Reyna bertatih-tatih memasuki rumah. Hari ini merupakan hari terakhir ia menajani hukuman selama tujuh hari lamanya. Ia benar-benar menikmati obrolan bersama penumpang bus, terlebih obrolan singkat namun paling mengesankan bersama orang yang hadir di hari terakhir hukumannya.
ia sudah menguras banyak tenagannya di momen perkelahian bersama boy, namun entah kenapa baru sekarang ia merasa badannya lemas. Ia pun memilih untuk langsung pergi ke kamar dan membatalkan paparan keadaannya di hadapan orantuanya. Ia terpaksa menyiakan kesempatannya kali ini. padahal ia ingin sekali bertemu lagi denga Rio.
Ia menghentakkan badan di atas spring bed. Sangat nikmat, terlebih posisinya yang kini memeluk bantal guling. Ia tak bisa tidur lantaran fikirannyaa mulai menjelajah kembali ke suasana dalam bus tadi. gelagat Rio membuatnya tergelak. Entak kenapa ia tak bisa membayangkan wajah Rio yang tengah tersenyum barang sedetik pun. argh! ia bergerak tak keruan berusaha menghapus bayangan gelagat itu, namun masih saja tak berpaling. Ia menepuk-nepuk kepalanya sembari tersenyum-manyum.
Matanya tiba-tiba membelak begitu teringat jaket yang masih ada dalam tasa ranselnya. Ia kembali menepuk jidatnya merutuki diri yang kini menjadi seorang pelupa. Sialaan gara-gara loe gue jadi pelupa gini tegasnya melototi jaket abu-abu itu lantas ia kembali tersenyum
"auww" kesakitan di dua lututnya menyadarkannya dari lamunan.
Ia mulai teringat latar belakang luka di dua lututnya beriringan dengan orang yang berperan jadi saingannya waktu itu. Boy. Ia memicing mencoba untuk mengingat sekilas tentang cerita sinta mengenai Boy, sebelum akhirnya ia teringat bahwa perhatian dan keramahan Boy yang membuat sinta jatuh hati.
Ia akhir-akhir ini bertemu dengan orang yang sama dengan perhatian yang berbeda. Ia mulai ternganga kaget begitu menduga kalau perhatian Rio hanyalah di awal, dan sebagai penutupan, ia akan mengalami hal yang sama seperti sinta dan kiren, bahkan lebih dari itu.
Ia merasa salut pada dua sahabatnya yang entah berapa kali menajdi korban pacar mereka, namun masih saja sanggup untuk pacaran. Cinta itu memang buta, tapi tak seharusnya buta pada orang yang salah.
Akhirnya ia bisa menghapus bayangan rio lantas matanya memejam perlahan mulai tak sadarkan diri.
***
Reyna menghampiri meja makan lantas langsung berkutat dalam sarapan tanpa peduli ketidakhadiran orangtuannya yang biasanya karena mendadak pergi ke luar kota. Ia sama sekali tidak mempermasalahkan orangtuanya yang akhir-akhir ini tidak pernah lagi mengabarinya pergi ke tempat manapun yang bersangkutan dengan perihal bisnis, lantaran terlalu sering, sehingga membuatnya menganggap itu merupakan hal yang biasa saja.Namun ia menyesal tidak bertemu dengan orangtuanya kemarin lantaran ia tak bisa memperlihatkan keadaannya yang tampak baru siap tawuran. Meski ia benci dengan Rio, tapi tetap ingin pulang-pergi dengan bus lantaran ia ingin lagi berada dalam keramaian.
Sarapan selesai, ia langsung menuju pak udin-supir pribadinya di pekarangan rumah.
"Mari non!" ujar pak udin menunduk lantas membuka pintu mobil
"Papa kapan pulang, sih?"
"Kalau bukan besok, lusa non"
Besok, luka di lutut Reyna akan mengering, terlebih lusa, luka itu mungkin akan menjadi bekas. Seakan taka da lagi harapan. Reyna menyebikkan bibir kesal lantas masuk ke dalam mobil.
Reyna bangun dari sandaran lantaran ingin menoleh lebih jelas keadaan halte yang kini tampak ramai sampai ia harus berbalik badan lantaran mobilnya yang terus melaju. Sangat berat untuk menerima kondisi dirinya yang merasa kesepian dalam mobil.
"Pak udin aku naik bus aja" pinta Reyna begitu usai kembali menghentakkan pundaknya di sandaran dengan kasar
"Waahhh gak boleh non, nanti kena marah saya sama bapak non, lagian haltenya kan uda lewat"
"Bukannya non paling gak suka naik bus?" sambung pak udin bertukas begitu teringat cerita pak Denny-papanya Reyna tentang anaknya.
Reyna terbelalak nyaris ketahuan kalau ia sebenarnya suka naik bus.
"Sebenarnya bukan pengen naik bus sih pak, cuman kemarin tu ada yang ketinggalan di halte" kilahnya mengelak lantas diam-diam mendengus lega
"Laah jadi gimana ni non?" panik pak udin merasa sedikit menyesal menolak permintaan anak majikannya yang ternyata ada keperluan mendadak.
"Gausah lagi deh pak. Lagian barangnya uda diambil orang kali" ketus Reyna kesal.
Pak udin mengangguk mematuhi lantas kembali memberikan perhatian penuh ke depan.
Padahal Reyna tinggal melangkah saja lantaran pak udin kini berpihak sepenuhnya pada keputusannya, namun ia memutuskan untuk membatalinya lantaran ia kembali mencerna bahwa niatnya yang ingin kabur dari pak udin akan membuahkan kecuriagaan, bahkan tak lama kemudian, kecuriagaan itu akan menjalar ke papa. Ia pastinya tak ingin karena rencananya yang ceroboh, ia tak bisa lagi merasakan hiruk-pikuk suasana dalam bus.
YOU ARE READING
Terjebak dalam hukuman
Novela Juvenil"Gue masih dapat hukuman dari papa gue," teriak Reyna kegirangan Sinta menggeleng-geleng masih tak percaya dengan kesenangan sahabatnya itu yang sangat bertolak belakang dengan kesenangan orang pada umumnya, termasuk dirinya yang lebih suka pulang...