Chapter 1

20 1 0
                                    

Word count: 2194

Dingin.

Aku duduk di bawah naungan atap halte bus dengan segelas teh hangat di tanganku. Hujan turun sangat deras hari ini. Aku tidak yakin kami bisa beranjak pergi dalam waktu yang singkat.

Aku menggosok-gosokan tanganku ke permukaan gelas teh yang aku pegang untuk menjaga tanganku agar tidak beku. Malam ini sangat dingin. Sepertinya jika harus semalaman seperti ini aku tidak akan kuat.

Aku melihat sekilas ke arah ibuku. Dia menyender di dinding kaca halte sambil melihat ke arah tanah seakan-akan itu hal yang paling menarik baginya. Bahkan dia tidak berkutik sama sekali. Apa dia tidak kedinginan?

Dia memakai gaun merah bare back yang sudah biasa dipakai untuk wanita bangsawan organisasi. Namun sepertinya gaun itu tidak terlalu cocok dengan cuaca saat ini. Dia pasti kedinginan.

Tapi, kenapa dia memberi jubahnya padaku ya?

Ah, ibu selalu mementingkan aku. Aku jadi tidak enak kan..

Ibu tampak khawatir. Dia berusaha menyembunyikan raut wajahnya namun malah tampak lebih jelas kekhawatirannya.

Siapa yang tidak akan khawatir? Kami baru saja melarikan diri dari organisasi gelap yang tujuannya saja tidak jelas. Jika bisa disebut neraka, maka dengan senang hati aku akan menyebut mereka itu. Aku saja merinding mengingatnya.

Untuk beberapa saat, kesunyian yang nyaman menaungi kami berdua. Sejauh telingaku mendengar, hanyalah tetesan air hujan dan suara kaki melangkah yang terdengar.

Tunggu... Suara kaki melangkah?

"Ann?" Suara rendah milik seorang pria tiba-tiba terdengar dan mengejutkan kami berdua.

Pria itu tinggi dan kelihatan berwibawa. Rambutnya coklat panjang dan diikat dalam bentuk manbun. Dia memakai jas biru dan membawa payung biru tua di tangan kanannya.

"Alvis?" Ujar ibuku padanya.

Ibu mengenalnya? Apa mereka teman?

Alvis mendekati kami dan berkata, "Jadi benar, kau sudah banyak berubah ya!" Dia tersenyum.

"Hal yang sama bisa dikatakan padamu. Kau kelihatan pintar dengan jas itu," kata ibuku.

"Hei, aku ini memang pintar!" Dia mempertahankan diri dan disusul dengan tawaan ibuku.

"Ah, siapa gadis kecil ini?" Tanya pria itu.

Aku melihat kearahnya dan mengeluarkan senyum costumer service terbaikku. "Lucie!" Seruku.

"Dia putri tunggalku," ujar ibuku.

"Wah, kau cantik ya!" Puji Alvis dan aku balas dengan senyum.

"Tentu saja, diakan anakku," ujar ibu.

"Ah, tapi kecantikanmu itu masih 50% dibanding dengannya,"

"Hei, nanti juga dia mirip sepertiku,"

"Aku tahu. Kutukan gen memang mengerikan,"

Ibuku membalas sindiran Alvis dengan Pukulan ke bahunya, sementara Alvis dan aku hanya tertawa.

"Ngomong-ngomong kenapa kalian disini? Ini sudah larut malam. Bis sudah mengakhiri layanan beberapa jam yang lalu," tanya Alvis.

"Kami hanya mencari tempat berteduh," jawab ibuku.

"Oh, mau ku antar?"

"Tidak usah,"

"Ayolah aku sedang berada dalam mood yang baik. Lagipula aku tidak bisa meninggalkan gadis kecil yang cantik itu di tengah hujan seperti ini," dia tersenyum ke arahku.

Strangled to LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang