Home | 백현 · 슬기

110 8 0
                                    

Suara ditutupnya pintu mobil (yang sebetulnya menurutku cenderung agak dibanting) adalah satu-satunya sinyal yang kuingat jika Baekhyun sudah pulang. 

Itu adalah tepat lima hari setelah peristiwa di malam itu, malam ketika polisi menemukanku bermandi darah milik Baekhyun--yah, setidaknya itu yang bisa kuasumsikan karena aku ingat aku berada di pangkuannya sedetik sebelum kegelapan datang. Mereka mengamankan kami berdua dan membawa Natt ke kantor polisi. 

Baekhyun sudah tidak ada ketika aku mendapati diriku terbaring di ranjang rumah sakit pukul dua malam. Kupikir tak ada gunanya meninggalkan Sehun di kamar rawatku karena ia tidak tahu banyak soal ini. Namun setelah lelaki itu menjelaskan padaku bahwa Baekhyun pergi untuk mengurus masalah Natt, aku tahu Sehun sebetulnya tahu banyak. 

"Kau seharusnya ada di sana juga," kata lelaki tersebut. Kedua irisnya bergerak ke kiri dan ke kanan, memindai isi buku yang tengah ia baca. "Tapi kau baru saja lolos fase kritis. Apa boleh buat." 

Kebingunganku tidak akan sebegini membludak seandainya Baekhyun ada di sana ketika aku sadar, menjelaskan padaku apa yang terjadi setelah aku tiba di kediaman Natt di Jalan Hampton, karena sesungguhnya aku tidak bisa mengingat apapun selain mendaratkan kakiku di halaman rumah Natt yang penuh rumput, mencari Baekhyun dan menemukannya di dapur rumah Natt dan, sudah. Itu saja. 

Aku nyaris berpikir bahwa semuanya benar-benar telah berakhir. Hari-hariku yang dipenuhi oleh bayangan Natt mengacungkan sebilah pisau ke leherku--atau bahkan leher suamiku--telah tiba di akhir cerita, dan seharusnya aku bisa tidur tenang setelah itu. Namun aku tidak bisa. Malam-malam selanjutnya dadaku sesak dan aku benar-benar tidak pernah tidur, kecuali jika aku minum alkohol sampai cairan bening itu merenggut kesadaranku. Lalu aku sadar bahwa semuanya belum selesai. Tidak sebelum aku dan Baekhyun kembali ke linimasa kami--linimasa di mana kami adalah sepasang suami istri yang baik-baik saja. 

Pintu dibuka, dan aku sudah berjalan meninggalkan counter dapur menuju ruang tamu. Baekhyun tengah membuka tiga kancing teratas kemejanya ketika aku sampai di sana (itu kebiasaannya). Ketika Baekhyun menutup pintu di belakang punggungnya, aku menyambutnya dengan sebuah ciuman. 

"Sayang, ada apa?" Baekhyun meraih pinggangku begitu aku melepas ciuman kami. Wajahnya lelah, tapi terselip tatapan khawatirnya di sana. 

Terakhir kali kami bertatap muka adalah malam itu di rumah Natt, dan terakhir kali kami berbagi ciuman adalah sekitar dua bulan yang lalu. Baekhyun begitu sibuk menghadiri panggilan polisi, terus-menerus menyuruh Sehun menjagaku agar tidak keluar rumah. Bagaimana ia bisa menanyakan dua patah kata itu kepadaku? 

"Tidak ada apa-apa," aku tetap menjawab pada akhirnya. Baekhyun mengulurkan tangannya ke belakang punggungnya, lalu kudengar suara kunci yang diputar. Tangan itu kemudian ia letakkan di rahangku. Aku menarik kerah kemejanya, lalu kami berjalan menuju ruang tengah dengan bibir saling memangut. 

Itu adalah hari Kamis terbaik bagiku, setidaknya dalam tiga bulan terakhir. Kata-kata yang menggantung sekian lama di tepian lidahku hilang begitu saja, tergantikan oleh pertanyaan-pertanyaan konyol seperti "apa menu makan malam kesukaannya?", "apa aku masih menyimpan piyamanya?" karena demi Tuhan, aku sama sekali tidak ingat jawabannya. Pikiran-pikiran sederhana itu membuatku tersenyum di sela-sela lumatan Baekhyun di bibir bawahku. 

Aku dapat merasakan jemari Baekhyun beserta dinginnya cincin pernikahan kami di jari manisnya menyentuh pipiku yang menghangat. Lalu mataku berubah menyedihkan. 

"Kau tidak apa-apa tapi kau menangis," bisik lelaki itu ketika pautan bibir kami terputus. Aku tidak mendorongnya, ia melepaskannya karena air mataku jatuh mengenai pipinya. "Maafkan aku untuk tiga hari tanpa kabar. Tapi aku tidak ke mana-mana selain pom bensin dan kantor polisi." 

Aku terduduk di lengan sofa sementara Baekhyun tetap berdiri, sedikit menunduk. Tangan kananku terangkat untuk mengusap pipi kirinya, lalu ia mengangguk. "Aku juga merindukanmu." 

Aku menggeleng. "Bukan itu yang mau aku ucapkan .. tapi, yah .. aku memang merindukanmu. Kau sangat kurusan. Dan kumal. Itu membuatku sedih." 

Baekhyun tertawa. Ia menaruh kedua telapak tangannya di tempurung lutut, menopang berat badannya hingga wajah kami sejajar berhadapan. "Kalau kumal menjadi alasan utama mengapa kau menangis, sepertinya aku harus segera mandi, ya?" 

Kami berdua tertawa kecil. Mengagumkan bagaimana kata-kata yang terlontar dari bibir Baekhyun terdengar seolah tak terjadi sesuatu apapun, seolah berciuman, menangis dan mencibir adalah rutinitas kami setiap Baekhyun tiba di rumah jam delapan malam. Tapi tidak apa-apa, aku senang Baekhyun seperti itu--setidaknya untuk saat ini. 

"Let's shower, baby," katanya setelah kami tiba di kamar kami. Aromanya seperti sebuah ruangan yang telah kau tinggalkan selama bertahun-tahun. Bukan aroma tak sedap, tapi aroma tak terjamah. Aku tahu Baekhyun berkata begitu untuk mengajakku mandi bersamanya, terlihat juga dari matanya yang terus mengawasiku selagi ia melepas sisa kancing di kemejanya. 

"Aku sudah mandi," sahutku setelah aku tiba di depannya. Kami berdua berdiri di sebelah ranjang, dekat pintu kamar mandi. "Nikmati tub-mu, Baek. Aku sudah mengisinya dengan air hangat."

Aku menaruh tangan di kedua bahunya dan menjatuhkan kemeja putihnya ke lantai selagi ia menghujami wajahku dengan kecupan-kecupan ringan. Lalu aku merasa kupu-kupu bangkit di dasar perutku. 

"Aku membutuhkanmu untuk menggosok punggungku," keluhnya. Aku menepuk kedua pinggangnya dan ia menegakkan badan. 

"Kau bisa melakukannya sendiri," sahutku. 

"Lenganku tak sepanjang yang kau bayangkan," katanya. "Lagipula, jauh lebih sederhana jika kau ikut. Ayolah .. kita tidak kehabisan sabun, bukan?" 

Aku mencubit pinggangnya. "Jangan konyol!" 

Baekhyun tertawa, lalu aku kembali tersenyum. 

"Gosok punggungmu dengan benar, Baek," aku bersiap meninggalkan kamar. "Aku akan menyiapkan makan malam."

Aku baru saja ingat bahwa menu makan malam kesukaan Baekhyun adalah daging lobster, atau sashimi. Tapi aku tak punya keduanya, jadi mungkin cullen skink akan oke, mengingat aku masih punya banyak kentang. Aku masih menyimpan sisa beberapa kaleng gin yang kubeli beberapa hari yang lalu di dalam kulkas. Ini akan menjadi makan malam yang sempurna. Namun sebelum anganku berkelana sejauh itu, tanganku sudah kembali ditarik oleh Baekhyun. 

"Jangan konyol," katanya. 

Aku mengernyit. 

"Duduk di sini dan jangan lakukan apapun," Baekhyun menggenggam erat kedua sisi bahuku dan mendudukkanku di tepi ranjang kami. "Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita masak bersama, kan? Duduk di sini dan jangan mulai masak tanpa aku." 

Baekhyun menepuk puncak kepalaku satu kali, lalu dia berbalik dan masuk kamar mandi. Aku bisa mendengar suara bungkusan sikat gigi baru yang ia buka karena aku telah membuang sikat gigi lamanya ketika kami bertengkar waktu itu. Kemudian suara gemericik air, mungkin dia baru saja masuk ke tub. Setelah itu kamar mandi dipenuhi oleh suara Baekhyun yang tengah bersenandung. 

Ide bahwa hal-hal terasa seperti kembali ke tempat semula membuatku tersenyum seperti orang gila dengan kedua tangan setengah meremat tepi kasur. Aku mencoba untuk tidak tersenyum, karena kupikir aku terlihat seperti orang mesum. Namun aku tidak bisa, jadi aku tetap tersenyum sampai Baekhyun selesai mandi, mendapati aku terduduk di kasur, tak bergeser satu incipun. 




Ocean of MindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang