Hermione Granger melihatnya ketika gadis itu memasuki Aula Besar. Keberadaannya tak mungkin tak disadari. Apalagi dengan rambut itu—pirang-brengsek-platinum itu.
Kebencian itu telah jauh meresap ke dalam setiap sel darah dan menyalakan alarm dari setiap kehadirannya. Mata biru-kelabu itu seperti pemangsa yang sanggup menembus, membaca pikirannya seperti buku yang terbuka, membuat darahnya mendidih dengan rasa panas dalam pembuluhnya. Ya, hanya dengan menatap sosok itu— kebencian itu mampu menyeruak dan tak sanggup ia sembunyikan.
Pemuda itu tersenyum sinis. Tak heran. Mungkin hanya itu yang bisa dilakukannya selama dia hidup.
Draco Malfoy.
Pemuda itu menatapnya dengan pandangan benci yang sama—pandangan benci yang tak dapat diketahui siapa yang lebih besar antara sama lain. Dan seolah tak ingin menyimpan kebencian itu untuk dirinya sendiri, ia berbisik kepada kedua sahabatnya, Crabbe dan Goyle, lalu seringai terulas di wajah mereka.
Merlin, kebencian ini takkan pernah berakhir.
Gadis itu sering berkata demikian, walaupun ia kerap bertanya-tanya dalam hati, "Haruskah demikian?" Ia selalu menjadi salah satu dari mereka yang percaya bahwa manusia itu abu-abu; tak ada yang hitam dan tak ada yang benar-benar putih. Bahwa yang terjahat pun dalam dunia ini mempunyai sedikit sisi putih dalam diri mereka. Namun segala hal mengenai Draco Malfoy seperti sebuah pengecualian. Ia pangeran Slytherin. Iblis. Arogan. Tak ada yang baik dalam dirinya.
Batas antara dirinya dan Malfoy sungguh jelas. Semua orang dapat melihat batas itu sejelas refleksi diri dalam cermin. Kedua sisi itu begitu nyata. Begitu berbeda. Begitu berlawanan. Begitu—
Terpisah.
"Apa tujuan Draco Malfoy diciptakan ke dunia ini?" geram Ron apabila mereka baru terlibat konflik. Ia dan Hermione menghadiri rapat-rapat prefek rutin tiap minggu dan terpaksa mereka harus lebih sering bersinggungan dengan pemuda Slytherin itu. Hermione tentu selalu berusaha menenangkan Ron dan mengatakan untuk jangan menghiraukan pemuda keparat itu—walau ia sendiri tahu bahwa ia tak mungkin mengacuhkan keberadaannya. Karena ia memang nyata. Ia eksis di dunia dan di masa yang sama.
Ya, bagaimanapun Ron benar.
Demi Merlin, apa tujuan Draco Malfoy diciptakan ke dunia ini?
Mungkin 'anak perempuan' memang tidak terlalu sependapat dengannya. Mereka yang mengerling dan cekikikan setiap Slytherin itu lewat. Seolah rambut pirang dengan mata kelabu itu menyerap segala keindahan yang ia lewati. Namun, bukan berarti Hermione buta dan tidak mengakui ketampanan pemuda itu. Hanya saja—oh Tuhan—ia sangatmembencinya. Ia pun tak pernah keberatan terus mengulangnya dalam hati.
Aku benci dia.
Hermione tahu ia berhasil menarik perhatian beberapa pemuda lainnya setelah pesta dansa tahun ke empat. Sejak saat itu beberapa pemuda mulai menatapnya, diam-diam melirik saat ia lewat. Terkadang ia pun menikmatinya, hanya untuk membuktikan bahwa 'aku ada'. Tapi, betapa inginnya Slytherin itu juga mengakui keberadaannya. Menyadari betapa cerdas dan berharga dirinya. Namun ternyata Malfoy tidak pernah mencintai orang lain, memperhatikan orang lain, seperti ia memperhatikan dirinya sendiri. Tatapannya tak pernah lebih dari batas angkuh dan merendahkan. Seperti yang juga dilakukannya terhadap para 'darah lumpur'.
Draco Malfoy tak perlu mengatakan apapun untuk membuatnya muak. Yang perlu dilakukannya hanyalah memandangnya dan tersenyum di sudut bibirnya yang seolah berkata—
"Aku memandangmu rendah."
Aku benci padamu.
Begitu mudah mengatakannya. Dan yang paling menyedihkan, ia tak tahu kapan harus berhenti mengatakannya karena ia tahu sangat buruk membenci seseorang seperti itu. Ya, tetapi kecuali untuknya.
YOU ARE READING
Dua Sisi
RomanceMereka pikir mereka hidup di dunia yang berbeda. Semua sisi yang membedakan— atau apa yang membuatnya sama: Kebencian.. Persahabatan.. Harga diri.. Dalih.. Hasrat? Cerita ini bukan milik saya namun murni milik sang penulis. Sumber asli cerita : Fan...