Waktu diputar mundur 20 tahun.
Ketika itu, gadis usia 4 tahun yang terlalu polos untuk mengerti arti dari rasa 'kesepian'. Hanya mengikuti langkah Mamanya yang menggandeng tangan mungilnya, masuk ke dalam rumah sederhana namun bertingkat. Lantas seorang wanita paruh baya menyambut mereka. Bercakap - cakap ringan. Tak berapa lama, gadis remaja keluar membawa nampan minuman, sopan menyuguhkan hidangan.
"Yang ini namanya Venus, biasanya anak-anak manggilnya Kak Vin. Tertua kedua setelah Bumi" Wanita paruh baya itu mengenalkan. Gadis kecil menatap 'kakak' cantik itu dengan tatapan polos, bertanya-tanya dalam hati, untuk apa kita datang kesini?
"Ini siapa namanya?" Wanita paruh baya itu menatap lembut padanya.
Gadis kecil terdiam, melirik pada Mamanya, seakan minta pendapat lebih dulu.
"Ayo dijawab, Sayang..."
"Em-"
"WAAA!!"
Belum selesai ia menyebutkan nama, dua anak kecil seumurannya tiba-tiba keluar, berlarian saling kejar sambil berteriak kegirangan. Wanita paruh baya itu tampak menghela nafas lelah. Namun ia tersenyum tulus, memeringati dua anak kecil itu. Menyuruh mereka bermain di halaman belakang.
"Eit, minta maaf dulu!" Wanita paruh baya menghentikan langkah mereka. Salah satu bocah lelaki itu menatap gadis kecil, tersenyum,
"Kami minta maaf, tante, adik kecil..."
Gadis kecil itu serasa tersedak. Apa? Adik kecil? Bukankah dia juga kecil?
"Oh, ga apa-apa..." Mamanya melambaikan tangan. Mereka kembali masuk sambil saling memiting. Tertawa.
"Anak itu... -"
"İya... Cepat sekali kabarnya tersebar."
Gadis kecil memutuskan bermain sendiri setelah itu. Dia tidak akan paham apa yang dibicarakan Mamanya dan wanita paruh baya itu. Sampai beberapa menit kemudian mereka pamit pulang.
"Kamu pingin tau kenapa kita kesana?" Mamanya meliriknya sekilas, menawarkan memberitahu. Jalan lalu lintas mulai padat terhenti lampu merah. Gadis kecil itu menggeleng. Seperti dia tidak ada rasa ingin tahu. "Rumah itu namanya panti asuhan. Mereka anak-anak yang ga punya orangtua. Kasian, kan...? Ada yang dari kecil sudah ditinggal mamanya, yang mulai dari bayi juga ada. Makanya, Embun harus bersyukur karena Mama masih ada"
Gadis kecil itu mengangguk. Dia terlalu polos untuk mengerti kalimat terakhir Mamanya.
"Tapi main-main terus"
Mamanya tersenyum. Sembari fokus menyetir, sebelah tangannya mengusap kepala gadis kecilnya, "Kamu ga mungkin tau apa yang mereka rasakan, Sayang... Mama juga ga tau. Tapi hidup tanpa orangtua, itu sangat menyedihkan. Mama aja yang sudah punya kamu, masih merasa kesepian tanpa Kakek. Apalagi mereka yang masih kecil, yang seharusnya dapat kasih sayang dari mama-papa mereka"
Gadis kecil itu menatap lekat Mamanya. Masih mencerna apa yang dikatakannya.
"Makanya, Embun ga boleh sombong, jadi anak yang baik. Embun patut bersyukur masih ada Mama sama Papa. Soalnya kita ga pernah tau, apa yang terjadi besok dan seterusnya"
Matahari mulai tumbang tenggelam, menyisahkan semburat merah yang hangat.
Entah apa yang dipikirkan Mamanya, entah apa yang tiba-tiba menggulung perasaan gadis kecil, dia datang lagi ke panti asuhan itu setelah beberapa tahun berlalu. Tanpa tangan lembut yang biasa menggandengnya, tanpa pelukan hangat 'sampai jumpa' dari orang tersayangnya. Dan beberapa tahun kemudian untuk 'gadis kecil' itu mengerti semua kalimat Mamanya senja itu.
***
"Embun, kita semua ga bakal tau kapan ajal tiba. Kita juga ga tau seperti apa ia menjemput kita. Ada yang kecelakaan, sakit, ada juga yang ga kenapa-kenapa. Semua itu sudah rencana-Nya. Dan Embun tau? Ibaratkan bunga yang indah, pasti bakal kamu petik daripada yang layu, kan? Kayak gitu ibaratkan kita. Mama orang yang baik, jadi Dia pingin mengambilnya layaknya bunga yang indah. Nah, jangan lupa Embun jadi aromanya yang tetap wangi. Jadi anak yang baik, biar Mama tetap harum disana."
Itu kalimat Ibu Pengasuh ketika gadis itu baru tiba disana. Si gadis kecil yang kini berumur 8 tahun. Dia sudah lebih dari tahu rasanya kehilangan. Matanya sayu, tatapannya kosong, air muka kusut dan berantakan. Dia diam saat di belai lembut oleh wanita yang mulai berkeriput itu. Tak bicara sepatah katapun sejak pertama datang diantar teman Mamanya. Anak-anak yang hendak menyambutnya jadi urung. Mereka bersembunyi dibalik dinding, menguping. Kadang saling mendorong untuk menyapa 'saudara baru'.
