e m p a t

391 98 2
                                    

4

Selepas bel istirahat berbunyi, Hinata segera melesat menuju perpustakaan. Saat ini sudah nyaris satu minggu sejak insiden dimana Sasuke berkeras mengantarnya pulang, dan sudah nyaris satu minggu pula upayanya untuk tak terlibat dengan pemuda itu semakin intens.

Sejujurnya berjalan bersisian bersama si pemuda Uchiha itu terasa sangat mudah, seakan-akan mereka memang sudah seharusnya ada berdampingan. Begitu juga dengan keheningan yang kerap kali menyelimuti keduanya, semuanya terasa begitu tepat. Akan tetapi Hinata tidak menyukai sengat aneh dalam dadanya tiap kali mata mereka bertemu pandang. Seolah ada rahasia tak terjamah yang tak bisa ia ungkap, lagi-lagi sesuatu yang familiar namun juga asing di saat yang sama.

Seraya menghembuskan napas pelan, Hinata menghempaskan tubuh di salah satu area baca perpustakaan. Ia membuka novel tua yang diambil dari salah satu rak berdebu di perpustakaan dan meletakkannya di atas meja. Buku itu setebal bata dengan lembar yang sudah menguning, direkomendasikan langsung oleh sang penjaga perpustakaan. Akan tetapi Hinata tidak bisa memusatkan perhatiannya kepada buku itu, terlebih ketika sosok yang beberapa saat lalu terlintas dalam benaknya kini turut menghempaskan tubuh di kursi sebelah.

"Apa yang kau lakukan disini, Sasuke-san?" Hinata berbisik pelan. Gadis itu mencuri pandang melalui ekor matanya dan hanya mendapati Sasuke yang bersedekap sambil melempar sorot bosan ke arahnya.

"Kukira kita sudah sepakat untuk memanggilku tanpa embel-embel." Balas pemuda itu, tidak seberapa peduli dengan pertanyaan Hinata.

Hinata merapatkan bibirnya sejenak. Pemuda itu memang memaksanya untuk tidak menambahkan embel-embel apapun di belakang namanya ketika mengantarnya pulang, namun Hinata masih enggan melakukannya. Ada perasaan aneh ketika ia mencoba memanggil Sasuke tanpa suffiks apapun. Nama pemuda itu terlontar begitu mudah dari lidahnya, terasa begitu pas seolah pernah ia panggil berjuta-juta kali hingga amat familiar, namun pada saat bersamaan terasa salah.

"Kalau begitu, biar kuulangi, apa yang kau lakukan disini?" Hinata mengulang pertanyaannya. Suaranya masih selembut beludru, akan tetapi kali ini ia memilih untuk tidak menyebutkan nama si lelaki raven di ujungnya.

Sasuke mengulas tersenyum geli. Ia selalu tampak terhibur dengan segala aksi Hinata tiap kali mereka bertemu, hal yang kadang membuat Hinata jengkel karena tidak paham bagaimana pemuda itu sesungguhnya memandangnya. Sambil menolehkan kepala dan menopangnya dengan sebelah tangan di atas meja, Sasuke kemudian memandangi Hinata terang-terangan, seolah mencoba mencari sesuatu di wajah gadis itu, "Apakah kau mencoba menghindariku?"

Hinata menggigit bibirnya pelan, hal yang agaknya selalu ia lakukan tiap berinteraksi dengan Sasuke karena gugup. Ia tidak bisa serta merta menjawab pertanyaan itu dengan jujur dan berkata bahwa ia memang menghindari Sasuke. Sebab bagaimanapun juga, ia sendiri tidak mengerti mengapa ia selalu mencoba menghindari Sasuke, yang gadis itu tahu hanyalah ada atraksi yang memabukkan di antara mereka, membuatnya penasaran sekaligus ketakutan. Sesuatu yang aneh, begitu ia kerap menyebutnya. Hal yang membuat pemuda itu begitu familiar meski ia tak pernah mengenalnya, sesuatu yang memaksa instingnya untuk berhati-hati dan memaksanya untuk mengendalikan diri.

Sasuke mengetukkan tangannya yang bebas ke atas meja, mencoba mendapatkan tanggapan dari Hinata. Dahinya kini berkerut dengan sebelah alis yang terangkat dengan tak sabaran.

Hinata menghela napas. Setelah keheningan yang panjang, ia kemudian menjawab dalam tutur rendah, "Bukan seperti itu,"

"Lalu seperti apa?" Sasuke mendesaknya dengan ekspresi yang tak terbaca. Mata pemuda itu masih berfokus pada Hinata, namun entah mengapa alih-alih menyorotnya dengan tatapan yang hidup dan jenaka, kini netra jelaga itu kelihatan separuh bingung dan putus asa.

"Aku..." Hinata berusaha menjawab pertanyaan itu dengan jujur, namun suaranya tercekat di tenggorokan selama beberapa saat, menggantung tak nyaman di udara. Ia ingin menyuarakan rasa penasarannya, tetapi masih urung, sebab bagaimanapun juga rasanya kuriositas yang ia pendam ini terasa aneh dan tak masuk akal. Maka akhirnya ia memutuskan untuk menyuarakan hal paling normal yang mampu ia pikirkan, "hanya masih bingung akan sesuatu."

"Tentang aku?" Kerutan di dahi Sasuke semakin dalam, dan pemuda itu tidak kelihatan yakin dengan jawaban Hinata.

"Bisa jadi." Jawab Hinata sekenanya. Gadis itu kini berusaha memusatkan perhatiannya kembali pada buku tua di atas meja, mengabaikan Sasuke. Semakin banyak pertanyaan yang dilontarkan Sasuke, semakin ia tak tahu harus menjawabnya dengan apa. Jadi Hinata berupaya untuk mengabaikannya saja, berharap pemuda itu akan menyerah dan tak lagi mengorek informasi darinya. Sebab bila memang sampai pada titik buntu, apa yang harus Hinata katakan? Agaknya berkata bahwa 'hey, aku merasa mengenalmu dari suatu tempat dan segala hal tentangmu entah mengapa terasa familiar, tetapi aku bahkan tak punya memori apa-apa tentangmu dan sepertinya aku hanya tengah lelap dalam delusi tak beralasan', bukanlah jawaban yang tepat.

Sasuke menghela napas, kasar dan separuh frustasi. Pemuda itu mengetuk dahi Hinata dengan dua jarinya dan memandangnya seakan Hinata adalah orang paling tak masuk akal di dunia. Sebelum ia berlalu meninggalkan Hinata sendirian, pemuda itu kemudian berujar separuh kesal, "Let me tell you another thing, curiosity may have killed the cat, but paranoia was what tied it up in a sack and buried it in wet concrete." (2)

.

.

.

to be continued

(2) "Curiosity may have killed the cat, but paranoia was what tied it up in a sack and buried it in wet concrete." Kate Griffin, The Midnight Mayor

Curiosity [SasuHina]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang