invitation card

165 16 2
                                    

•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

K

ini Jian dan Jeremy tengah mengadakan photo shoot untuk pernikahan mereka. Jian tampil anggun dan cantik dengan gaun putih panjang yang dihiasi dengan ornamen-ornamen sederhana, tapi rumit untuk dibuat dan Jeremy yang tampil gagah dengan tuxedonya.

Mereka berdua sangat sempurna. Mereka berdua merupakan perpaduan yang indah.

Jeremy dan Jian melihat Haekal dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun, bagi Haekal, tatapan keduanya mengisyaratkan bahwa mereka merasa prihatin. Begitu pula dengan kedua orang tua Jian.

Haekal sedikit mengangkat senyumannya. Pemuda itu menatap kameranya, menghilangkan perasaan sakit di hatinya. Namun, ia menyesal melihat kameranya. Di sana terpampang wajah sendu milik Jian dan itu membuat hati Haekal semakin sakit.

"Oke, kita mulai, ya! Mohon untuk sedikit lebih rapat dan tersenyum!" ujar Haekal dengan professional.

Setelah beberapa jam, akhirnya sesi mereka selesai. Haekal segera mengecek hasil fotonya di komputer.

Sempurna dan indah.

Itulah yang Haekal rasakan saat melihat hasil foto kedua orang terkasihnya itu. Haekal membayangkan jika ia adalah Jeremy. Haekal tersenyum tipis. Haekal paham, ia tak boleh seperti ini.

"Haekal."

Suara merdu Jian terdengar dan Haekal menoleh. Mendapati Jian berdiri dengan pakaian kasualnya dan sebuah kartu undangan di tangannya. Jian menyodorkan kartu tersebut pada Haekal.

Mata gadis itu berkaca-kaca. Ia ingin sekali memeluk pria yang ada di depannya saat ini. Terhitung sudah sebulan semenjak pertemuan mereka. Jian merindukan Haekal dan begitu juga sebaliknya.

Haekal tersenyum dan menerima undangan itu. Haekal tidak mengira ia akan di undang. Orang tua Jian sangat tidak menyukainya. Haekal menyadari mata Jian yang berkaca-kaca saat memberikannya.

"Gapapa, jangan nangis. Jian kuat, aku ikhlas, Ji," ujar Haekal menguatkan Jian.

Jeremy memperhatikan mereka dari jauh dan Haekal mengetahui hal itu. Ia terkekeh pelan menyadari gadis dihadapannya akan segera dipinang oleh sahabat masa kecilnya.

"Makasih udah diundang. Aku gak ada niatan ngusir kamu, tapi dari tadi Jeremy ngeliatin. Sana balik, Ayah kamu juga udah mau ke sini." Haekal memberitahukan pada Jian.

Jian menganggukkan kepalanya lalu berbalik dan meninggalkan Haekal sendiri. Haekal melihat undangan di tangannya.

Ren berjalan mendekat dan menepuk bahu Haekal, menguatkan sahabat baiknya itu.

"Yang kuat, Kal," ujar Ren, "Gue sebenernya ga mau ingetin elo soal ini, tapi habis ini lo harus kemo."

"Ga usah lo kasih tau gue juga tau, anjing," maki Haekal pada Ren.

Keduanya lalu tertawa, menertawakan takdir dan diri mereka sendiri.

Jian dan Jeremy yang mendengar kata 'kemo' dari bibir Ren pun menoleh. Jeremy berjalan terlebih dahulu dan membalikkan tubuh Haekal.

"Maksud lo 'kemo' apa, Kal?" tanya Jeremy.

Haekal yang terkejut dengan tindakan Jeremy yang tiba-tiba hanya terdiam.

"Haekal jawab gue, anjing!"

Ren melepas genggaman Jeremy pada bahu Haekal. "Lo mau tau apa mau tau banget, Je?" tanya Ren pada Jeremy.

"Lo? Kalian bertiga nyembunyiin apa dari gue, anjing?!"

Ren tertawa. "Gak ada yang nyembunyiin apapun dari lo, Je. Ya, mungkin sama Jian, iya, tapi gue, Haekal, Jeje udah bahas ini di group, tapi lo ga pernah buka group lagi semenjak kejadian Jian nerima Haekal."

"Mundur." perintah Ren dengan nada dinginnya pada kedua orang tersebut.

Ren menarik Haekal pergi dari sana. Tak lupa ia menitipkan studio pada Yanu.

"Gue ngerasa lembek banget jadi cowok," celetuk Haekal.

Ren hanya menghela nafas pelan. Mereka kini tengah berada di depan studio, menunggu Jeje datang dengan mobilnya.

"Emang."

"Tai." umpat Haekal.

"Tapi lo cowok yang gue kenal sebagai pribadi yang kuat dan bisa ngehargain cewek, Kal. Lo secara gak langsung memotivasi gue sama Jeje buat jadi lebih baik lagi."

"Gue merasa terharu sama ucapan lo, makasih, adik kecil." Haekal menutup mulutnya seolah-olah tidak dapat berkata-kata lagi mendengar ucapan Ren.

"Gue lebih tua dari lo, anjing!"

"Tapi elo pendek."

"Bangsat."

Haekal tertawa terbahak-bahak mendengar umpatan Ren. Pemuda itu sekilas melupakan sakit hatinya dan gelisahnya. Haekal bersyukur memiliki teman sebaik Ren dan Jeje. Walaupun terkadang mereka berdua tengil dan menyebalkan.

"Besok, kalau gue udah ga ada. Jaga terus pertemanan lo sama Jeje. Benerin pertemanan kita sama Jeremy. Jangan sering tengkar lo pada."

"Ngomong apaan, sih, lo, Kal? Lo bakal sehat lagi, anjing! Lo bakal sembuh!"

Haekal tersenyum kecil. "Iye, sembuh gua besok."

Semoga. Semoga saja bisa melihat kedua sahabatnya menikah.

•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Loving You.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang