#1 Dulu

17 2 0
                                    

Dia. Seseorang berbadan tegap, berwajah tirus mulus, tapi tetap saja bukan standar tampan untuk perempuan seusiaku. Orangnya lucu. Lucu sekali. Suka berbicara, melucu, tapi tetap jenius pemikirannya. Menurutku tidak ada yang mengaguminya sekarang. Bukannya sok tau, tapi aku memang mengenal bagaimana kesehariannya di sekolah. Circle pertemanannya sekarang juga merupakan circle pertemanan ku.

Sejujurnya aku sendiri sudah mengenalnya sejak TK, aku tidak tau apakah dia meng-notice keberadaan ku pada saat itu. Aku merasa seperti bukan orang yang menjadi spotlight seperti beberapa temanku lainnya yang sudah ditakdirkan famous sejak TK hingga hari ini. Lalu, 6 tahun SD kami tidak pernah ditakdirkan sekelas. Tapi, mungkin kalian tau, MDA. Seperti tempat belajar mengaji di luar jam sekolah. Ya, disitulah kami mulai berbicara dan aku mengenal kepribadian gilanya.

Aku bersama sahabat karibku, Andini. Kami kenal sejak kelas 1 SD karena bertemu di kelas yang sama. Hingga hari ini masih terus bermain dengannya. Walaupun, setidaknya ada 6 tahun kami harus berpisah kelas, tapi kami tidak semudah itu untuk dipisahkan. Anak kecil seusia kami seperti sudah mengerti arti setia. Lucu bukan? Kami selalu pulang bersama, menunggu satu sama lain selesai piket, mengaji bersama, hingga akhirnya memiliki bibit tukang gossip yang sudah mulai nampak semenjak SD kelas 5. Guru agama kami, Bu Yusri, seperti kewalahan melihat kami yang selalu menggosip di jam agama. Jangan heran, hanya jam agama inilah yang bisa mempertemukan kami karena harus gabung kelas. Sampai-sampai nih ya, kami pernah didudukkan terpisah karena selalu bercerita sepanjang jam agama. Jangan ditiru!

Oiya, maaf, aku terlalu sibuk menceritakan Andin. Seperti yang kubilang sebelumnya, 'dia' dan aku mulai mengenal sejak mengaji bersama. Dia sering sekali menarik jilbab ku dan Andin hingga kepala kami muncul seluruhnya dan karet jilbab di samping pipi kami melar dibuatnya. Kami sebagai anak perempuan yang cukup bringas saat itu tak serta merta mengalah. Kami menjambak rambutnya dengan brutal, menarik-narik bajunya, hingga akhirnya dia meminta ampun karena harus melawan 2 perempuan gila di MDA saat itu.

Sekarang, untuk pertama kalinya, kami bertiga sama-sama berada di kelas yang sama, kelas 8B. Untuk seumuran bocah tanggung seperti kami, sudah biasa mendengar jika ada yang berpacaran. Bahkan survey ku mengatakan, setidaknya 1/3 dari seluruh siswa di sekolahku pernah berpacaran.

Nah, Andin inilah boys magnet. Banyak sekali laki-laki datang menyatakan cintanya, bahkan banyak sekali lelaki yang mendekatinya jalur tanya teman melalui aku. Kesel sih. Tapi yaudahlah ya.

Berbeda sekali denganku. Aku Via Latitia. Modern sekali bukan namaku? Yah perbedaan yang kumaksud di awal kalimat tadi adalah kenyataan bahwa aku dan Andin adalah 2 sahabat dengan background yang berbeda. Aku adalah perempuan mungil yang tak terlihat modern seperti namaku. Aku cenderung biasa saja dan hampir tidak peduli dengan penampilan. Kulitku coklat, tidak se-sawo matang orang biasanya tapi juga tidak segelap orang ras negroid. Aku sendiri sempat bingung dari ras manakah aku ini sebenarnya? Sepertinya ras melayu akan mencoretku karena tidak mirip seperti kriteria mereka pada umumnya. Oiya, gigiku juga super duper berantakan karena kesalahan ku sewaktu kecil. Jadi tidak perlu heran jika tidak ada yang menyukai bahkan menyatakan perasaannya padaku hingga hari ini.

******
Hari ini, entah tanggal berapa, 'Dia' dengan resmi mendeklarasikan cintanya kepada seorang wanita cantik keturunan Bali. Made Rianka (Red: Riangka) namanya. Rianka atau sering dipanggil Anka (Red: Angka) adalah teman satu kelasku kami. Aku tidak peduli, lagi pula jika dilihat-lihat, baru hari pertama saja aku sudah geli melihat mereka. Hmm mungkin memang aku saja yang tidak tau indahnya di mabuk cinta.

Oiya, di hari ini penuh bunga bagi 'dia' adalah hari yang sedikit lucu bagiku. Hari ini ada pelajaran elektro, dan seperti biasa aku duduk di meja paling depan nomor 3 dari pintu. Elektronika. 1 provinsi pun, hanya sekolah kami yang memiliki muatan lokal ini. Sejak kelas 7 aku sudah terbiasa remedial mata pelajaran ini. Sungguh mengesalkan, karena pelajarannya terlalu sulit untuk anak SMP seperti kami. Tolong siapapun yang membaca ini, jangan mencoba-coba untuk mengadukanku.

Hari ini sangat panas, belum lagi ruang kelas elektro adalah ruang kelas terpanas di sekolahku. Bau peluh keringat sudah menyesakkan hidungku yang kala itu sedang stress menulis catatan dari Bu Riris sembari mengipas-ngipas wajahku dengan buku. Dia yang sebangku denganku, terlihat seperti menemukan oase di gurun pasir.

"Vi, bagaimana kalau kamu aku kipasin, tapi kamu harus mau nulisin catatan ku?" si dia mulai mengeluarkan jurus membujuk nya kepadaku.

"Tapi, serius ya. Yang kenceng!" jawabku mengiyakan karena sudah frustasi kepanasan.

Dia mulai mengipasku dengan kencang. Syukurnya suasana kelas saat itu tak terlalu senyap, bunyi putaran kipas angin dan mesin AC yang tidak mempan itu turut mengelabui guruku yang sedang sibuk dengan laptopnya. Aku yang keenakan masih sibuk menulis catatanku sendiri dengan cepat supaya bisa langsung menuliskan catatan Dia. Tiba-tiba...

"Heh... kamu kok gak nulis catatan?"
"Eh, nulis kok, Bu, nuliss" jawabnya gelagapan. Pintarnya, ia pura-pura meletakkan buku dihadapannya seolah-olah dia juga sedang menulis catatan. Tapi jurusnya kali ini tidak berhasil. Bu Riris datang menghampiri dan melihat itu adalah catatan IPA yang sengaja diletakkannya untuk mengelabui Bu Riris.

"Oh kamu pasti merayu Via, kan, supaya dia mau menuliskan catatan kamu? Makannya kamu mau dengan baik mengipaskan wajahnya" tanya Bu Riris. Aku yang sedari tadi pura-pura tidak tau, kini menunduk merasa bersalah.

Kini tinta hitam Bu Riris dengan indah mewarnai buku kasus kelas dengan namaku dan namanya. Huft, padahal aku tidak masalah jika harus menuliskan catatannya. Satu-satunya masalah adalah aku yang tidak tahan panas ini akan berubah jadi orang gila jika terus bertahan di suasana gerah seperti itu.

Kini aku dan dia bersama-sama menahan malu, panas, dan malas di siang itu. Aku juga merasa bersalah karena dengan gampangnya mengiyakan dan memberikan masalah padanya. Jika namaku yang tertulis di buku kasus itu aku yakin guru-guru tidak akan langsung memandangku buruk, tapi dia, yang sudah berkali-kali masuk di buku dosa itu, sudahlah di cap bandel dari dulu, kini harus bertambah karena ringannya mulutku mengatakan 'iya'

Untuk sementara, maafkan aku harus merahasiakan namanya di bagian ini. Aku belum siap membeberkannya. Aku ingin kalian jatuh cinta dulu pada kepribadian anehnya dan tidak berandai-andai jika mendengar namanya.

Unspoken.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang