Part 5

6 1 0
                                    

Alah... aku jadi ketiduran diruang tengah dengan televisi yang masih menyala. Gelas didapur pun belum sempat ke cuci semalam. Segelas air ku minum lalu bersiap-siap berangkat kerja, televisi ku matikan dan berangkat menggunakan sepeda tua ini. Oh iya aku tidak sempat ke kamar kakak untuk membangunkan, tapi tidak masalah juga sih tidak dibangunkan juga.

Ah hawa pagi yang matahari sedikit lagi akan terbit seperti ingin membawa ku ke kasur lagi, angin semilir pagi membawa hawa yang sangat dingin pula. Jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah dan aku segera bekerja.Sebuah mobil ambulan berhenti dipinggir jalan, beberapa petugas medis membawa seseorang di tandu dengan kain yang menutupi korban, disisi lain aku melihat beberapa orang masih berdiri didekat tebing mercusuar. Ada apa ini? bunuh diri? siapa? Iya terserah lah sama sekali aku tidak peduli.

Pukul 6 lewat pekerjaan telah selesai, aku segera kembali ke rumah lalu sampai dirumah agar suasana tidak terlalu hening aku menyalakan televisi. Handuk dibelakang aku ambil lalu segera mandi untuk berangkat ke sekolah, sarapan? Ah jarang sekali aku sarapan, tidak peduli sekosong apa perut ini asal tabungan tidak terkuras telalu banyak demi kakak. Wait, kakak? Kenapa ia belum ke luar kamar? Arah jalan mendadak berubah lalu pergi ke kamarnya. "Ka?" Seru kataku dari depan pintu. "Ka?" Sekali lagi aku mengulanginya lagi namun tidak ada jawaban sama sekali. "Telah ditemukan mayat seorang wanita pukul 4 pagi tadi..." Ucap seorang reporter di televisi yang menyala. Pikiran mulai tidak terkendali, aku merasa mayat itu adalah kakak. "Kringgg..." Telepon rumah berdering. Langkah ini mulai merasa bergemetar tidak karuan, aku bingung...bingung...bingung, aku merasa sedang berdiri diatas tebing yang curam dan dibawahnya terdapat kraken yang siap melahap makanan penutupnya. "Halo."

"Apa benar dengan keluarga Dionis?" Dionis nama ayah ku, kami berdua masih menggunakan kartu keluarga lama agar tidak ribet untuk mengurus ke pemerintahnya. "Mohon segera ke..." Setelah ia menjelaskan apa yang terjadi telepon genggam terlepas dari tangan, kini apa yang harus ku lakukan? Rasanya menjadi jatuh namun tidak ke arah kraken itu, sesuatu yang hitam datang menghampiri ku lalu mengurungnya didalam sebuah ruangan. Pikiran masa lalu mulai berlayar bebas dipikiran ini.

Dipertigaan dekat rumah Ryu, Latifa bertemu dengan Silvi, namun mereka masih belum menyadarinya. Keduanya tampak sangat tergesa-gesa dan sampai dirumah Ryu baru mereka saling bertatapan. "Siapa kam─"

"Jangan itu dulu," Potong Silvi. Ia seperti sangat peduli dengan kesehatan mental dan perasaan Ryu. "Ryu!" Sambil berteriak memanggil lalu membuka pintu rumah. Didalam tidak ada balasan, berantakan? Pasti, saat sedang frustasi seseorang cenderung memberontak menghancurkan apapun didalam ruangan itu. "Gawat, ayo cari dia!" Latifa merasa terarah ke jalan yang benar, bukan soal dia siapa Ryu namun dimana Ryu sekarang?

Dipagi ini jalan begitu ramai siswa yang berangkat ke sekolah, hanya bermodalkan jaket yang menutupi seluruh tubuh dan masker ini mereka tidak menyadarinya. Arah barat masuk ke daerah tengah pulau disana kakak bersekolah dan mungkin saja lelaki di beberapa hari yang lalu berada disana rumahnya. Disisi lain Latifa bersama Silvi mencari Ryu menggunakan motor sampai mereka bolos sekolah deminya.

Akh... waktu sudah sore namun aku belum menemukan pria itu, di pinggir jalan sana terdapat sebuah mesin minuman. Mungkin beberapa rupiah akan ku gunakan untuk membeli minum saja. Disaat selesai mengambil minumnya lalu duduk di kursi taman aku mendengar suara 2 manusia yang sedang bercanda dari telinga kiri. Perlahan-lahan aku melihat ke kiri dengan tatapan tajam, perfect! Aku menemukannya. Dengan bahagianya dia setelah putus dari kakak lalu berpacaran dengan wanita lain, singkat sekali rasanya untuk mendapatkan cintanya lagi. Lelaki sampah!

Kaleng minum dilempar ke tempat sampah lalu aku berjalan pelan menujunya. "Sayang, nanti malam kita ke sea cafe mau gak?" Tanyanya sambil merayu pacar baru itu. Akh... sangat kesal mendengarnya─ itu saat aku pas didepannya. Langkah ku terhenti lalu menendang dari samping kirinya, bagian sisi kiri pria itu terkena tendangan lalu kepala kanannya mengenai wanita disampingnya. "Akh... apa maksud mu!?" Bentaknya sambil berdiri. Aku sama sekali tidak ingin berkata disaat bertemu dengannya, tangan kanan ku mengepal lalu memukul bagian perutnya. "Akh!" Sedikit darah keluar dari mulutnya. "Jadi ingin bertengkar dengan ku ya... aku terima." Ia memukul bagian pipi kanan ku. Begitu sakit rasanya─ jika dihitung mungkin ini ke 10× terkena serangan di pipi. Baiklah aku tidak ingin menahannya lagi, berbagai pukulan tanpa jeda mengenai wajah dan dadanya hingga Silvi dan Latifa berhasil menemui ku lalu memisahkan kami.

"Diam lah!" Kataku sambil membentak dan berusaha keluar dari tahanan Latifa. "Sini kau lelaki bangsat!" Ka Silvi berjalan lalu berdiri tepat dihadapan ku. Latifa melepas tahanannya dan aku terjatuh lemas didepan Ka Silvi. "Hiks..." Marah dan sedih bercampur aduk didalam perasaan ini, air mata sama sekali tidak bisa keluar.

"Maju sini!" Bentak lelaki itu juga, pacar barunya langsung memeluk agar ia menjadi tenang.

Ka Silvi memasang wajah yang kesal, ia masih diam. Mungkin menunggu aku untuk berbicara sesuatu. Semakin bercampur aduk emosi ini rasanya semakin sakit dihati, tangan kanan ku terus meremas baju. Setelah hal itu Ka Silvi dan Latifa membawa aku pulang.

Aku mengerti apa yang terjadi hari ini, pertama bunuh diri namun gagal, kedua membunuh lelaki bangsat itu dan gagal juga, lalu sekarang apa lagi?

Sampai dirumah dengan keadaan emosi yang masih bercampur aduk, aku membuka pintu dengan emosi dan ayah ang terkejut langsung menahan tubuh ini. "Ryu, tenanglah," Kedua tangan ayah langsung menahan pundak aku. "Jangan terlalu emosi."

"Diam!" Teriak aku lalu melepas genggaman ayah dengan emosi lalu pergi ke kamar. "Urusi hubungan mu dengan ibu!" Sungguh aku tidak bisa mengendalikan emosi ini, bingung sangat bingung untuk melakukan apa selain mengamuk tidak jelas. Hati yang masih tersakiti terus tertahan dengan tindakan emosi, namun jika aku terus melakukan tindakan seperti itu takut ada seseorang yang terluka.

"Dasar anak durhaka!" Ya ini jangan dianggap sebuah kekerasan, ini sudah melewati batas. Sejak ia kembali saja emosi ini sudah tidak bisa ditahan. "Buka pintunya!" Ia terus memukul pintu kamar dengan keras.

Latifa dan ka Silvi mencoba menenangkan ayah ku dengan menahannya agar tidak lepas kendali emosinya. "Paman sebaiknya tenanglah se─"

"Diam kalian!" Sambil mendorong mereka berdua yang lalu jatuh ke lantai. Aku tidak peduli...aku tidak peduli mereka berdua tersakiti. Egois...egois... kata-kata itu terus terulang dihati ku. Ia membuka paksa pintu lalu menarik kerah bajuku sampai terangkat. Wajahnya sangat murka terhadap kelakuan anaknya ini, kedua giginya saling menekan, urat di dahinya yang terlihat, dan pupil matanya mengecil.

Aku sudah tidak kuat lagi. "Hiks..." Ketiga kalinya aku bisa mengeluarkan air mata karena keluarga. "Kumohon ayah, aku sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit ini hiks...hiks..." Air mata bercucuran keluar dari mata ini, hanya bisa menyerah dengan sakit hati ini, hanya bisa diam dengan tubuh yang sangat lemas karena tidak kuat menahan sakitnya hati ini.

●Membunuh bukan cara untuk meringankan masalah●

Ryu's LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang