Bab 6 : Pertengkaran Pertama

11 1 0
                                    


Undangan makan malam Saga membuatku stres. Hubungan kami memang dekat, sejak aku ditunjuknya sebagai asisten, tapi teman dekat? Makan malam bersama Mama Ayahnya? Bukankah itu seperti, seolah-olah, terlalu cepat? Bukan, kami bahkan tidak pernah membicarakan hal lain selain mata kuliah dan seputar kampus. Kugelengkan kepala kuat-kuat untuk mengusir pikiran aneh ketika pintu kamarku diketuk. Anisa, teman kos sebelah kamar memanggil.

"Masuk," seruku sambil melepas rol rambut.

"Kamu sibuk?" Aku menggeleng saat kepala Anisa menyembul di balik pintu. "Mungkin sebaiknya kamu turun. Bagas udah nyanyi se-album di depan pagar. Kamu tahu kan kalau Bukos datang dan dengerin suara fals-nya bakal jadi gimana?"

"What?" Buru-buru kusambar sweater rajut lalu melangkah turun, menuju teras dan mendapati si Kunyuk lagi duduk dengan santainya di atas si Butut, menyanyikan lagu entah apa yang bikin anak-anak kos lain terkikik di balik gorden.

"Nyuk! Kamu apa-apaan sih? Ngapain ngamen di sini?" semburku kesal yang ditanggapi cengengesan.

"Enak aja! Gue lagi akustikan live malah dibilang ngamen. Lo ndiri ditelepon daritadi nggak angkat. Sombong bener!"

Aku mendengkus. "Hapeku silent. Keselip kayaknya. Ngapain malming gangguin orang? Bukannya kencan sanah!" ujarku setengah mengusir, membuat Bagas berhenti memetik gitarnya dan turun dari Butut.

"Emangnya lo mau ngapain? Pake maskeran segala! Tumben!" Bagas menyentuh wajahku lalu memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya. Astaga! Aku lupa tadi lagi maskeran tomat.

"Hey! Ini bukan makanan!" omelku kaget ketika Bagas hendak mengambil irisan tomat lagi. Pemuda itu tergelak sambil mengangkat kedua tangannya.

"Jalan yuk. Bete gue."

"Ya ajak Kak Melisa dong! Kok ajak aku?"

Bagas berdecak sambil menyandarkan tubuh ke motornya. "Mentang-mentang udah naik mobil, jadi ogah ya naik Butut. Kasian banget kita ya, But!" Bagas berkomentar sambil mengelus motornya dengan mimik dibuat-buat.

"Tunggu, apa sih maksudnya kamu ngomong begitu?"

Lelaki di depanku kembali menatap serius. Bola mata cokelatnya makin jelas terlihat di bawah sinar matahari sore. "Gue tahu lo jalan sama si Om Saga kemarin. Ke mall, belanja baju, deuuuh udah kayak apa aja!"

"Apa? Kok kamu tahu aku ke mall?" Aku memekik setengah tertahan. "Jadi kamu ngikutin kami berdua?" Tanpa sadar, nada suaraku sedikit meninggi dan membuat kasak kusuk di ruang tamu indekos makin heboh. Buru-buru kutarik lengan Bagas menuju ujung teras kos agar kami bisa leluasa bicara, menghindari tatap penghuni kos lain.

"Siapa yang ikutin? Gue emang pas lagi ke Galaksi kok." Jawaban Bagas kusambut gelengan kepala kuat.

"Bohong! Kamu hampir nggak pernah ke sana. Ini apa-apaan sih, Gas?"Bagas mendengkus kesal lalu menatapku tajam. "Lo serius mau jalan sama Om-om? Sama pedofil gitu? Lo itu nggak punya pengalaman apa-apa soal cowok!"

"Emang kenapa? Pertama ya, dia bukan pedofil sebab aku bukan anak kecil. Kedua, jangan panggil dia Om. Dia dosen kita dan cuma beda usia 9 tahun dari kamu!" ungkapku kesal yang ditanggapi Bagas dengan mengangguk dan memasang ekspresi menyebalkan.

"Lo tau apa soal cowok? Cuma karena dia bawa mobil, pendidikan bagus, dan anak orang kaya, lo tergoda gitu?" Kata-kata Bagas membuat telingaku memanas karena kesal. Nih orang kesambet setan apa sih? Semurah itu dia berpikir tentang sahabatnya sendiri.

Aku baru saja hendak menyemprot dengan kata-kata pedas ketika pemuda itu menggenggam kedua tanganku.

"Gue nggak mau lo sakit hati, Rim. Gue paham betul tabiat laki kayak dia. Orang tuanya juga bisa jadi masalah, belum tentu mau terima calon mantu dari strata sosial maaf ya, berbeda. Gue cuma mau lo baik-baik saja." Bagas menatapku lembut dengan tangan kami masih saling mengenggam. Kata-kata Melisa di waktu lalu terngiang-ngiang kembali.

"Lo tau nggak alasan Bagas mutusin semua cewek-ceweknya? Karena mereka mulai menuntut dan mengekang. Bagas benci itu karena itu dia enggan ninggalin lo sendiri. Semakin cewek-cewek itu minta perhatian, itu berarti waktunya ke lo akan semakin berkurang. Entah perasaan dia yang kayak gitu apa namanya. Yang jelas, gue nggak mau alami hal kayak gitu. Cewek-cewek itu musuhi lo, tapi gue tahu, justru lo yang bisa lepaskan hubungan ketergantungan nggak sehat ini! Lo yang bisa bebasin Bagas."

Kulepaskan genggaman Bagas lalu menantang matanya. "Selama ini, kamu pacaran dan dekat sama siapa pun, aku nggak pernah larang kan? Nggak pernah ikut campur kan? Terus ini apa-apaan?"

"I-iya, tapi itu beda. Itu ...."

"Apa bedanya, Gas? Sekarang aku sudah gede, bisa memilah mana baik atau buruk buat aku. Kurasa, kamu juga nggak berhak ikut campur. Orientasiku materi atau bukan, itu terserah aku kan."

Bagas tiba-tiba tertawa, sedikit mengejek. "Okay, jadi lo tetap mau jalan sama Om-om itu? Fine! Tanggung sendiri akibatnya!" Pemuda itu membuang pandang sambil berdengkus.

"Iya, sekarang baiknya kamu pulang. Aku mau siap-siap untuk makan malam bareng orang tuanya Saga. Dan please, jangan stalking-in kami lagi." Setelah mengucapkan kata-kata hampir tanpa emosi itu, aku bergegas meninggalkan Bagas. Masih bisa kudengar suara mengumpatnya saat meninju jok motor dan entah kenapa, mataku tiba-tiba memanas. Ini pertengkaran kami yang pertama selama sembilan tahun bersahabat dan itu menyesakkan. 

*

Mood-ku masih kacau balau ketika Saga menjemput. Tak ada tanda-tanda Bagas di depan kos ketika mataku mencari.

"Ada apa, Rim?" tanya Saga ketika aku menghela napas berat tanpa sadar. "Ada masalah?" Aku menggeleng cepat.

"Gaun itu cocok banget di kamu," puji Saga sebelum menyalakan mesin mobil yang kutanggapi dengan senyum dan ucapan terima kasih.Rumah Saga seperti rumah di perumahan elit yang sering muncul di iklan real estate. Besar, megah, menawan, meski penghuni di dalamnya bisa dihitung dengan jari. Cat rumah berwarna cokelat muda berpadu marmer cokelat keabuan membawa kesan elegan yang nyaman meski aku tetap merasa luas rumah ini tak masuk akal.

"Masuk." Saga mempersilakan saat membuka pintu ukir besar berwarna cokelat lalu aroma musk lembut menyapa hidungku. Kami melangkah masuk ruang tamu yang sepi. Lukisan-lukisan besar di dinding menarik perhatianku. Lukisan daerah pedesaan yang asri hingga lukisan para penari di panggung. Pada setiap lukisan, tertera inisial MR.

"Kamu suka lukisannya?" tanya Saga yang membuatku tergagap.

"Ha, i-iya. Bagus."

"Kamu bisa minta sama Mama kalau suka. Ah, kalau Mama senang, beliau pasti bakalan ngasih. Kami punya banyak di ruang lukis sebelum dikirim ke galeri." Saga pernah bilang, Mamanya suka melukis di waktu senggang. Namun, lukisan sebagus ini pasti bukan karya yang dilakukan sekadar mengisi kekosongan waktu.

Masuk ke ruang keluarga dengan sofa nyaman berwarna krem, dihiasi foto-foto keluarga. Saga kecil hingga dewasa diapit oleh pasangan yang sepertinya berbeda usia cukup jauh, Mama Ayah Saga. Ada juga beberapa foto candid saat Saga masih kecil, terpampang lucu di dekat rak piala dengan berbagai pose. Bahkan ada yang hanya memakai diapers dan sedang makan buah, membuatku tergelak.

"Oh, no! Sebaiknya kamu cepat ke ruang makan!" Saga mendorongku pelan dengan wajah memerah, membuatku tertawa lagi. Detik ketika kami memasuki ruang makan, Saga mengenggam erat jemariku lalu berbisik,

"Hey, Rim. Kamu yang pertama."

Dari B untuk RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang