Bab 1

73 5 0
                                    

"Jadi bisa dipastikan kau membunuh mereka... Benar begitu, kan?"

Ekspresi pria itu tidak berubah saat aku mengatakannya. Dia mengenakan sweat suit hitam, tubuhnya menyender malas di kursi. Jika kaca akrilik bening ini tidak ada di antara kami, apakah aku akan takut? Pipinya kempis, matanya agak cekung.

"Aku meragukannya selama ini... kenapa kau... setelah pembunuhan itu, Akiko..."

Jangan langsung mengambil kesimpulan,  katanya.

Dia tetap tanpa ekspresi. Dia tidak terlihat sedih maupun marah. Dia hanya terlihat letih. Pria itu lahir dengan wajah letih.

Sebagai gantinya, aku yang akan bertanya.

Aku bisa mendengar suaranya cukup jelas meski terhalang kaca akrilik.

Apa kau... siap?

"Hah?"

Tiba-tiba hawa menjadi dingin.

Aku tanya apa kau siap.

Pria itu memandang lurus padaku. Dia tidak mengalihkan pandangannya sekali pun, tidak dalam waktu singkat ini.

Kau ingin tahu apa yang ada di dalam benakku. Benar, kan?... Kenapa aku melakukan kejahatan seperti itu. Kau ingin tahu tentang bagian terdalam lubuk hatiku. Tapi sampai saat ini, belum ada seorang pun yang menemuiku secara langsung... Apa kau tahu artinya?

Dia hanya menggerakkan bibirnyaーsebaliknya, tidak ada satu pun otot wajahnya yang bergerak.

Artinya aku akan bicara denganmu. Dan mungkin dengan menggebu-gebu. Kesendirian dapat mengubah orang menjadi pembicara hebat. Kau kelihatannya sanggup duduk bersamaku selama kau di balik kaca akrilik ini. Tapi inilah yang kurasakan, seperti kita sedang duduk bertatap muka di ruangan sempit tertutup, asyik mengobrol. Bayangkanlah. Sedang mengobrol dengan orang yang melakukan kejahatan gila, dan dalam jarak dekat, mendengarkan semua hal yang ada di dalam pikirannya... Seolah-olah aku sedang masuk ke dalam dirimu.

"... Dalam diriku?"

ーBenar. Apa pun yang ada di dalam diriku, itu akan merasukimu. Apa pun yang ada di dalam dirimu mungkin akan tergerak selama proses itu... Seolah akuーorang yang sebentar lagi akan dieksekusiーseolah aku akan terus hidup di dalam dirimu. Kau tak masalah dengan itu?

"Aku tak tahu," kataku jujur. "Tapi aku sudah memutuskan akan menulis buku tentangmu."

Ruangan menjadi dingin lagi. Tempat ini pasti dibersihkan setiap hari; meski lantainya usang, tapi tidak ada setitik debu pun di situ.

Kenapa?... Karena kau anggota K2 juga?

Penjaga berseragam di belakangnya menatapku. Dinding di sekeliling ruangan ini mulai mendekatiku. Seolah-olah, secara perlahan-lahan, ruangan ini mengepung sekeliling pria itu. Aku menarik napas. Aku sadar akan kaca akrilik di depanku. Tak apa, bisikku dalam kepala. Ini jelas hanya pembukaan sebuah pembicaraan. Tapi jarak di antara kami kecil. Kami bahkan tidak sendirian. Dan ada batas waktu juga.

"... Aku hanya tertarik pada K2."

Tertarik... Bisa-bisa bahaya.

Penjaga berseragam berdiri dan memberitahu kami soal waktu. Aku menghela napas. Pria itu menyadari kelegaanku. Dia memperhatikanku. Dia melihat kegelisahan yang ada pada diriku.

Oke... Kau boleh datang lagi, katanya seraya berpisah. Pintu di belakangnya terbuka.

Tapi aku belum yakin kalau aku akan memberitahumu sesuatu. Aku tak terlalu pintar menganalisa diriku sendiri. Jadi.

Saat pria itu dibawa pergi, dia melanjutkan.

Bersama, kupikir kau dan aku bisa memikirkan beberapa hal... Misalnya, kenapa aku melakukan apa yang telah kulakukan.

***

Saat aku meninggalkan penjara, hari telah senja.

Aku mengambil napas. Tapi tidak ada kesegaran di antara udara berasap knalpot. Saat aku sadar aku sedang meraba-raba kantong, aku menghentikan tanganku. Di kejauhan aku bisa melihat cahaya lampu kombini. Suara pria itu masih terngiang-ngiang di telingaku.

Aku menyeberangi jalan besar yang basah akibat hujan dan memasuki kombini. Aku menatap rak rokok selama beberapa saat, mengambil satu kotak bersamaan dengan sebuah pemantik api dari konter di meja kasir. Ketika aku menyentuh plastik pembungkus kotak rokok yang halus, jari-jariku merasakan kehangatan.

Penjaga kasir yang kurus mengambil alat pemindai dan mulai memindai barcode dengan gerakan yang mengganggu. Karena beberapa alasan, aku merasa tertekan dengan sikap si penjaga kasir. Aku pergi keluar dan menyalakan rokok, meskipun aku sudah berhenti merokok.

Tenggorokanku terasa kering. Rasa haus ini bukan yang bisa dipadamkan dengan air.

Aku mengamati sekelilingku dengan sia-sia dan mulai berjalan pergi. Laptop notebook dan perekam suaraku ada di dalam tas. Mendadak tas ini terasa berat sekali. Aku belum berhasil membawa perekam suara ke dalam ruang kunjung penjara.

Hujan besar mulai turun. Tanah sudah basah sebelumnya, hujan reda tadi hanya sementara. Orang-orang berlarian menghindari hujan. Mereka menoleh padaku, berdiri di sana basah-basahan, sewaktu mereka lewat. Seolah mereka melihat sesuatu yang aneh dan tidak ingin ikut campur. Aku menaruh tangan di atas kepala dan mulai berlari kecil. Faktanya, aku tidak peduli kehujanan sekalipun.

Tengok aku lagi, aku ingin mengatakannya, tapi kepada siapa aku tak tahu. Aku berlari-lari seperti ini menghindari hujan, seperti kalian semua.

Dari sudut pandanganku, aku bisa melihat cahaya lampu menyala dari bar kecil. Di senja malam, cahaya itu berkedap-kedip, redup lalu menyala lagi samar-samar.

Hanya sebagai tempat perlindungan dari hujan, aku memberitahu diriku sendiri. Aku mendekati cahaya bar tersebut. Aku membuka pintu kaca, yang saat ini belum dijejaki sidik-sidik jari, duduk di konter, dan memesan segelas whiskey dengan es batu. Si bartender terlihat waspada pada pelanggan yang datang saat bar sedang bersiap-siap buka.

"Lagi hujan."

"... Apa?"

"Uh, hujan."

Aku kehabisan kata-kata. Dia menyajikan whiskey pesananku, dan aku mendorong gelas itu ke bibir. Aku menyiram cairan itu ke lidahku, dan ketika aku merasakan bentangan kehangatan yang manis, aku menelannya. Seolah tenggorokanku tidak memiliki kesabaran, dan harus cepat-cepat menghabiskannya sekaligus. Pria di sisi lain bar memperhatikanku. Dia pasti terbiasa melihat keadaan orang absten yang memutuskan untuk menyerah.

"Apa kau... siap?" Suara pria itu melayang-layang di pikiranku. Siap? Aku berusaha tersenyum. Aku mendorong whiskey ke bibir lagi. Seolah aku seekor serangga kelaparan. Kehangatan alkohol menjalar ke alis dan dadaku.

Aku tak perlu bersiap-siap. Aku tak punya apa pun untuk kulindungi.

Musim Dingin Tahun Lalu, Kita Berpisah / 去年の冬、きみと別れ / Last Winter, We PartedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang