BRAK!
Suara benturan keras memenuhi ruang pendengaran. Malam mulai beranjak. Namun perdebatan sepasang suami istri penghuni rumah itu justru kian memuncak.
"Ini semua gara – gara anak itu! Sekarang kau lihat sendiri akibatnya. Sejak dia menginjakkan kaki di rumah ini, keluarga kita tidak bisa tenang!"
"Masalah ini tidak ada hubungannya dengan Wei Ying. Kamu tidak bisa melimpahkan kesalahan padanya."
"Jiang Fengmian, buka matamu lebar – lebar! Kau pikir siapa yang merusak pertunangan Yanli dengan Zixuan? Kau pikir siapa yang merebut beasiswa A-Cheng? Keluarga kita sudah seperti ini dan kau masih terus membela anak itu? Di mana nalurimu sebagai ayah?"
"Tolong kecilkan suaramu. Anak – anak bisa dengar. Apa kau mau—"
"Biarkan saja! Aku tidak peduli! Biar saja semua orang tahu. Mungkin dengan begitu kau akan mengakui bahwa sebenarnya Wei Wuxian adalah anakmu!"
"YU ZIYUAN!!!"
Tak sanggup lagi mendengar pertengkaran yang nyaris terjadi setiap hari, siluet di balik tembok meraih rangsel di atas meja.
Dia benar – benar sudah tidak tahan. Kesabarannya sudah habis. Orang – orang di rumah ini terlalu egois. Mereka sibuk memuaskan emosi pribadi tanpa sedikit pun menghiraukan sekitar. Mereka tidak pernah sadar, bahwa ketika orang tua bertengkar, pihak yang paling tersakiti adalah anak – anak mereka sendiri.
Oleh karena itu, hari ini dia memutuskan untuk bertindak sesuai keinginannya. Dia menulikan telinga dari segala suara. Termasuk bujukan dua orang yang kini berada di depan kamarnya.
"A-Cheng, tolong buka pintunya. Aku ingin bicara."
"Jiang Cheng, buka pintu sekarang. Jiejie ingin bicara denganmu. Apa kau mendengarku?"
Sedikit keraguan menerpa. Hanya sejenak, untuk kemudian larut dalam gemuruh tak puas yang bergulung di dalam dada. Tanpa menoleh lagi ke belakang, dia genggam tasnya erat – erat dan melompat keluar dari jendela.
Langkah kaki berdebam di atas aspal dingin. Angin malam menerbangkan asa seorang pendamba kasih sayang. Untuk sekali saja, sebentar saja, dia ingin merasakan kebebasan.
Bebas dari tuntutan. Bebas dari sesak. Dan bebas dari pembanding.
Maka, dia terus berlari. Menembus gelap pekat. Berkejaran dengan waktu.
#*#*#
Jiang Cheng hanyalah seorang remaja 17 tahun yang memiliki ambisi untuk melakukan apapun dengan sempurna. Bukan karena dia seorang perfeksionis, melainkan sekedar untuk mendapat pengakuan.
Jiang Cheng merupakan anak kedua, namun posisinya selalu menjadi yang ketiga. Hal ini bermula ketika sang ayah memutuskan untuk merawat anak dari sahabatnya yang meninggal dalam sebuah kecelakaan. Anak itu bernama Wei Wuxian. Usianya setahun lebih tua dari Jiang Cheng.
Sebagai seorang bocah kecil tanpa prasangka, Jiang Cheng tentu sangat gembira kala itu. Bertambahnya anggota keluarga berarti bertambah pula teman bermain. Apalagi kedua orang tuanya jarang di rumah lantaran sibuk bekerja. Ayahnya, Jiang Fengmian, adalah seorang CEO perusahaan. Sementara ibunya, Yu Ziyuan, merupakan kepala rumah sakit di pusat kota.
Jiang Cheng memang memiliki seorang kakak perempuan yang setia menemani. Namun, tetap saja gaya bermain anak perempuan dan anak laki – laki tak bisa disamakan.
Bersama Wei Wuxian, Jiang Cheng bebas melakukan hal yang mustahil dilakukan Jiang Yanli untuknya. Seperti berlarian mengejar layangan putus, memanjat pohon, bermain perang – perangan, bahkan bergulat di tengah hujan. Dan setelah puas berpetualang, mereka akan disambut oleh masakan lezat hasil kreasi tangan terampil Jiang Yanli.
YOU ARE READING
Learn From Me
General FictionKetika memutuskan untuk meninggalkan rumah, Jiang Cheng sama sekali tak menyangka bahwa dia akan bertemu dengan seseorang yang sanggup mengubah akhir dari jalan hidupnya.