Gadis itu menghela napas berat setelah melihat ponselnya untuk kesekian kali. Gurat-gurat gundah terlukis jelas di wajah beningnya. Detik ketika terdengar lantunan musik berbunyi gaduh, dia langsung mematikan ponselnya lalu meletakkan di bawah bantal.
"Sepertinya merajut hari ini lebih berat dari kemarin, ya?" Mayang, gadis gundah itu terkejut lalu tergagap menanggapiku.
"Ng-nggak kok, Eyang. Mayang cuma, cuma itu ... cuma ...."
Kuambil jarum rajut dari tangan gadis bermata cokelat itu lalu meletakkannya di ranjang.
"Merajut itu menciptakan seni, Sayang. Seni adalah cerminan hati dan perasaan pekerjanya. Jika mood sedang buruk, sepertinya kita ganti merajut kaktus saja ya daripada mawar?"
"Ah, Eyang. Jangan gitu." Mayang mendesah manja sambil bergelayut di lenganku.
"Kalau ada masalah, diselesaikan. Jangan lari." Perkataanku membuat Mayang merenggut.
"Mayang nggak mau ketemu masalahnya dulu soalnya nyebelin," rengeknya sambil meletakkan kepala di pundakku.
"Raja?" tanyaku membuat gadis itu mengangguk. "Kalian kenapa lagi? Bertengkar terus kayak anak kecil. Udah pada gede kan? Mau dua puluh lho."
"Raja mau ngelamar aku, Yang. Aku bingung." Kata-kata Mayang membuatku terperanjat. Bukannya aku tak setuju pernikahan muda, bukan pula aku tak suka kepada Raja. Ah, pemuda yang kelihatan jahil dan iseng itu sebenarnya lebih dewasa dan matang dari yang ditampakkan. Aku hanya belum siap kehilangan cucu tunggalku, ditambah hubungan Raja dan Mayang yang begitu akrab sedari kecil membuatku mengenang masa silam.
"Eyang." Mayang menggoyang pelan tanganku, membawaku kembali ke masa kini. "Mayang udah bilang maunya sahabatan aja kayak sekarang tapi Raja nggak mau. Dia bilang mau ketemu Eyang dan Mama."
Aku menahan senyum lalu membelai puncak kepala Mayang. Berani sekali Raja, anak itu benar-benar mirip dengannya. Seperti reinkarnasinya saja.
"Emang kenapa Mayang nggak mau? Nggak suka sama Raja atau emang belum kepikiran nikah?"
Mayang mengembuskan napas sebelum berkata, "Bukan gitu tapi kami kan udah berteman sejak lama. Persahabatan yang dibawa ke hubungan cinta itu rentan kan, Yang? Kalau sampai kelak kami bertengkar hebat, bukan hanya hubungan pernikahan saja yang dipertaruhkan tapi juga hubungan persahabatan. Mayang nggak mau kehilangan Raja dengan cara kayak gitu." Jawaban yang kurang lebih sama. Ya Tuhan, aku tak bisa menyembunyikan senyum lebar.
"Memangnya kamu siap kalau suatu saat Raja nggak bisa selalu ada buat kamu karena udah nikah dan sibuk sendiri?" tanyaku pelan sambil memandang wajah Mayang yang langsung terlihat bimbang.
"Sayang, mempertahankan hubungan persahabatan lelaki perempuan itu memang sulit. Selalu ada hati yang bermain di sana. Pastikan dengan benar status Raja di hatimu supaya kalian bisa menjaga hubungan itu baik-baik saja." Gadis muda di sampingku mengangguk resah sambil kembali bersandar di pundakku.
"Kalau Eyang jadi Mayang, bakal gimana?"
"Seorang gadis di masa lalu pernah bimbang sepertimu, Sayang. Dilamar dadakan oleh sahabatnya sendiri."
"Beneran, Eyang? Lalu dia gimana? Terima atau tolak? Trus hubungan mereka selanjutnya gimana?" Mayang bertanya antusias sambil menatapku bersemangat.
"Ya, dia terima lamaran sahabatnya dan mereka pun menikah," jelasku lembut sambil menyelipkan anak rambut Mayang yang menyentuh pipinya.
"Wah, lalu hubungan pernikahan mereka baik-baik saja?"
"Kamu mau dengerin kisah mereka, Mayang?
"Tentu, Eyang. Mau banget! Mayang selalu suka kalau Eyang ngedongeng!"
"Tapi ini bukan dongeng, Sayang. Ini kisah orang-orang nyata yang memang benar-benar hidup di dunia."
🍃🍃🍃
"Putus lagi?" Aku berdecak heran saat Bagas menceritakan tragedi yang dialaminya hari ini dengan santai, diputuskan Tania, cewek seleb kampus saat motornya mogok di lampu merah.
"Ya, mau gimana lagi? Gue kan bukan tipe cowok penyembah wanita. Dia yang nembak, dia yang mutusin, it's fine!" sahut pemuda gondrong itu santai sambil ngemil kuaci yang direbutnya dari tanganku.
"Ya kamu kejar kek bujuk kek! Jadi cowok kok nggak peka gitu!" sungutku sambil merampas kembali cemilanku yang ternyata hanya tinggal bungkusnya.
"Ye, ngapain! Toh besok juga udah ada ganti!" Bagas merenggangkan kedua tangannya lalu merebahkan badan dengan cuek di atas rumput taman kampus, membuat beberapa mahasiswi baru berbisik-bisik sambil mencuri pandang.
Kadang aku heran, kenapa sih Bagas yang slengean ini selalu bisa menarik perhatian para mahasiswi meski pamor jeleknya sudah menguar ke mana-mana. Sudahlah cuek, sering gonta ganti cewek, tongkrongannya motor butut pula. Sepertinya Bagas punya aura kuat yang sulit diabaikan begitu saja oleh mereka. Aura yang tak terlihat olehku saking seringnya Bagas bertingkah konyol dan tak terdefinisikan selama belasan tahun kami bersahabat. Bulan ini saja, Tania adalah gadis keempat yang dikencaninya. Rata-rata mereka putus karena Bagas bosan dikekang atau ceweknya yang ogah diajak kencan seadanya.
"Sepertinya emang nggak ada!" ucap Bagas tiba-tiba sembari duduk dari rebahannya. "Nggak ada satupun cewek yang sanggup terima gue, cowok dengan motor butut dan suka ngadat itu apa adanya!" Kata-kata Bagas kusambut tawa. Jelas ajalah, mana ada cewek yang mau diajak susah mulu.
"Kecuali satu orang!" Bagas bergumam lirih sambil merampas buku yang sedang kubaca. Mulai menyebalkan nih anak.
"Emang siapa dia? Belum ketemu juga setelah pacar keenam puluh tujuh?" tanyaku sambil membalas tatapannya.
"Eit ngitung ternyata ya!" Bagas tertawa, memamerkan gigi taringnya. "tapi salah, Tania itu urutan keenam puluh sembilan! Mau tahu siapa orangnya?" Bagas mendekatkan wajahnya ke arahku sampai aku bisa merasakan hangat napasnya di pipiku.
"Siapa?" tantangku.
"Rima Melati Adista. Lo. Cuma lo satu-satunya cewek yang pasti bakal menerima gue apa adanya kan?" Entah kenapa, detik selanjutnya aku merasa waktu seolah berhenti, lalu aku bisa menatap Bagas sedekat dan selama yang belum pernah kulakukan.
Bagas, pemuda itu memiliki sepasang mata cokelat yang baru kusadari, alis tebal yang hitam, hidung bangir yang kecil, sepasang bibir tipis yang sesekali disapa rokok, juga lesung pipi menyebalkan yang membuatnya terlihat menggemaskan saat tersenyum begini.
"Cuma lo satu-satunya." Tunggu dulu, kenapa kata-kata gombal Bagas yang khatam kudengar setiap hari untuk para ceweknya kini terasa berbeda saat ditujukan untukku. Kenapa saat ini tatapan Bagas terlihat berbeda dan sendu?
"Bagaskara Bayu Prastya!" Seruan centil itu memanjangkan jarak kami dan membuat Bagas menoleh lalu beranjak pergi. Meninggalkanku yang entah kenapa tiba-tiba kepanasan sendiri. Sepertinya, ada yang salah dengan pipiku.
Bagas sudah sibuk ber-haha hihi dan mengumbar rayuan gombal kepada kakak-kakak kelas yang memanggilnya saat aku menyadari satu keganjilan di sini, sendirian. Ada yang tidak beres antara kami berdua. Atau, lebih tepatnya aku. Ada yang tidak beres dengan hatiku.
"Tunggu dulu, Eyang! Jadi, sembilan tahun bersahabat baru Rima sadar punya rasa sama Bagas?" tanya Mayang menjeda ceritaku.
"Ya, Sayang. Terkadang kita butuh waktu yang lama untuk menyadari sebenarnya perasaan di dalam sini," ungkapku sambil menunjuk dada, membuat Mayang mengangguk pelan.
"Lalu, apa setelah itu mereka pacaran, Eyang?" Aku tertawa lalu menggeleng.
"Sabar, Sayang. Kisah ini masih panjang. Tapi, tahukah apa yang paling sering dilakukan orang dan membuang tahun-tahun berharga mereka?"
"Apa itu, Eyang?"
"Mencari orang yang tepat ke sana kemari dan melupakan sosok baik yang selalu berada di samping mereka, selalu menemani dalam susah dan senang. Manusia selalu terobsesi mencari yang terbaik sampai melupakan orang yang selalu ada di samping mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari B untuk R
RomanceBagi Rima, Bagas adalah sahabat terbaiknya. Apa pun yang terjadi, mereka harus tetap saling mendukung dan menjaga, itulah janji persahabatan. Lalu, bagaimana jadinya ketika Bagas justru jadi lelaki yang datang melamar Rima, menyelamatkannya dari per...