Waktu terus bergulir. Rintik hujan pagi buta serupa orkestra pada genangan di ceruk jalan. Kabut pekat semakin naik. Bumi menggigil dalam selubung putih. Sementara langit muram tanpa kerlip bintang.
Satu jam telah berlalu sejak Jiang Cheng memutuskan berdamai dengan XiChen. Dia berusaha melupakan perselisihan kecil mereka. Termasuk pelukan yang sempat membuat gempar hati remaja berlidah tajam itu. Jika memang mereka harus terkurung bersama, paling tidak dia wajib membangun suasana kondusif. Benar, kan?
Kini Jiang Cheng duduk diam di sofa panjang, mengamati Xichen yang terpekur nyaman di depan easel. Jemari langsing pemuda itu menari elegan. Seolah tengah berbagi kisah lewat kuas dan kanvas.
"Apa kau punya kakak, WanYin?" seperti biasa, XiChen menjadi orang pertama yang bertanya.
Dan seperti biasa pula, Jiang Cheng menjawab singkat, "Ya, aku punya."
"Laki – laki atau perempuan?" tanya XiChen lagi.
"Keduanya."
"Seperti apa kakak pertamamu?"
"Dia perempuan yang sangat baik, cantik, dan terpelajar. Dia pandai memasak, merajut, dan bernyanyi. Tutur katanya sopan. Sikapnya lemah lembut. Suaranya merdu. Dia seperti dewi yang turun dari kayangan. Kau akan jatuh cinta begitu melihatnya."
Meski tidak saling bertatapan, XiChen tahu bukan sosok itu yang secara tak langsung menyebabkan Jiang Cheng sampai ke sini. Dia sangat antusias bercerita. Penuh kekaguman dan kebanggaan. Tak ada kebencian sedikit pun. Berarti permasalahan terletak pada kakak laki – laki Jiang Cheng.
"Bagaimana dengan kakak keduamu?"
Butuh beberapa menit bagi Jiang Cheng untuk merespon. Wajahnya tampak seperti terpilin. Kerutan kecil muncul di keningnya. Pertanda bahwa dia sedang berpikir keras.
"Apa dia yang selalu dibandingkan denganmu, WanYin?"
Sejujurnya, tanpa bertanya pun XiChen sudah mendapat jawaban. Pemuda itu sengaja memancing agar Jiang Cheng mau bicara. Meluapkan ketidakpuasan yang berpotensi merusak hubungan antara dia dan kakaknya.
"Dia..." suara Jiang Cheng tercekat. "Dia periang dan ceria" lanjutnya susah payah.
"Hanya itu?"
"Dia pintar. Berprestasi."
"Lalu?"
"Dia punya banyak teman."
"Ada lagi?"
Jiang Cheng mulai keki, "Apa perlu kukatakan bahwa dia juga berisik, pembuat onar, sulit diatur, selalu bangun kesiangan, sering terlambat, dan gemar menggoda perempuan?" suaranya agak meninggi karena emosi.
XiChen tak terpengaruh, tetap menanggapi dengan sabar, "Apa dia baik padamu?"
"Tentu saja dia baik padaku. Kalau tidak, sudah sejak lama kutendang dia dari rumahku."
Jiang Cheng bersungut – sungut. Dia kesal bukan main. Kenapa, sih, XiChen harus bertransformasi menjadi orang paling kepo sedunia? Dia bukan petugas sensus, kan? Lantas mengapa suka sekali bertanya?
Berkebalikan dengan reaksi ganas Jiang Cheng, XiChen malah tersenyum. Dia menolehkan kepala, hanya untuk mendapati sosok di belakangnya membuang muka. Lebih tertarik pada tembok daripada lawan bicara.
"Kedua kakakmu baik padamu. Kau pasti menerima kasih sayang berlipat ganda. Beruntung sekali."
Apa yang dikatakan XiChen tidak sepenuhnya salah. Karena mau tidak mau, Jiang Cheng harus mengakui bahwa dialah si bungsu di rumah keluarga Jiang. Kasih sayang Jiang Yanli tak perlu dipertanyakan. Begitu juga Wei Wuxian. Meski bukan saudara sedarah, Jiang Cheng bisa merasakan perhatian tulus darinya.
YOU ARE READING
Learn From Me
General FictionKetika memutuskan untuk meninggalkan rumah, Jiang Cheng sama sekali tak menyangka bahwa dia akan bertemu dengan seseorang yang sanggup mengubah akhir dari jalan hidupnya.