#2 Masih Dulu

12 1 0
                                    

     Anka. Ini kedua kalinya aku menyebut namanya. Memang orang keturunan Bali itu cantik-cantik ya. Aku sampai insecure melihatnya. Dia memang tak salah pilih. Untuk seorang lelaki, seleranya memang bagus. Tapi, yang aku pertanyakan, bagaimana mungkin seorang Anka yang disaat bersamaan dikejar oleh abang-abang kelas hits, lebih memilih dia yang biasa saja. Serius deh, kalian harus ketemu dia dan lihat betapa biasanya dia. Aku sih gak iri, cuma heran aja.

    Dari sekian banyak hal yang bisa kupandang di kelas ini, kenapa kemesraan Anka dan dia berhasil mengusikku. Sungguh, aku benar-benar geli melihatnya. Mereka tertawa bersama bahkan aku bisa melihat pandangan mata mereka memang berbeda sekali. Untuk sekelasan anak SMP gaya pacaran mereka cukup keren, kata teman-temanku. Aku sendiri tidak bisa mengakuinya karena di pandanganku itu sangat menggelikan.

     Hari ini, ada kerja kelompok. Aku dan dia berada di kelompok yang sama. Kerja kelompok elektro. Kalau sudah dengar kata elektro, kalian akan tau betapa kesalnya aku setiap mendengar namanya. Kini kekesalan ku bertambah dua kali lipat karena aku harus bergabung bersama dia dan pacarnya, Anka. Sebenarnya ada Rifki sih yang menetralkan suasana. Tapi tetap saja, aku belum siap menonton adegan mesra yang pasti akan mereka tunjukkan di depan ku dan Rifki.

     "Eh, kamu bisa gak pasangin ini? Rifki lagi ambil solder ke kelas sebelah." tanyaku padanya yang sedari tadi sibuk membantu Princess Anka merakit lampu.

     "Eh bentar-bentar, ini Anka juga lagi masang lampu." astaga. Bagaimana mungkin dia berani menolak permintaanku. Demi apapun, kalian pun pasti bisa jika hanya sekedar memasang lampu ke fittingnya. Aku? Aku membutuhkan pertolongnya untuk memasang kabel ke fitting yang mana harus dibuka pakai obeng positif lalu kabelnya harus dikupas untuk mendapatkan serabutnya, astaga menjelaskannya saja aku pegal.

    Rifki datang. Pak Ustad penyelamatku akhirnya balik dengan membawa senjata solder dan timah di tangannya. Sejak dia menunda permintaanku, aku langsung berusaha dengan segala cara untuk mengerjakan bagianku sendiri. Untung saja Rifki di pihakku. Akhirnya dia lah yang menyambungkan kabel ke fitting lampu.

     Aku dan Anka? Aku biasa saja. Seperti teman sekelas pada umumnya. Kami berbicara seadanya. Yah, maafkan kepribadian ku ini. Aku tipe perempuan yang berteman dengan sedikit orang. Prinsipku, aku tidak perlu memiliki banyak sahabat disekitarku, sedikit tapi selalu ada sudahlah cukup untukku.
    
     Andin, Afni, dan Umi mereka lah yang selama ini selalu ada untukku. Masih ingat Andin kan? iya, perempuan yang kusebut Boys magnet itu. Ada juga Afni, sama halnya dengan Andin, Afni ini juga merupakan sahabatku sejak SD. Kami melewati masa-masa alay bersama seperti selfie dengan camera 360 , keliling komplek dengan motor tanpa sim, dll. Aku dan Afni selalu sekelas semenjak SD. Hanya SMP kelas 7 kami harus berpisah. Nah Afni ini juga punya pacar, Bang Adnan namanya. Mereka lah satu-satunya pasangan yang tidak menebar kemesraan di tempat umum. Tapi aku tau, mereka berdua memang saling mencintai. Dan yang terakhir, Umi. Umi ini anak baru pindahan dari SMP islam sebelah, aku juga lupa bagaimana kronologisnya. Tapi Umi kini menjadi bagian dari kami. Sebagai mantan anak Sekolah Islam, Umi cukup alim. Tapi, alim-alim begini, Umi juga punga pacar lho. Namanya Bang Dhana. Bisa kalian lihat kan? Hanya aku sendiri yang menjomblo diantara sahabat-sahabatku. Tapi, aku senang, mereka sangat menghargaiku dan berusaha sebaik mungkin untuk tidak membuatku merasa kesepian.

     Sebagai perempuan normal, wajar saja jika aku merasa tertekan melihat orang-orang seusiaku sudah memiliki laki-laki yang lebih dari seorang teman. Awalnya aku tidak peduli, tapi makin kesini aku makin memikirkannya. Memang mengunggulkan hati dan otak saja tidak cukup. Cantik juga merupakan aspek penting yang menjadi pertimbangan laki-laki dalam memilih pacarnya.

     Tapi, ada 1 orang yang mematahkan asumsi ku tadi. Namanya Ardhan. Ardhan ini bukan 'Dia' yang sedari tadi kuceritakan. Ardhan. Sama seperti dia. Melihatnya saja kalian tidak akan memiliki kesan apa-apa. Akupun bahkan tak tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Namun, entah mengapa tiba-tiba Ardhan seperti menyelinap masuk ke kehidupanku. Berawal dari sini..

    "Ini sendalnya, Cinderella" AHAHAHA akhirnya ada juga yang memanggilku dengan sebutan princess disney tersebut. Dia Ardhan. Minggu lalu, aku tak sengaja menjatuhkan sendal ku di parkiran karena Afni dan aku dikejar sekuriti. Lalu, aku meminta tolong siapapun yang ada di grup kelas untuk mengambilnya. Kukira entah Farhan atau Randy yang akan mengambilnya. Hah, ternyata Ardhan. Aku sempat bertanya-tanya, tapi niat itu ku urungkan.

     "Makasih ya, Dhan" jawabku saat dia mengantarkan sebelah sendalku ini. Tak ada kesan apa-apa. Aku langsung mempersilahkannya pulang.
Tapi, saat malam menjemput, Ting Ting dering whatsapp ku berbunyi.
   
     "Siapa sih malem-malem gini ngechat?" tanyaku dalam hati.
    
23.12 Vi?
23.13 Siapa ya?
23.13 Ardhan.
23.14 Oh tadi aku lupa bilang  makasih ya? Makasih ya Dhan!
23.14 Enggak. Bukan itu.
23.16 Trus?
23.16 Kok kamu ga tidur sih? Udah malem lo.

ih apaan sih ni anak--' aku langsung meninggalkan HP ku dan kembali tidur.

    

    

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Unspoken.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang