Beberapa minggu berlalu. Setiap waktu terasa sangat lama bagi (name). Tidak mudah baginya melanjutkan hari – harinya tanpa ada Akaashi di sampingnya. Namun dengan dukungan Kuroo Tetsuro, sang kakak, (name) sedikit demi sedikit kembali ceria. Walau sebenarnya (name) masih mencintai Akaashi Keiji. Hal – hal yang sepele bisa mengingatkan (name) tentang Akaashi Keiji. Contohnya hari ini, (name) pergi ke supermarket, membeli beberapa kebutuhan untuk bulan ini. (name) mengusuri deretan buah – buahan yang tertata rapi, mengambil beberapa buah untuk stok di rumah. (name) merasa ponselnya bergetar, menandakan ada pesan yang masuk. Nama Kuroo Tetsuro tertera di layar ponselnya.
Belikan aku onigiri. Pakai uangmu dulu.
Dasar Kuroo Tetsuro. Kakaknya ini benar – benar menyebalkan. (name) tersenyum sambil membalas pesan kakaknya, kakinya melangkah, mendorong troli di depannya yang sudah terisi beberapa makanan dan kebutuhan lainnya. "Onigiri, onigiri, onigiri." (name) bersenandung senang. Setelah sampai ke deretan onigiri, (name) memilih beberapa onigiri untuknya dan untuk kakaknya. Saat hendak mengambil, (name) terdiam. Tiba – tiba ingatan Akaashi Keiji yang sangat menyukai onigiri muncul. (name) masih ingat betapa senangnya Akaashi apabila ia membuat onigiri, walau buatan Miya Osamu lebih enak dari buatan (name), Akaashi tetap memilih untuk memakan onigiri buatan (name).
(name) masih terdiam. Tangannya mulai bergetar. Dadanya mulai terasa sakit dan sesak, matanya sedikit berair. Susah payah ia berusaha untuk tidak menangis hanya karena ingatan kecil tentang Akaashi. (name) merasa sangat lemah, Akaashi bahkan terlihat baik – baik saja tanpanya, sedangkan ia harus menangis ketika ia mengingat sesuatu yang berkaitan dengan Akaashi.
"Chibi-chan?" (name) menoleh mendengar suara yang terasa familiar memanggil namanya. "Bokuto-san." (name) mengusap matanya, berharap Bokuto tidak melihatnya yang hampir menangis. Bokuto sebenarnya peka, sangat peka. Bokuto tahu bahwa perempuan kecil di depannya ini masih sedih akan kandasnya hubungan yang berjalan selama 5 tahun bersama Akaashi Keiji. Bokuto yang tidak ingin melihat (name) menangis, berkata, "Belanja bulanan?"
"Iya, sudah akhir bulan." (name) tersenyum melirik trolinya. (name) mengambil dua onigiri lalu memasukkan ke keranjang troli, "Bokuto-san." Bokuto dan (name) sama – sama menoleh ke sumber suara. Akaashi berdiri di sana, tangan kanannya memegang ponsel sedang tangan kirinya ia masukkan ke dalam saku celana. Akaashi terlihat baik – baik saja tanpanya, pikir (name).
Akaashi mendongak, mengalihkan pandangannya dari ponselnya. Ia melihat (name) berdiri di samping Bokuto. (name) terlihat baik – baik saja, bahkan lebih baik daripada saat bersamanya dulu, pikir Akaashi. (name) yang merasa ditatap oleh Akaashi tersipu malu. "Ano, Tetsu menungguku di rumah, maaf, tapi aku har-"
"Ada kafe yang baru saja buka di ujung jalan, mau makan siang bersama di sana?" tawar Bokuto. (name) langsung menolak tawaran Bokuto, menganggap dirinya akan menganggu nantinya. "Maaf, Bokuto-san, tapi Tetsu menungguku di-"
"Ajak dia!" seru Bokuto. (name) menghela nafasnya, menatap Akaashi, meminta bantuan untuknya lepas dari ajakan Bokuto. "Aku sudah mengirim alamatnya." Kata Akaashi singkat. (name) belum bisa bertemu dengan Akaashi dalam jangka waktu yang lama. Ia berusaha untuk menyembuhkan dirinya dari luka yang ditoreh oleh Akaashi, namun dunia seakan tidak adil bagi (name). Lukanya yang perlahan sembuh, malah terbuka lebar dan menorah luka lebih dalam lagi.
***
Kini Akaashi duduk berhadapan dengan (name), sedangkan Bokuto duduk di sebelahnya. Kursi kosong sebelah (name) untuk Kuroo Tetsuro yang belum datang. Bokuto sibuk dengan ponselnya, sesekali berdecak kesal tanpa alasan. "Apa ada masalah, Bokuto-san?" tanya Akaashi yang tidak mengalihkan padangan dari buku menu. "Kurtet ini bilang kalau dia tersesat. Aku akan menyusulnya, kalian pesan saja dulu." Bokuto berdiri, beranjak pergi meninggalkan Akaashi dan (name) dalam kecanggungan. "(name), mau pesan apa?" (name) mendongak, Akaashi masih sibuk dengan buku menu. (name) menunduk, "French toast."
"Baiklah." Akaashi menutup buku menu, memanggil pelayan dan memesan pesanan mereka berdua. Setelah pelayan pergi dari meja mereka, keheningan kembali menyelimuti mereka berdua. (name) mengutuk Tetsuro yang pura – pura tersesat dan membuat Bokuto meninggalkan mereka berdua di sini. Ingatkan (name) untuk memukul kepala Tetsuro nanti di rumah.
"Apa kau baik – baik saja?" Akaashi membuka suara. (name) mendongak menatap kedua mata Akaashi, mencari sesuatu yang bersembunyi di baliknya. Bagaimana ia merasa baik – baik saja setelah apa yang ia lalui selama ini? "Apa aku terlihat baik – baik saja?" (name) membalik pertanyaan Akaashi.
Akaashi terdiam di kursinya. Ingin ia menjawab pertanyaan (name), apa daya bibirnya tidak mau terbuka, lidahnya kelu mengeluarkan jawaban, dadanya tiba – tiba terasa sakit melihat (name) tersenyum sedih. "Aku tidak baik – baik saja. Bagaimana denganmu?" timpal (name). Akaashi menggeleng, "Aku tidak baik – baik saja. Semuanya tampak sulit tanpamu."
(name) sedikit terkejut, hatinya terasa hangat mendengarkan jawaban Akaashi. Haruskah ia senang karena Akaashi merasakan apa yang ia rasakan? Apakah ada kesempatan bagi mereka untuk kembali bersama? Banyak pertanyaan muncul di kepalanya. Namun ia sadar, mana mungkin melanjutkan hubungan mereka yang sudah tidak sehat lagi.
"Aku juga. Semuanya berbeda tanpamu." (name) tersenyum lagi, kali ini senyumnya menyiratkan kebahagiaan.
"Apa tidak ada kesempatan bagiku untuk memperbaiki semuanya, (name)?"
***
Vote dan comments sangat membantu! Terima kasih!🤍
KAMU SEDANG MEMBACA
Red String | Akaashi Keiji
Teen Fictionit's hard to turn the page when you know someone you know won't be in the next chapter. -Thomas Wilder 2020 by moansloudosamu