Monster Bernama Manusia

10 3 0
                                    

Api menyala. Dengan sisa tenaga, Sania melangkah mengambil panci dan mengisinya dengan air di wastafel. Lalu menyimpannya di atas kompor yang sudah dinyalakan. Dia pun berjalan, hendak menunggu air hingga matang di kamarnya, seraya berselancar di sosial media.

Satu per-satu, Sania membuka laman sosial medianya. Tak terasa, lima belas menit dia membiarkan air yang dipasaknya. Dia menepuk dahinya. "Ya ampun, aku lupa, aku kan lagi masak air ya," ucapnya, lalu menyimpan ponselnya di atas kasur dan berjalan menuju dapur.

Langkahnya terhenti, dia menemukan seorang perempuan, yang sangat dia kenal, sedang berdiri di depan kompor. Sania memanggil perempuan itu. "Nara, kok kamu bisa ada di sini?"

Nara berbalik, wajahnya pucat, kegelisahan tergurat di wajahnya yang bulat. Napasnya cepat, hembusan napasnya sampai terdengar di telinga Sania.

"Ada apa, Nara? Kamu kenapa?" tanya Sania heran. Padahal, beberapa jam yang lalu Sania baru pulang dari rumahnya Nara. Dan aneh sekali, Nara bisa ada di sini tiba-tiba.

Sania memperhatikan tangan kanan Nara yang diam-diam mematikan kompor. Mulutnya terbuka. "A-aku minta maaf, Sania. Tapi malam ini, yang muncul adalah namaku. Dan menyuruhku untuk melakukan ini kepadamu," resah Nara, wajahnya semakin mengguratkan ketakutan.

Sania bingung. Dia tidak mengerti maksud Nara. "Apa maksudmu, Nara? Melakukan apa?"

Mata Nara terlihat ketakutan. Urat-urat di lehernya terlihat, napasnya semakin cepat. Dia menggeleng, lalu meracau, "Ma-maafkan aku, Sania. Aku tak mau mati sekarang."

Byurrrrrr!!!!

"Aaarrgghhhhhhh....!!!!"

Nara menyemburkan air panas itu ke tubuh Sania. Air yang bersuhu lebih dari 35°C itu dengan cepat membuat kulit Sania terkelupas. Bentolan kecil bermunculan di kulitnya, lalu meletup dan mengeluarkan darah dan nanah.

Tubuh Sania ambruk ke lantai. Nyawanya meregang, tubuhnya tak tahan dengan air sepanas itu. Uap-uap air panas itu bermunculan dari tubuhnya. Bahkan, suhu panasnya terasa oleh tubuh Nara. Mata Sania merah melotot, seakan-akan sebentar lagi akan lepas. Nara meringis, dia semakin ketakutan. Karena takut akan ada yang melihat perbuatannya, dia pun segera berlari. Berlari sejauh mungkin. Bersembunyi.

°'°

"Nah, anak-anak. Seperti tahun-tahun sebelumnya, sekolah kita mengadakan program pertukaran belajar. Dan tahun ini, hanya ada satu siswa yang lolos mengikuti program ini. Ayo, perkenalkan namamu," ujar Pak Tisna.

Siswa laki-laki di sebelah Pak Tisna tersenyum tipis. Menghadirkan lesung pipit di pipi kirinya. "Hai, nama saya Alfi Reanoafin," lirihnya sedikit gugup.

Siswa-siswi di depan Alfi menertawai dirinya--sebagian. Alfi menunduk, tentu saja dia merasa berbeda dengan siswa-siswi di sekolah ini. Dia hanya siswa yang mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar. Hanya.

"Ya, Alfi, duduklah, kita akan mulai pembelajaran hari ini," lanjut Pak Tisna. Alfi mengangguk, dia pun berjalan ke bangku belakang, yang hanya bangku itulah yang kosong.

Pembelajaran pun di mulai. Alfi berusaha beradaptasi dengan sekolah barunya. Meskipun dia tak mempunya kenalan siapa-siapa di sekolah ini, tapi setidaknya ada Mang Yayan, satpam sekolah ini yang dulu tetangganya di Sumatra.

Istirahat tiba. Wendi, yang duduk di depan bangku Alfi berbalik, dan mengeluarkan sebuah ponsel. "Hallo, gaes. Hari ini kelasku kedatangan murid baru lho," cemoohnya di depan ponselnya yang sedang memulai siaran langsung di Instagram. Para siswa yang masih berada di kelas memperhatikan mereka, seraya tertawa melihat sikap Alfi yang menurutnya kuno.