"Nah, gimana kalau Embun istirahat dulu? Capek, kan, habis perjalanan jauh. Oh, Embun panggil bibi 'Bunda', ya. Sekarang, ini keluarga baru Embun. Kebetulan banget ulang tahunnya si Kembar, sekalian buat pesta penyambutan Embun. Kecil-kecilan, tapi meriah banget, kok!" Ibu Pengasuh tersenyum lebar sambil merangkulnya menuju kamar. Berharap si gadis manis itu terhibur sedikit. Tapi sepertinya tidak sesuai yang diharapkan. Wajahnya tetap lusuh, menunduk dalam-dalam. Pelupuk matanya mulai basah lagi. Bahkan beberapa anak yang bertingkah konyol pun dihiraukannya. Yang jatuh bertumpuk gegara kaget persembhunyiannya terkuak, diabaikan. Padahal mereka yang jatuh sempat menahan tawa.
Dia masih tidak bisa melupakan 'tragedi' menyedihkan itu dalam hidupnya. Entah sampai kapan.
Sekelebat bayangan Papanya yang juga pergi jauh melintas. Suara balok besi, debum jatuh, teriakan yang nyaring, menyayat. Semua itu bagaikan mimpi buruk yang nyata. Ingin mengusirnya jauh-jauh, tapi tidak bisa. Selama ia bersedih terus, mimpi buruk itu akan selalu menghantuinya.
Waktu serasa cepat terlewati. Anak - anak yang lain pada sibuk menyiapkan ulang tahun si kembar. Menahan tawa membayangkan ekspresi keduanya saat dihujani kertas kerlip. Mereka masih kecil. Terlalu berisiko kalau dilempari tepung atau air telur busuk. Sementara itu saudara baru mereka masih mengurung diri. Kontras dengan keramaian di luar kamarnya. Ia duduk memeluk lutut, terus terisak meski air matanya mengering. Jam menunjukkan pukul 5 sore, dan dia sama sekali menghiraukan ketukan pintu yang silih terdengar. Bunda beberapa kali menyuruh seorang anak memeriksanya, selagi dia sibuk memasak makan malam. Tapi apa boleh buat, mereka selalu kembali dengan laporan hampa.
"Langit, coba di tengok lagi" Bunda menyuruh seorang anak lagi. Yang dipanggil 'Langit' mengangguk, berlari menuju kamar si Embun. Ia mengetok pintu kamar, beharap yang di dalam menyahut. Namun beberapa detik kemudian tidak ada jawaban. Ia mengetuk kedua kalinya, juga tidak ada balasan. Langit membuang nafas kecewa. Sayup-sayup terdengar suara menyenangkan dari dapur sana. Ia juga ingin membantu. Asyik sekali soalnya. Berarti dia harus cepat menyelesaikan misinya.
"Hey, Adik Kecil, kalau ga mau keluar, ya, sudah. Tapi jangan sampai maksain diri. Kalau nangis terus ntar jadi ga enak makan. Terus sakit. Masuk rumah sakit. Makanannya ga enak disana. Disuntik lagi. Hiii"
Embun sedikit mengangkat kepalanya. 'Adik Kecil'? Terdengar familiar.
Untuk sejenak tidak ada suara diantara mereka. Langit berdeham, mengetok pintu lagi. Memastikan yang di dalam mendengarnya.
"Kata Bunda, mama-papa masih bisa lihat kita. Kalau nangis terus, ntar mereka jadi ikut sedih. Kata Bunda juga, kalau mau disayang mama-papa itu kita harus kuat, ga cengeng, mandiri, jadi anak yang baik. Kalau Adik Kecil ga mau mama-papa sedih, jangan nangis terus."
Kali ini Embun sempurna mendongak, menatap pintu kamarnya yang masih tertutup rapat. Siapapun yang dibalik sana, suaranya berhasil melunakkan perasaan, begitupun kalimatnya. Terdengar lebih lembut dan penuh kasih sayang. Berbeda dari yang sebelumnya yang tidak sabaran, main ketuk pintu saja. Embun menurunkan kakinya, masih menimbang, apa harus membukakan pintu.
"Ehm, kasih kertas surat aja, deh. Biar tau kalau adik kecil baik-baik aja" Langit mendengus samar. Ia tidak bisa memaksa. Apalagi yang dihadapinya anak yang baru saja kehilangan orang tuanya. Dia lebih dari mengerti rasa sakit itu. Langit hendak berbalik, tapi suara ketukan yang pelan menghentikannya. Pintu itu terbuka sedikit.
YOU ARE READING
SEMESTA
Teen FictionIni kisah kami. 11 bersaudara tetapi tidak sedarah. Di rumah tua ini kami tumbuh. Di atas atap bocor ini kami merangkai angan, melukis pemandang awan, menatap ke depan tanpa takut. Kami berani. Walaupun harus berhadapan dengan butir takdir yang pah...