EPILOG

104 14 2
                                    

Malam tengah menggarap kala Raja Runa menghampiri buah hatinya yang tengah meringkuk lemas di ranjang. Ia membelai lembut surai gadis itu sembari berkata, "Nak, hidupmu ada pada tanganmu."

Lama Putri Al memejam, mencoba meresapi omong kosong itu walau akhirnya membalas, "Aku tahu."
Hatinya masih bergejolak.

"Begitu pun aku."

Putri Al memandang ayahnya heran. Raja Runa tersenyum dan menunjukkan benda di tangannya. Pedang bersimbol Kerajaan Timur. Al tercekat, seketika menerka apa yang akan terjadi tetapi berusaha mengusir firasat buruk itu. Namun sang ayah menariknya dari tempat tidur dan membimbingnya keluar kamar.

"Ayah?" tanya Al ketakutan.

Raja Runa membuka pintu sepekan mungkin. Ia menoleh pada putrinya. Matanya berkilat. "Kita harus melakukan ini, Alisa."

-•-

"Ayah .... Haruskah aku melakukan ini?" tanya Putri Al dengan bibir bergetar. Tangannya yang tak kalah gemetar menggenggam pedang bersimbol Kerajaan Timur.

Di kegelapan aula malam itu, mata ayahnya seperti bersinar. Ia menyentuh kedua pundak putrinya lemah. Air mata keduanya sudah hampir meleleh. Namun sang raja memilih untuk menekan sesak di dadanya alih-alih harus memuntahkan tangis.

Ia mengangguk. Putrinya menggeleng. Ia menatap putrinya tegas. Putrinya menunduk.

Akhirnya Raja Runa meraih tangan Al yang menggenggam pedang dan mengarahkannya. Sempat ada penolakan, tetapi Putri Al tak mampu melawan cengkeraman ayahnya.

Pedang itu diarahkan, tepat ke samping lehernya. Sensasi dingin merayap. Aroma Kematian. Raja Runa mengembuskan napas. Ia, tidak, mereka harus melakukan ini baik sudi maupun tidak. Semua demi Kerajaan Timur Laut.

"Tidak, Ayah!" sontak, Al menarik pedangnya.

"Al!" seru sang ayah.

"Kenapa ...? Bukankah Ayah menginginkan kedamaian kedua kerajaan? Karena itu Ayah ingin aku menikahi Pangeran Rein, kan?"

Raja Runa tersenyum. Tatapannya sendu. Ia menyentuh pipi putrinya lembut, penuh kasih sayang. Namun bagi Al, cinta ayahnya terasa begitu pedih. Sentuhan yang harusnya hangat itu terasa menyayat bagai ujung sembilu. Sebab, mungkin ini akan jadi terakhir kalinya.

"Ini adalah satu-satunya jalan keluar. Kaubenar, kita tak bisa membiarkan kerajaan ini menyatu dengan Kerajaan Timur. Siapa yang tahu apa yang akan mereka lakukan nantinya? Aku juga tak mau menyerahkan putriku pada lelaki serampangan seperti itu."

"Lalu bagaimana dengan perdamaian?"

"Al, kamu lebih memilih untuk memikul negeri ini sendirian daripada menikahi pangeran musuh. Seorang putri harus bisa menanggung konsekuensi kata-katanya. Dan kamu seorang putri. Aku yakin kau akan bertanggung jawab dengan pilihanmu."

Al terdiam. Benaknya mengerti, sangat paham dengan apa yang dikatakan ayahnya. Namun hatinya masih tak rela. Ia tak bisa melakukan ini.

"Daripada Ayah harus mati, aku lebih baik menikah dengan pria yang tak kuinginkan," bisiknya dengan suara tertahan.

"Daripada putriku tidak bahagia, lebih baik aku mengorbankan diri."

Al tercekat. "Apa menurut Ayah aku akan bahagia kalau Ayah mati?"

Raja Runa tertawa. Suara yang kering dan hampa. "Kaubilang akan memimpin negeri ini sendiri. Aku memutuskan percaya padamu. Saat putri yang kusayangi bermimpi seperti itu, Ayah mana yang tidak bahagia?"

Al meneguk ludah.

"Al .... Kamu akan bahagia kalau Ayah bahagia, bukan?"

Itu pertanyaan retoris. Mana mungkin seorang putri mampu menjawab pertanyaan seperti itu saat keluar dari ayah yang akan ia bunuh.

Al memejamkan mata. Ayahnya benar. Ini adalah satu-satunya jalan keluar. Ia tak mau menikah dengan pria yang tak diinginkannya. Ia juga tak mau menyerahkan kerajaan ini pada negeri musuh yang selicin ular.

Demi melindungi kerajaan dan dirinya sendiri, ia harus mengorbankan ayahnya. Tidak, ia harus mengorbankan perasaannya.

Dengan berat hati, akhirnya Putri Al menghunus pedangnya. Raja Runa berdiri tegak dan tersenyum bangga pada putrinya.

Itu senyuman terakhir sebelum pedang benar-benar menancap di jantungnya, menghentikan detak gumpalan otot itu. Tetesan darah merembesi pakaian sang raja dan membasahi lantai. Tubuh pria itu ambruk pada permadani yang lembut. Namun maut sudah menjemput.

Malam itu, rembulan menjadi saksi. Remang-remang cahayanya yang menerobos melalui jendela bertirai tipis menerangi sungai darah.

Dan tetes air mata Putri Al.

-•-





Ini adalah cerita di balik kasus pembunuhan Raja Runa. Jadi, siapa yang sebenarnya licik? :3 Mereka berdua hanya ingin membahagiakan rakyat mereka. Siapa sangka cerita dibalik kelicikan tuan putri bisa setidakterduga ini?

Oh jangan lupakan Pangeran Rein. Bagaimanapun, dia akan menggoda Putri Al sampai gadis itu bersedia menikahinya. Akhir dari hubungan mereka silakan kalian tentukan sendiri, wahai para readersku tersayang~

Terima kasih kalian sudah bertahan sampai bagian terakhir. Kami harap cerita ini cukup baik untuk ukuran pemula. Jangan sungkan jika kalian memiliki kritik ataupun saran. Sebisa mungkin akan kami pertimbangkan! <3

When I Had to Marry Enemy Kingdom's PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang