Kabut Pagi

10 1 0
                                    

  Pukul 3 pagi.

Udara masih terlalu dingin dihirup. Warna langit juga masih gelap seperti malam. Hening. Hanya terdengar suara derik hewan dan gumaman yang tertidur. Kesebelas anak yang pulas bergelung di ruang tengah. Meraptkan selimut masing-masing. Membawa mimpi indah entah dengan siapa, tapi malam tadi cukup membuat mereka melupakan kenyataan yang pahit. 

Dua anak tertua baru terjaga dari tidurnya. Menyadari adik-adik mereka yang tidur semerawut, mungkin lelah bermain semalaman. Pesta ulang tahun si kembar dan penyambutan Embun. Si gadis kecil 4 tahun lalu. Akhirnya dia mau keluar dari kamar walau dengan wajah sembab. Langit berhasil membujuknya. Bahkan ia sempat tertawa walaupun sebentar. Umurnya masih anak-anak, wajar jika menangis karena kepergian orangtuanya yang baru saja.

  Bumi beranjak menyibak selimutnya. Sebentar meregangkan otot-otot yang kaku gegara tidur di karpet. Ia pelan melangkah melewati kaki-kaki yang bagai rintangan. 

Venus yang juga bangun mengusap matanya, masih mengantuk. Tapi melihat kakaknya melangkah seperti itu nampak lucu. Seperti ninja. Ia berbisik, "Pindahin adik-adik?". Tanpa perlu menjawab dengan suara Bumi hanya mengangguk. Venus ikut beranjak, hendak membantu. Sudah biasa mereka melakukan hal ini. Anak-anak kecil sering tertidur dimana saja sehabis lelah bermain. Biasanya ada Samudera juga yang membantu. Tapi kelihatannya dia tidak akan bangun. Melihat posisi tidurnya yang mengharukan -selain dia tidak akan bisa bergerak-. Kedua lengan dan dadanya jadi bantal ketiga anak kecil. 

Bumi mulai mengangkat yang paling kecil, Bulan, sedangkan Venus menggendong Bintang. Pelan-pelan agar mereka tidak terbangun. Dan akhirnya Samudera bisa melemaskan lengannya. Dia agak terkejut saat tadi Si Kembar tiba-tiba diangkat. Tinggal Badai yang sepertinya berasa tidur di spring bed dengan bantal empuk. Samudera berusaha bangun, perlahan mengangkat tubuhnya, dan berujung membantu kedua anak tertua.

***

  "Eh, Bunda bangun juga. Mau dibuatin teh?"

15 menit rampung memindahkan adik-adik ke kamar mereka, Bumi yang kebetulan melewati kamar Embun menyadari Ibu Pengasuh mereka disana, duduk di sisi ranjang. Wanita tua itu menoleh, tersenyum. Wajah keriputnya kelihatan segar, mungkin bekas air wudhu. Ia menggeleng pelan. Tanpa disuruh Bumi mendekat. Merangkul bahu Bunda. Umurnya masih 17, tapi dia mengerti caranya menyenangkan hati orang tua.

"Orang-orang mengaggap adanya embun karena hawa pagi yang dingin. Padahal kalau dirasakan embun itu justru menahan hawa dingin. Kalau embun sudah habis, baru terasa dingin. Kamu ngerasa gitu juga, Bumi?"

Bumi diam. Menghela nafas tipis. Tangan Bunda mengusap lembut rambut si Gadis Kecil, seperti anak sendiri.

"Jangan pernah menilai seseorang dari tampaknya saja. Bisa jadi di tengah badai salju justru dengan salju kita berlindung. Kamu ngerti Bumi?"

Untuk kedua kalinya ia tetap diam. Merenungi setiap kata dari wanita tua itu.

"Bunda hanya bisa berharap ke kalian. Jadi anak baik, jangan putus persaudaraan meskipun kalian nggak sedarah. Saling menjaga, saling menguatkan. Suatu saat ketika Bunda pergi jauh, kalian yang akan menjadi tumpuan adik-adik. Kamu mengerti, Bumi?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 29, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SEMESTAWhere stories live. Discover now