Alfi segera menunduk. Dia tak suka menjadi sorotan orang-orang. "Hei, Alfi. Kenapa nunduk, gak usah malu-malu, beruntung elo bisa masuk di live instagram gue, jarang loh yang kayak gitu," goda Wendi seraya tertawa. "Tuh tuh tuh, fans gue mau kenalan sama lo katanya," celoteh Wendi, memaksa Alfi untuk menunjukkan wajahnya.

"Wendi, pergi sana!" Wendi menoleh, seorang perempuan tengah berdiri di samping bangku Alfi. Wendi menelan ludah, lalu berdiri. Dia pun pergi dari sana sambil bersungut-sungut.

Alfi menoleh ke arah perempuan itu. Dia duduk di sebelah Alfi. "Gue Arindra," ucap perempuan yang bernama Arindra itu.

Alfi menunduk dan terdiam. Sebenarnya, lebih merasa heran, kenapa Wendi bisa langsung menuruti perintah Arindra. Arindra tertawa. "Gue tau apa pikiran lo sekarang. Yaps, memang benar, Wendi takut sama gue, tapi bukan karena gue, tapi karena kakak gue," jelasnya.

Alfi menoleh ke arah Arindra lagi. "Kenapa?" Dia pun memberanikan diri untuk bertanya kepada Arindra.

"Mmm.... Ya, seperti kakak laki-laki pada umumnya, gak mau adiknya diganggu orang lain, sekalipun itu sahabat mereka sendiri," papar Arindra tanpa canggung.

"Jadi, maksud lo, Wendi itu sahabat nya kakak lo?"

Arindra mengangguk. "Iya. Lo liat kan cowok yang duduk di bangku depan tadi, yang sama cewek berambut panjang sepunggung?" Alfi mengangguk pelan. "Itu abang gue."

Alfi ingat sekarang. Ingatannya tak bisa diragukan. Itulah kenapa dia bisa lolos mengikuti program pertukaran pelajar ini. Tentunya karena kecerdasan dan daya ingat Alfi yang tinggi.

"Ya .... Lumayan mirip lah ya..." canda Alfi. Arindra tertawa. Sebenarnya, candaan Alfi terdengar receh, tapi dengan polosnya Arindra bisa tertawa. Alfi ikut tertawa. "Kenapa malah ketawa?"

"Aneh aja, baru kali ini ada yang bilang gitu," tandas Arindra seraya tertawa.

"Biasanya suka bilang apa emangnya?" tanya Alfi lagi. Memancing Arindra untuk bercerita lagi. Entah kenapa, ketika Arindra berbicara, aura berbeda darinya menjadi khasnya tersendiri.

Arindra terdiam sebentar. Meredam tawanya. Alfi ikut terdiam, alih-alih takut ucapannya membuat Arindra tersinggung. "Gak banyak sih, tapi mereka bilang, gue lebih cantik daripada abang gue," lanjut Arindra sambil tersenyum.

Alfi terdiam sebentar. Lalu tertawa, Arindra ikut tertawa. "Oke, lo receh juga yaa..." ucapnya di sela tawanya. Arindra tertawa lagi mendengar ucapan Alfi. Mereka pun tertawa bersama-sama.

Seseorang di balik jendela di belakang mereka memperhatikan Alfi dan Arindra. "Tuh kan, bener kan gue bilang, anak baru itu lancang banget, dia berani banget ngegoda adik lo," sosor Wendi, berusaha menjadi provokator.

"Tapi gue seneng, Rara bisa ketawa lagi," ucap Gilang sambil memperhatikan Alfi dan Arindra yang sedang tertawa.

Wendi mendesah. "Ya, gak sama anak kampungan itu juga lah, Lang. Gimana ceritanya, anak keturunan darah biru, bergaul sama anak yang kampungan itu, gak bisa dibiarin lah," dengus Wendi lagi. Berusaha menghasut Gilang.

Gilang membenarkan ucapan Wendi. Dia mengangguk. "Lo bener, kita harus beri anak itu pelajaran. Berani banget dia deketin adik gue," cecar Gilang, menyiratkan ancaman di dalam ucapannya.

Wendi tersenyum miring. "Gue punya ide bagus, bro!"

'°'

Mata Alfi terbuka. Rasa pening di kepalanya masih terasa. Dia melihat wajah orang-orang di depannya dengan samar. Lalu dengan pelan, cahaya matahari membantunya melihat.

Alfi terkejut. Gilang, Wendi, dan seorang perempuan berdiri di depannya. "Ka-kalian ngapain?"

Gilang, Wendi, dan Tarina--kekasih Gilang--tersenyum. "Selamat datang, di rumah mitologi kota Jakarta," seru Tarina sambil tersenyum kecut.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Blacklist RedemptionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang