalkan kesuksesan Pandawa.

Di lain sisi, Pak Wagiman agak bingung ketika gagang pintunya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pintu rumahnya masih sama tak bergeraknya meski dia telah mencoba memutar gagang pintunya berkali-kali.

“Yaaang?” panggilnya ke istri tercinta, Bu Ani. Mungkin pintunya diselot dari dalam, batinnya mencoba meyakinkan diri sendiri. Padahal dia penasaran sekali dengan keanehan ini. Seingatnya, pintu utama jarang ditutup saat Sabtu malam Minggu.  

Bu Ani yang semula adem ayem melihat tingkah si Bungsu dan para kakak akhirnya beranjak berdiri begitu mendengar panggilan sayang dari suaminya. Dia pikir waktunya telah tiba. Permainan kucing-kucingan ini harus segera dihentikan atau suaminya terpaksa menunggu lama di teras rumah.

Dia berjalan ke arah pintu dengan langkah setengah tergesa. Tanpa ragu dia juga mendorong tubuh Raka yang memohon-mohon padanya untuk tidak membuka pintu.

Kaos Biru RakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang