○ dua, pertemuan

19 3 0
                                    

Kicauan burung menambah kesan pagi hari yang riang di hutan ini. Tampak dua pria dari suku Aidoru melangkah melewati jalan bertanah. Jalan yang dapat menampung empat pria bersaf tersebut terlihat lengang. Pria yang terlihat lebih kekar membawa tombak, sedangkan rekannya membawa busur dan tas kecil berisi anak panah. Sampai di ujung jalan, keduanya segera masuk ke pondok kayu. Letaknya yang di atas bukit dapat diperkirakan pondok ini adalah pos pengawasan.

Pria berambut merah maroon itu mengusap peluh di pelipis. Hari ini, dewa langit sungguh bersemangat. Dia menoleh, melihat rekan berambut putihnya yang terlihat baik-baik saja. Merasakan tatapan menuju padanya, pria putih itu menoleh.

"Touma, ada apa? " Tanyanya sambil tersenyum. Lihatlah, bahkan dia masih bisa tersenyum setelah menempuh perjalanan panjang di bawah teriknya matahari.

Mengabaikan fakta tentang rekannya murah senyum, Touma menggeleng. Titik putih di kejauhan menarik perhatiannya. Memicingkan mata, Touma terkejut melihat benda tersebut berlabuh di pulau mereka.

"Sougo, bukankah itu pendatang? "

Rekannya, Sougo, langsung berfokus ke arah yang Touma tuju. Di atas pasir putih, para manusia berpakaian lebih tertutup dan asing baginya bergerombol. Mereka mendengar pendatang itu berbahaya dari Tetua Minami. Mereka tak pernah bertemu pendatang sejak lahir. Kabarnya hanya Minami dan Shun sang iblis berambut putih yang pernah bertemu dengan pendatang. Minami mengatakan Shun tidak akan kembali ke suku Aidoru membuat Sougo menerka-nerka, seberapa jahatnya perlakuan pendatang hingga salah satu jagoan timur itu melupakan asalnya.

Rahasia antar keluarga inti suku Aidoru ini membuat Sougo tak suka dengan kedatangan mereka.

Melihat Sougo yang mengangguk, Touma segera bersiul. Dia memanggil burung pembawa pesan bersamaan dengan Sougo yang menulis sesuatu di kertas lontar.

Mereka harus segera melaporkan ini.

Gaku mengedarkan pandangannya. Pasir putih, hutan yang lebat dan rombongan mereka. Sepupunya sudah menghilang satu jam setelah mereka berlabuh. Menahan amarah, Gaku menghampiri pamannya.

"Paman, di mana [Name]? "

Dai yang sedang berbincang menoleh, tersenyum canggung. "Dia bilang ingin mencari tanah perkemahan bersama Riku. "

Alis pria berambut perak itu mengerut. Pemuda berambut merah yang pamannya sebut itu kembali tanpa sepupunya, melainkan temannya si rambut biru langit. Fokusnya seketika beralih untuk ikut mengatur rombongan menuju lahan perkemahan mereka setelah Riku melaporkan tujuan merekaㅡ tentu, tanpa kembalinya [Name].

Tujuan mereka lumayan jauh, mengingat Riku baru kembali satu setengah jam setelah mereka berlabuh. Rekan-rekannya menatap sekitar dengan penuh kekaguman; pikiran mereka tak jauh dari uang, Gaku yakin itu.

Akhirnya mereka sampai di tanah luas penuh rumput, cocok untuk membangun perkemahan. Letak mata air membutuhkan puluhan langkah, cukup dekat dari perkemahan mereka. Segera, para pelayan melakukan tugas dari majikannya yang berteduh. Perkemahan sukses dibangun walaupun matahari masih berada di langit.

Gaku meneguk air pemberian prajurit yang bernama Tamaki. Tadi, dia membantu mereka membangun tenda. Katanya, daripada julid mending olahraga. Riku sebagai prajurit Gaku hanya bisa manggut-manggut mengizinkan. Jadi, mereka sekarang menikmati sejuknya angin sebelum kedatangan sepupunya.

Astaga, [Name]!

"Riku, kau tahu diㅡ "

Bahu Riku menegap.

"Aku mendengar suara langkah, Gaku. Seperti segerombolan orang menuju kemari... "

Spontan mereka berdiri. Intuisi Riku tak pernah salah, tingkat kewaspadaan mereka meningkat bersamaan semakin kerasnya derap langkah terdengar. Para bangsawan sepertinya tidak mengira hal ini akan terjadi, tidak ada yang keluar dari tenda selain Dai yang berjalan ke arah mereka.

Pocahontas ; Switch Roles   【 Tsunashi Ryuunosuke 】Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang