•
Haekal kini dengan pakaian rapi dan tubuhnya yang terlihat lebih kurus; tengah berdiri dengan nyaman. Haekal melihat bagaimana senyuman yang terlihat menyakitkan itu terus dipaksakan dari wajah sang pengantin wanita, berbanding terbalik dengan pengantin pria di sampingnya.
Hatinya bagaikan tertembak sebuah peluru.
Sakit.
Haekal cemburu.
Haekal ingin marah.
Haekal ingin memeluk wanitanya.
Haekal ingin mengaitkan sebuah cincin di tangan wanitanya.
Haekal ingin hidup dan menua dengan wanitanya.
Ah, tidak. Jian bukan lagi wanitanya.
Haekal tersenyum pedih, air matanya tak sengaja jatuh. Hal ini tidaklah mudah, hal ini terlalu menyakitkan. Ini terasa lebih menyakitkan dari hari saat kemoterapi, setelahnya, ataupun saat penyakitnya terus menyerang.
Di kepalanya, Haekal terus berandai akan menikahi Jian. Pemuda itu terus berandai dan menyalahkan penyakitnya.
Tak berselang lama, pemuda itu akhirnya memilih untuk menghapus jejak air matanya dan mulai berjalan ke arah pelaminan.
Tatapan tajam dari kedua orang tua Jian, tatapan bersalah dari kedua orang tua Jeremy, tatapan sakit dari Jian, dan tatapan yang tak bisa Haekal ibaratkan dari Jeremy terasa menusuk hati Haekal lebih dalam lagi. Bagaikan luka yang diberi air garam, hati Haekal menjerit kesakitan.
Tetapi Haekal tetaplah seorang Haekal. Ia mengesampingkan semua tatapan itu dan terfokus pada tujuannya kemari.
Haekal memberikan senyuman terbaiknya, seolah berujar bahwa ia tidak akan pernah datang dan menganggu lagi.
Jian melihat senyuman Haekal. Hati Jian menjerit merindukan pria yang menjaga dan menemaninya selama empat tahun ini.
Haekal memberikan Jian senyuman hangat dan berhenti di hadapan keduanya.
"Selamat... Selamat berbahagia, doaku selalu yang terbaik untuk kalian."
Jian meluruhkan pundaknya, begitu juga Jeremy. Haekal menepuk pundak Jian menguatkan lalu memeluk Jeremy.
Haekal membisikkan kata-kata pada Jeremy yang membuat Jeremy tersenyum lega dan menganggukkan kepalanya.
"Makasih, Kal... Ayo sembuh habis itu kita piknik bareng sama yang lain."
Haekal terkekeh dan memberikan jempolnya.
"Sehat selalu, Jian, Jeremy. Gue tunggu keponakannya!"
Jeremy tersenyum dan Jian hanya menganggukkan kepalanya. Haekal kini beralih ke kedua orang tua Jeremy.
"Pah.. Mah..."
"Ekal." Wanita paruh baya itu memeluk erat Haekal.
"Maafin Papah sama Mamah, Sayang..."
Haekal membalas pelukannya dan menganggukkan kepalanya. "Gapapa, Mamah cantikk... Haekal ikhlas."
Pria paruh baya itu berterimakasih dan menepuk pundak Haekal.
Haekal tersenyum teduh. Pemuda itu kemudian pamit dan segera turun dari pelaminan. Ia berjalan keluar dari gedung pernikahan, menemui Ren di luar gedung.
"Udah?" tanya Ren sembari memberi kabar pada Jeje untuk segera datang melalui handphonenya.
Haekal tertawa ringkih, mengerti perasaan marah dan kecewa milik Ren padanya. "Udah, gue puas banget. Makasih banget," ujar Haekal.
Ren hanya menggumamkan kata-kata kasar pada Haekal mengetahui wajah sahabatnya itu pucat dan mulai mengeluarkan keringat dingin.
"Habis ini balik ke rumah sakit. Ga ada keluar-keluar, izin dokter cuma dua jam," ujar Ren mengingatkan.
Haekal menganggukkan kepalanya dan berjongkok, menyenderkan tubuhnya pada dinding.
"Sakit?"
"Hati gue lebih sakit."
Ren tertawa sarkas. "Lucu banget, Kal."
Ren menghela nafas dan memalingkan perhatiannya. Menaruh tangannya di kepala sang sahabat dan berusaha untuk tidak mengeluarkan pertanyaannya, memberikan ruang untuk Haekal.
"Gue mau nangis," celetuk Haekal.
"Tunggu bentar lagi. Nangis di mobil."
Haekal menundukkan kepalanya dan menutupi wajahnya.
"Gue kangen Mas Jo sama Mas Dimas."
"Tunggu aja, mereka bakal balik bentar lagi."
"Jangan ngasih gue harapan kalau mereka bentar lagi bakal balik, Ren."
Ren terdiam dan tidak membalas pernyataan Haekal.
"Apapun yang terjadi, gue sama Jeje selalu minta tolong sama lo buat tetep berjuang buat hidup, Kal."
Haekal menatap Ren.
"Ayo balik ke rumah sakit."
Mobil milik Jeje terlihat, Ren menepuk pundak Haekal. Keduanya memasuki mobil saat mobil tersebut berhenti dihadapan keduanya.
•
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving You.
Fanfiction❝Even the slightest bit of love blames me. Overflowing with innumerable emotions. Every single one of them is my greatest joy, I'm just very sick.❞ -Haekal Matahari Zachery.