Dibandingkan bercerita, aku lebih senang diam menjadi penikmat saja.
Kata ibuku, sejak kecil aku pendiam, tak banyak bicara, ketika ditanya pun menjawab seadanya. Aku juga tidak tahu bagaimana jelasnya, sebab kalian pun tahu jikalau memorie umur satu dua atau empat tahun hanya beberapa memori saja yang bisa kita ingat dengan pasti. Hal itu mungkin juga berpengaruh bagiku sekarang, saat di kelas pun aku tak banyak bicara, saat teman sekelasku berbagi cerita mereka, aku hanya diam, tersenyum menanggapi, mengangguk mengiyakan lalu menggeleng saat ditanya apa cerita yang ingin aku bagikan.Masa SMA-ku dipenuhi banyak kejadian yang menurutku tak begitu kuharapkan. Walau menurut kedua orangtuaku ini adalah hal baik yang memang perlu aku ciptakan. Akan tetapi bagiku ini malah menguras tenagaku, meremas perasaanku, dan membuatku tersadar, sepertinya aku ini memiliki sifat introvert.
Entah kenapa SMA ini aku selalu dikerumuni banyak orang, termasuk cewek-cewek populer di sekolah.
"Ke kantin bareng, yuk!" ajak salah satu dari mereka yang sebenarnya aku tidak terlalu akrab dengannya. Ah, aku memang tidak pernah akrab dengan sesiapa.
"Eh, tapi aku bawa bekal."
"Enggak papa, ayok!" Dia menarik tangan kananku, sedangkan tangan kiriku membawa tempat makan berisi roti berisi sayur dan beberapa buah yang ibu siapkan untukku.
Sesampainya kantin, aku diajak duduk di bangku dekat jendela olehnya yang tentu saja bersama dengan tiga teman dekatnya yang sama-sama populer.
Aku tersenyum kikuk, lalu membuka tempat makanku, tapi belum juga memegang makananku. Aku merasa begitu ini sangat berat untuk kulakukan, sebab biasanya aku sendirian.
"Ayo dimakan, Dan," ucapnya lagi menyebut namaku. Ya, biasanya teman-temanku memanggilku dengan "Dan" yang diambil dari nama depanku, Daaniyatan.
"Ahiya, Karen." Aku mengambil sepotong lalu segera menggigitnya pelan.
Sedangkan mereka memesan bakso dan es teh.
Karen, gadis berambut sepunggung, dia berponi, dengan mata sipit, hidung sedikit mancung dan bibir pink mungilnya. Pantas jika dia menjadi Perimadona. Sedangkan tiga temannya adalah Viona, Meisya, dan Key. Ketiganya sama-sama cantik, kulit putih, kecuali Key yang memiliki warna kulit lebih gelap.
"Apakah untuk mendapatkan tubuh se-proposional kamu itu dengan mengonsumsi makanan seperti itu, Dan?" tanya Viona tiba-tiba.
"Eh?" Entah kenapa aku hanya bisa mengeluarkan satu kata itu.
"Iya, Dan. Aku penasaran gimana gaya hidup kamu, kok badan kamu bisa bagus, kulitmu juga terlihat sehat, loh. Bagi tips dong ... aku gak kuat kalau harus setiap Minggu diajak spa dan lainnya sama si Karen, haha." Key tak mau kalah.
"Ah, apaan?" Karen melirik Key lalu tertawa.
Sedangkan aku hanya tersenyum. Bingung harus menanggapi mereka dengan apa.
"Jadi? Ada tips?"
Aku diam sejenak, "Aku hanya diminta untuk menjaga makanan yang aku makan saja, sih. Ehm ... ngomong-ngomong, tidak baik makan makanan panas dengan minuman dingin," jelasku lalu menunjuk makanan yang sedang mereka makan.
Mereka tergelak bersama, "Ah, dia benar, Keren. Gimana, sih, kamu tuh!" Meisya yang dari tadi tidak angkat bicara tertawa sambil menyenggol Keren yang berada di sisinya dengan sikunya.
"Okey, besok kita nggak makan bakso, deh. Tau kalau nggak kita jangan minum es teh!"
"Ah, aku nggak bisa nggak minum es teh. Badan udah kek mo meleleh," gerutu Viona.
"Kalau aku mah, yang penting kenyang."
Hahaha ... mereka kembali tergelak.
Semenjak aku diajak makan oleh geng Keren, beberapa laki-laki mulai berani mendekatiku. Menanyakan pekerjaan rumahku, menanyakan tugas kelompokku, atau sekedar menanyakan hal konyol dan berbasa-basi. Tidak perlu ditanya, aku masihlah Daaniyatan yang tidak banyak bicara.
"Eh, kamarmu dekat dengan jalan kecil keluar gang perumahanmu, ya?" tanya Haikal yang tempat duduknya berada di ujung kelas dekat pintu keluar belakang. Jauh dari tempat dudukku.
Aku diam, menautkan kedua alisku, lalu mengangguk ragu. Dalam hatiku, kenapa dia bisa mengetahui hal itu?
"Kemarin aku melihatmu sedang belajar di dekat jendela. Tumben malam-malam tiraimu tidak ditutup, sebab biasanya ditutup. Jadinya aku bisa ngeliat kamu, tambah cantik kalau malam," ucapnya yang melirik di akhir kalimat.
Aku diam, bulu kudukku meremang, entahlah aku malah merasakan kekhawatiran yang mendalam dan aku tidak menjawab ucapan Haikal. Bahkan aku mengabaikan Keren yang menanyakan bagaimana desaign kamarku.
Kejadian hari itu cukup untukku mengatakan pada kedua orangtuaku agar kaca kamarku diganti kaca film yang mana dari luar hanyalah gelap, sedangkan dari dalam aku tetap bisa menikmati langit.
Malam dimana Haikal melihatku, adalah malam ketika aku merasakan kebahagiaan mendalam dapat memandang langit penuh bintang dari kamarku sambil belajar. Akan tetapi siapa sangka ternyata hal itu membuat Haikal mengatakan hal seperti itu. Bagiku itu malah seperti pelecehan, walau aku tahu niat Haikal tidak begitu. Ah, semoga memang tidak begitu.
.Yuk, berikan vote dan komennya, yah. Terimakasih. Ohiyaaaa
Update tidak dua hari sekali, yah. Gantian sama Hara. Hehe.
Happy read.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aksa
Teen FictionOrang lain berfikir, digandrungi oleh banyak orang adalah suatu hal yang begitu menyenangkan dan didambakan. Akan tetapi hal itu tidaklah berlaku untukku. Aku gadis biasa, diberi lebih pada fisikku yang bisa dibilang tak memiliki celah untuk dicela...