Matahari mulai meninggi, pekerjaan rumah telah selesai. Kini saatnya duduk santai bersama dengan keluarga. Kubawa ponsel di genggamanku, siapa tau ada kabar yang aku tunggu.
Ayah dan bunda sedang asik mengobrol, aku ikut menyimaknya. Mengobrolkan ini dan itu terkadang juga ada hal yang lucu hingga kami tertawa.
Keluarga orang awam, tidak terlalu mengenal agama. Yang mereka tau hanya salat, baca Al Quran dan sedekah. Majelis ilmupun jarang mereka kunjungi, kecuali waktu maulid Nabi di majid dekat rumah. Oleh sebab itu, tidak jarang aku menyetelkan tausiyah-tausyiah dari Ustadz-Ustadz ternama yang di kenal oleh masyarakat.
Ke awaman kedua orang tuaku, membuatu harus terkekang ingin belajar agama. Tapi bagaimanapun aku tetap mencintai mereka.
***
Waktu mulai sore, adzan Asar pun berkumandang. Segera kulaksanakan salat empat rakaat tersebut.Setelah selesai salat, kupanjatkan doa memohon hidayah untuk keluargaku. Tidak lupa, doa kedua orang tua, aku panjatkan.
Kulangkahkan kaki menuju ruang tamu di mana Ayah dan Bunda sedang duduk bersama.
Belum lama aku duduk, ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk. Kulihat nama pengirim pesan, Kang Robi. Dia adalah Ustadz yang selalu mengajakku untuk berdakwah di jalan Allah. Biarpun dia tau bagaimana latar belakang keluargaku, tetapi dia tidak putus asa.
{Mbak, aku tunggu di pagar samping rumah. Jangan lupa izin sama orang tua.} Begitulah isi pesannya.
Biasanya aku selalu pergi tanpa izin, karena orang tua selalu melarangku keluar berdakwah. Biarpun izin, aku selalu mencari alasan lain. Seperti izin ingin menginap di rumah salah satu temanku. Tapi kali ini aku ingin jujur dengan mereka, tidak ingin terus menumpuk dosa karena berbohong.
Kubawa tas yang biasa aku gunakan, kurapihkan pula hijabku. Parfum? Maaf, wanita lebih baik keluar rumah tanpa pakai parfum. Karena takut menimbulkan fitnah dan syahwat.
Aku duduk menghadap ayah dan bunda. Tangan ini mulai dingin, aku grogi setengah mati. Aku ini tidak bisa menerima penolakan, apalagi dalam hal yang aku suka.
'Bismillah,' ucapku dalam hati.
"Yah, Bun, Dina izin mau mengulang ngaji anak-anak di desa sebelah," ucapku dengan mantap.
Aku sudah tau respon apa yang akan aku terima, tentu saja larangan dari mereka.
"Mau ayah bilang berapa kali? Ayah nggak suka kamu mengurusi anak orang. Mending di rumah duduk santai nggak kepanasan," tutur ayahku.
Bundaku tidak mau kalah, beliau turut serta mengomeliku.
"Sudah, di rumah saja, Nduk. Di desa sebelah itu nggak ada yang kamu kenal, nanti kalo kamu kenapa-kenapa, gimana?" begitulah omelnya.
Aku yang egois, tidak mau mengalah. Tetap kulangkahkan kaki keluar rumah, tentu saja tanpa sepengetahuan keluargaku. Biarlah jika ini dosa, yang terpenting adalah pendidikan agama untuk anak-anak di desa sebelah. Aku tidak ingin mereka menjadi buta huruf Quran.
Sebelumnya aku telah menelpon teman sekaligus sahabatku untuk menemaniku ke desa sebelah.
Aku menunggunya di luar gerbang. Tidak beberapa lama, Atun datang dan menghapiriku. Dia adalah sahabat sekaligus teman kaburku.
"Kang Robi sudah datang?" tanya Atun kepadaku.
"Sudah, ada di pagar samping," balasku.
Kami berjalan cepat, mencari keberadaan mobil milik Kang Robi. Tidak butuh waktu lama, kami telah menemukan mobil tersebut.
Mobil L-300 telah terparkir di gerbang samping rumahku. Kang Robi bersama dengan Kang Abid sedang menunggu kami.
"Sudah izin?" tanya Kang Robi kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
RandomIni adalah kumpulan cerpen yang setiap partnya berganti-ganti cerita.